Haji dan Perjuangan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam
Syariat haji adalah rukun Islam yang kelima bagi yang mampu untuk melakukannya, sekaligus syariat yang sangat dirindukan oleh kaum muslimin. Allah mewajibkannya sekali seumur hidup. Dia berfirman,
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Ali ‘Imran: 97)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan:
خَطَبَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: ” إِنَّ اَللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ اَلْحَجَّ ” فَقَامَ اَلْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ فَقَالَ: أَفِي كَلِّ عَامٍ يَا رَسُولَ اَللَّهِ؟ قَالَ: “لَوْ قُلْتُهَا لَوَجَبَتْ, اَلْحَجُّ مَرَّةٌ, فَمَا زَادَ فَهُوَ تَطَوُّعٌ”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di hadapan kami dan berkata, “Allah telah mewajibkan haji pada kalian.” Lantas al-Aqra’ bin Habis berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah haji tersebut wajib setiap tahun?” Beliau berkata, “Seandainya iya, maka akan kukatakan wajib (setiap tahun). Namun haji cuma wajib sekali (seumur hidup). Siapa yang lebih dari sekali, maka itu hanyalah haji yang sunah.” (HR. Abu Daud: no. 1721, Ibnu Majah: no. 2886, dan Nasai: no. 2621)
Membangun Ka’bah
Syariat rukun Islam yang kelima ini bermula pada proses perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bersama anaknya, Nabi Ismail ‘alaihissalam dalam pembangunan ka’bah. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذۡ يَرۡفَعُ إِبۡرَٰهِـۧمُ ٱلۡقَوَاعِدَ مِنَ ٱلۡبَيۡتِ وَإِسۡمَٰعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلۡ مِنَّآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ * رَبَّنَا وَٱجۡعَلۡنَا مُسۡلِمَيۡنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةٗ مُّسۡلِمَةٗ لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبۡ عَلَيۡنَآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah taubat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 127)
Seruan Haji
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذۡ بَوَّأۡنَا لِإِبۡرَ ٰهِیمَ مَكَانَ ٱلۡبَیۡتِ أَن لَّا تُشۡرِكۡ بِی شَیۡـࣰٔا وَطَهِّرۡ بَیۡتِیَ لِلطَّاۤىِٕفِینَ وَٱلۡقَاۤىِٕمِینَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ * وَأَذِّن فِی ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ یَأۡتُوكَ رِجَالࣰا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرࣲ یَأۡتِینَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِیقࣲ
Dan (ingatlah), ketika Kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), “Janganlah engkau mempersekutukan Aku dengan apa pun dan sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf, orang yang beribadah, dan orang yang rukuk dan sujud. Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 26-29)
Syariat Sai dan Munculnya Zamzam
Allah Ta’ala berfirman tentang doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam,
رَّبَّنَآ إِنِّيٓ أَسۡكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيۡرِ ذِي زَرۡعٍ عِندَ بَيۡتِكَ ٱلۡمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجۡعَلۡ أَفۡـِٔدَةٗ مِّنَ ٱلنَّاسِ تَهۡوِيٓ إِلَيۡهِمۡ وَٱرۡزُقۡهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٰتِ لَعَلَّهُمۡ يَشۡكُرُونَ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Qs Ibrahim: 37)
Dikisahkan oleh Imam Bukhari (dalam kitab Shahih-nya: no. 3364) bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam membawa Hajar dan Ismail ke lembah gersang nan kering, tidak ada seorang pun yang tinggal di tempat itu, tidak ada pula sumber air dan tumbuhan. Ibrahim memilih tempat di dekat Ka’bah, tepatnya sebelah atas dari sumur Zamzam.
Tanpa kata-kata beliau meninggalkan istri dan anaknya yang masih bayi, hanya membekalinya dengan sekantong kurma dan seperiuk air minum. Hajar mengikutinya seraya memberanikan diri untuk bertanya, “Wahai Ibrahim, akankah engkau pergi meninggalkan kami di sini tanpa bekal cukup dan orang yang menemani?”
Ibrahim pun tak menghiraukan pertanyaan itu, bahkan dengan sekadar menoleh sekalipun. Sebagai seorang wanita dalam kondisi seperti itu wajar jika ia beberapa kali mengulang pertanyaan itu, meski tidak mendapat jawaban yang melegakan, hingga akhirnya ia berkata, “Apakah Allah yang memerintahkan ini padamu?”.
“Ya” Ibrahim menjawab dengan singkatnya.
“Jika demikian maka Allah tidak akan menyia-nyiakan kami” tegas Hajar sambil kembali ke tempatnya, dan Ibrahim pergi.
Hari berlalu, perbekalan semakin menipis dan akhirnya tidak tersisa sama sekali. Hajar tidak tega melihat putranya meraung kehausan. Naluri keibuannya menuntunnya naik ke bukit Shafa, barangkali ia melihat orang yang dapat menolongnya, namun harapan itu sia-sia. Ia pun turun dengan setengah lari menuju bukit Marwah. Sampai tujuh kali ia lakukan itu tetapi bantuan tak kunjung ia dapatkan.
Dalam kepanikan, tiba-tiba terdengar suara, ia pikir suara hatinya namun ternyata suara Malaikat yang diutus membawa pertolongan, mencarikan sumber air dengan sayap atau tumitnya. Ya, air pun memuncrat, betapa bahagianya Hajar, dia pun segera membendungnya dan mengisi penuh tempat airnya.
Inilah sejarah sai antara Shafa dan Marwah dan awal mula air Zamzam yang diberkahi.
Melempar Jumrah
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah orang pertama yang melempar jumrah di Mina kemudian menjadi bagian dari ibadah haji yang dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalau Ibrahim ‘alaihissalam melempar jumrah untuk mengusir setan yang menghalanginya, maka adapun kita melempar jumrah tidak lagi bertujuan untuk melempar setan, tetapi sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dengan menjalankan ritual tersebut dan menegakkan dzikrullah (zikir kepada Allah) sebagai buah dari keikhlasan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, “Sesungguhnya disyariatkannya tawaf di Ka’bah, melakukan sai antara Shafa dan Marwah, dan melempar jumrah untuk menegakkan dzikrullah (dzikirkepada Allah)”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmizi, hadits ini memiliki sanad yang lemah, yang benar ini perkataan Aisyah dan bukan perkataan Nabi).
Wallahu A’lam