“AN-NAJASY” Alias Penawaran Palsu
Serba-serbi dunia pasar sangatlah banyak dan beragam; para emak penawar handal nan mencekik, para pedagang yang mengurangi timbangan, kongkalikong permainan harga, sampai pungli (pungutan liar) para oknum, menyesaki dinamika kehidupan yang berlangsung di sana. Padahal berabad-abad silam seorang pemimpin muslim kharismatik Umar bin Al-Khatthab –radhiallahu ‘anhu– menitahkan,
لَا يبِع في سُوقِنا إلَّا من تفقَّه في الدِّين.
Artinya: “Tidak diperkenankan berdagang di pasar-pasar kami (kaum muslimin), kecuali yang memahami ilmu Agama (yang berkaitan dengan jual beli).“ [Riwayat Tirmizi, disahihkan Al-Albaniy]
Melalui pesan di atas, dapat dipahami pentingnya mempelajari hukum-hukum syariat terkait perniagaan atau jual-beli bagi para pelapak. Di antara yang perlu dihindari di pasar adalah “an-najasy” alias penawaran palsu.
Pengertian An-Najasy
An-Najasy adalah “penawaran dengan harga lebih tinggi (padahal tidak ingin membeli), dengan tujuan mengelabui pembeli lain (seakan harga tersebutlah yang pantas untuk barang itu).”
Maka pada pengertian di atas dapat kita simpulkan tiga poin penting yang menggambarkan hakikat An-Najasy;
- Tidak berniat membeli.
- Penawaran dengan harga lebih tinggi.
- Mengelabui atau menipu calon pembeli.
Hukum An-Najasy
An-Najasy tidak dibenarkan dalam syariat berdasarkan larangan baginda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– darinya. Ibnu Umar –radhiallahu ‘anhuma– meriwayatkan,
(أن رَسُولَ اللهِ نَهَى عن النَّجْشِ)
Artinya: “Bahwasanya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– melarang an Najsy.” [HR Muslim]
Hikmah dari pelarangan ini adalah untuk menghindari terjadinya penipuan pada setiap transaksi jual-beli yang terjadi. Dan jika an-najasy ini terlanjur terjadi maka hukum terkait hal ini sebagai berikut;
- Penawar palsu (pelaku an-najasy) berdosa sebab melakukan sesuatu yang dilarang oleh syariat.
- Jika terjadi kesepakatan awal di antara pelaku dan penjual dengan komisi tertentu, maka penjual juga berdosa dan komisi yang ditetapkan haram.
- Pembeli memiliki “hak pilih” untuk merelakan transaksi tersebut atau membatalkannya.
- Jika pembeli mengetahui harga (berdasarkan pengalamannya) dan menyadari adanya permainan harga, lalu tetap membeli maka jatuhlah “hak pilih” darinya.
Contoh Kasus
Di sebuah toko sepatu pasar tradisional, terjadi tawar menawar harga sebagai berikut;
Bu Bunga: “Yang ini berapa, Pak?“
Penjual: “199 ribu, Bu!”
Bu Bunga: “150 ribu, bisa Pak?“
Penjual: “170 ribu, bolehlah Bu!”
Tiba-tiba Dedi ikut nimbrung…
Dedi: “Sepatunya bagus Pak! Saya ambil 250 ribu ya?” (Ia tidak berniat membeli dan hanya ingin mempengaruhi Bu Bunga agar menerima harga yg ditawarkan).
Bu Bunga: “Ya sudah Pak. Saya ambil 170 ribu.“
Penjual: “Baik Bu, saya bungkuskan.“
Dalam contoh di atas, Dedi berdosa karena sudah mengelabui/mempengaruhi Bu Bunga untuk membeli. Penjual ikut berdosa jika melakukan kesepakatan awal dengan Dedi untuk melakukan penawaran palsu tersebut. Jika Bu Bunga mengetahui hal tersebut, maka ia memiliki hak pilih untuk merelakan transaksi tersebut atau mambatalkannya.
Demikianlah gambaran ringkas seputar an-najasy, semoga kita terhindar dari praktik-praktik terlarang dalam setiap perdagangan yang kita langsungkan, demi menggapai rezeki yang halal, baik lagi berkah. Amin…
Wallahu a’lam.