Belajar Ikhlasan dari Ibadah Kurban (Renungan QS. Al-Hajj: 37)

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد:
Ibadah kurban –demikian juga haji- telah berakhir dengan terbenamnya matahari tanggal 13 dzulhijjah. Sungguh sangat banyak hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik dari kedua ibadah yang sangat agung tersebut. Diantaranya adalah tentang keikhlasan.
Dan yang menakjubkan berkaitan dengan urgensi keikhlasan ini, Allah menjadikannya sebagai pesan terakhir dalam rangkaian ayat-ayat haji dan kurban dalam Surah Al-Hajj yang dimulai dari ayat 26 sampai 37; seolah Allah ingin menegaskan bahwa 2 ibadah agung tersebut demikian juga ibadah-ibadah yang lain tidak akan diterima disisi–Nya tanpa adanya keikhlasan.
Tidak hanya tentang urgensi keikhlasan dalam ayat tersebut, kita juga bisa memetik kiat-kiat penting untuk mewujudkan keikhlasan tersebut. Allah Ta’ala berfirman:
﴿ لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ ﴾
Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.“
Dimana Pesan keikhlasan pada ayat tersebut?
Sangat jelas, ada pada petikan firman Allah Ta’ala :
﴿ لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ ﴾
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.“
Para ahli tafsir menjelaskan, bahwa maksud takwa pada ayat tersebut adalah ikhlas dan mengharap rida Allah. Tentu ada kaitan yang sangat erat antara takwa dan ikhlas, di antaranya:
- Ikhlas adalah nilai tertinggi dari takwa
- Derajat takwa tidak bisa diraih kecuali oleh orang-orang yang ikhlas
Oleh karenanya, dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
﴿ إِنَّما يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ﴾
Artinya: “Allah hanya menerima amal ibadah dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah: 27).
Alasannya ialah karena hanya orang-orang yang bertakwa saja yang mampu mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Ta’ala.
Wujud ibadah yang terlihat dalam ibadah kurban yaitu daging dan darah hewan yang disembelih, ternyata tidak bernilai sebagai ibadah bila tidak dilandasi oleh niat yang ikhlas ketika menunaikannya. Demikian juga ibadah-ibadah lain yang ditunaikan seperti shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya. Gerakan-gerakan yang terlihat atau zikir dan doa yang terdengar dari ibadah- ibadah tersebut tidaklah bernilai ibadah di sisi Allah kecuali dilandasi dengan niat yang ikhlas.
Hakikat Ikhlas
Definisi Ikhlas secara singkat adalah:
تصفية القلب من إرادة غير الله
“Membersihkan hati dari segala keingingan/ tujuan selain Allah Ta’ala“
Oleh karenanya, hakikat ikhlas adalah memurnikan niat dan tujuan ibadah hanya bagi Allah Ta’ala, tidak tercampur oleh keinginan untuk dipuji (riya/sum’ah), atau ternodai oleh keinginan untuk meraih kenikmatan dunia, apalagi menjadikan dunia sebagai tujuan utama, Allah Ta’ala berfirman,
﴿ مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)﴾
Artinya: “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.“ (QS. Hud: 15-16).
Urgensi Ikhlas
Telah dijelaskan bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya sebuah ibadah. Banyak sekali dalil-dalil Al-Quran dan hadis yang menjelaskan urgensi ikhlas, di antaranya:
-QS. Al-Bayyinah: 5
﴿ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ ﴾
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya (ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”
–Dalam hadis qudsi disebutkan,
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Artinya: “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barang siapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (tidak menerima amalannya– pen) dan perbuatan syiriknya.’” (HR. Muslim: 2985).
Kiat-kiat Penting dalam Mewujudkan Ikhlas
Ada 3 kiat penting yang bisa kita petik dari QS. Al-Hajj: 37, di antaranya:
Pertama: Selalu memohon kepada Allah Ta’ala untuk dikaruniai keikhlasan, dengan penuh rasa kehinaan dan ketundukan. Hal ini ditunjukan oleh petikan firman Allah:
﴿ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ ﴾
Artinya: “Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu.“
Ibadah kurban tersebut terlaksana semata-mata hanya karena taufik dan kemudahan dari Allah Ta’ala; Dia yang menciptkan hewan-hewan tersebut, Allah jua yang menundukkannya sehingga mudah untuk diternak, dituntun, hingga dibaringkan untuk disembelih.
Oleh karenanya, ibadah tersebut wajib dilaksanakan dengan penuh keikhlasan, karena jika bukan karena taufik dan kemudahan dari Allah Ta’ala, niscaya ibadah kurban tidak bisa terlaksana. Demikian juga dengan ibadah-ibadah yang lain, bisa terlaksana semata-mata atas taufik dan kemudahan dari Allah Ta’ala; Allah telah menundukkan hati, jiwa dan raga untuk beribdah kepada–Nya. Seandainya Allah tidak menundukannya, tidak memberikan taufik dan kemudahan kepadanya, niscaya kita tidak mampu menjalankan ibadah-ibadah tersebut.
Pengakuan di atas, insya Allah, mampu mengikis noda-noda keikhlasan dalam hati, sebab pantaskah kita mengharapkan pujian dari ibadah yang kita lakukan? Padahal Allahlah yang menjadi sumber taufik dan kemudahan sehingga ibadah tersebut terlaksana. Kemudian layakkah kita menjadikan kenikmatan dunia sebagai tujuan utama selain Allah? Padahal Allah yang menciptakannya dan menundukkannya agar menjadi sarana untuk beribadah kepada–Nya.
Kedua: Ta’zhimullah (mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalla). Yaitu selalu merasakan keagungan Allah dalam hati dan anggota badan. Allah Mahaagung dalam rububiyah, uluhiyah dan asma wa sifat–Nnya, Allah yang menciptakan, memiliki dan mengatur seluruh makhluk alam semesta, oleh karenanya tiada yang berhak disembah, dituju, dicintai, ditakuti, diharapkan, selain Allah Ta’ala.
Pada ayat kurban, Allah Ta’ala berfirman,
﴿ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ ﴾
Artinya: “Supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu.“
Ketika menyembelih hewan kurban diwajibkan bertakbir sebagai bentuk pengagungan kepada Allah Ta’ala. Ucapan takbir tersebut sejatinya keluar dari hati yang telah menancap kukuh di dalamnya syajarah at–ta’zhim (pohon pengagungan), yang terlihat dahan-dahan dan buahnya dalam anggota badan dan berwujud ketundukan dan kepasrahan dalam beribadah.
Pengakuan di atas akan membuahkan kesadaran akan kelemahan diri dan juga seluruh makhluk, sehingga kita mampu memurnikan niat dan tujuan ibadah hanya untuk Allah Ta’ala. Pantaskah kita sombong dan zalim yang membuat kita enggan beribadah kepada Allah, padahal ubun-ubun kita dan seluruh manusia ada dalam genggaman Allah Ta’ala? Dialah yang menciptakan dan memiliki jiwa dan raga kita. Layakkah makhluk yang lemah, banyak cacat, dan penuh kekurangan dituju, diharapkan, dicintai, ditakuti, an diharapkan, selain Allah?
Oleh karenanya, keberadaan sifat ta’zhim dan ikhlas berbanding lurus, hamba Allah yang paling ikhlas adalah hamba yang paling mengagungkanNya.
Ketiga: Beribadah dengan ihsan. Allah Ta’ala memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beribadah dengan ihsan,
﴿ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ﴾
Artinya: “Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.“
Ihsan dalam beribadah memiliki dua sisi yang tidak bisa dipisahkan:
1- Ihsan dalam hati, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jelaskan dalam sabdanya,
أنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.
Artinya: “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau.“
Bila seseorang meyakini dan merasakan bahwa Allah Ta’ala mengawasi, melihat dan mendengarnya, maka insya Allah, ia akan mampu memurnikan niat dan tujuan ibadahnya hanya untuk Allah semata. Setiap kali ada bisikan hati untuk condong kepada selain Allah, niscaya dia akan segera sadar bahwa Allah satu-satunya yang berhak disembah, dituju, dicintai, ditakuti, dan diharapkan. Sangat berbeda dengan orang yang beribadah namun hatinya kosong dari ihsan, hati tersebut akan mudah terbawa oleh bisikan-bisikan yang akan mengotori keikhlasannya.
2- Ihsan dalam anggota badan. Yaitu ibadah yang dilakukan wajib sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau dalam istilah lain sering disebut dengan mutaba’ah/ittiba’. Oleh karenanya, ukuran baik tidaknya ibadah bukan terletak pada jumlahnya banyak atau sedikit, tempo waktunya lama atau sebentar, berat atau ringannya, tapi ibadah yang paling baik adalah ibadah yang dilakukan sesuai yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kaitan antara mutaba’ah/ ittiba’ dan ikhlas sangatlah erat. Bila kita bertanya, siapa hamba Allah yang paling ikhlas? Maka jawaban kita adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tanpa ada perselisihan.
Oleh karenanya, bila kita ingin meraih ikhlas, maka wajib mencontoh ibadah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun berpaling dari Sunnah beliau dan melakukan ibadah tanpa contoh dari beliau (bid’ah), niscaya akan menghalagi kita dari ikhlas yang sebenarnya.
Bila seorang hamba telah menunaikan kewajibannya terhadap Allah dengan ihsan, maka insya Allah, ia akan mampu menunaikan kewajiban terhadap sesama makhluk dengan ihsan pula. Jangankan kepada sesama bani Adam, kepada hewanpun ia akan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai ihsan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيءٍ. فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا اْلقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
Artinya: ”Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan perbuatan ihsan (baik) pada tiap-tiap sesuatu. Jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik, jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik, dan hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim).
Inilah 3 kiat penting yang bisa kita petik dari QS. Al-Hajj ayat 37, mudah-mudahan bisa membantu dalam meraih keikhlasan yang sejati.
Haji dan ibadah kurban telah berlalu, namun ikhlas tidak boleh berlalu dan lepas dari hati-hati kita hingga ajal menjemput.
اللّٰهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Ya Allah! Bantulah aku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur pada-Mu, dan beribadah dengan baik bagi-Mu“