Wahai Muslimah, Berdakwahlah (Bag. 2)

Hukum keluar dari rumah untuk berdakwah bagi muslimah
Pembahasan tentang hukum berdakwah bagi muslimah merupakan pembahasan yang hangat, ada pro dan kontra dalam masalah ini, khususnya pembahasan terkait hukum keluarnya muslimah dari rumahnya untuk berdakwah.
Jika kita menelisik tentang masalah ini, kita akan disajikan perdebatan yang hangat dan diskusi yang panjang. Usut punya usut, ternyata permasalahan ini –yaitu perselisihan tentang hukum keluarnya seorang muslimah dari rumahnya- bermuara dari pemahaman terhadap firman Allah:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
Artinya:”Dan hendaklah kalian menetap di rumah kalian [tidak keluar dari rumah]”.[QS. al-Ahzab 33].
Ayat diatas merupakan pilar bagi menetapnya wanita muslimah di rumah, dan tidak keluar darinya kecuali jika ada kebutuhan. Ibnu Katsir mengatakan: ”Menetaplah [wahai muslimah] di rumah-rumah kalian, dan janganlah keluar kecuali bila ada kebutuhan.”([1]) Kelaziman wanita muslimah untuk menetap di rumahnya semakin kuat, jika kita menyimak perkataan dari Ummul Mukminin Aisyah –radhiyallahu ‘anha-:
لو أدرك رسول الله صلى الله عليه و سلم ما أحدث النساء لمنعهن كما منعت نساء بني إسرائيل
Artinya: ”Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui apa yang dilakukan oleh para wanita [muslimah], maka pasti beliau akan melarang mereka [untuk pergi ke masjid], sebagaimana dilarangnya wanita-wanita Bani Israil”.[HR. Bukhari No Hadits: 831, Muslim No Hadits: 445].
Ucapan ibunda Aisyah –radhiyallahu ‘anha- ini berangkat dari fenomena tabarruj [berdandan dan berhias] yang menghinggapi wanita-wanita muslimah ketika mereka pergi ke masjid pada zaman tersebut. Dan hal ini menunjukkan bahwa para sahabat wanita pergi ke masjid pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup tanpa berdandan dan berhias, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لا تمنعوا إماء الله مساجد الله ولكن ليخرجن وهن تفلات
Artinya:”Jangan kalian melarang wanita muslimah untuk shalat di masjid (berjamaah), namun hendaknya mereka pergi (ke masjid) tanpa memakai wewangian.[HR. Abu Dawud, shahih].
Diskusi ini semakin panas dengan munculnya fatwa-fatwa ulama kontemporer terkait masalah ini, yang mana dhahir dari fatwa mereka kontradiktif.
Sebuah pertanyaan datang kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani –rahimahullah- redaksinya sebagai berikut:
Sebagian wanita muslimah keluar [dari rumahnya] untuk mendakwahi para muslimah, maka mereka mengunjungi rumah-rumah kaum muslimah dan mengadakan kajian-kajian bagi mereka, apakah hal ini menyelisihi perintah Allah [bagi mereka] untuk menetap di rumah, dan bolehkah menyebut mereka sebagai da’iyah [juru dakwah wanita]??
Beliau menjawab:
“Saya meyakini bahwa hal ini merupakan problema bagi zaman ini, [yaitu] adanya penamaan da’i [juru dakwah laki-laki] dan da’iyah [juru dakwah wanita], tentunya hal ini termasuk sesuatu yang baru dalam agama [bid’ah]…. tidak apa-apa –bahkan wajib- jika ada wanita yang terpelajar [penuntut ilmu syar’i] kemudian datang kepadanya wanita-wanita muslimah untuk bertanya [tentang masalah agama], karena sebagian wanita segan untuk bertanya kepada ulama hal-hal yang bersifat pribadi”. Beliau menambahkan: ”Bahkan sebagian wanita ada yang naik mimbar untuk berceramah kepada para muslimah, dan terkadang di masjid masih ada laki-laki yang sedang shalat, maka perkara ini merupakan hal yang baru dalam agama [bid’ah], karena sesungguhnya kewajiban seorang wanita adalah berdiam diri di rumahnya.”[2]
Jika kita menelaah fatwa fadhilatus syaikh Al Albani –rahimahullah- diatas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa secara prinsip beliau mengakui kebutuhan akan adanya ulama wanita (ustadzah) yang bisa menjadi rujukan bagi kaum muslimah atas problematika mereka, pengingkaran beliau terfokus pada penyelewengan yang terjadi berupa “keluasan” (menurut beliau) sebagian wanita muslimah untuk keluar dari rumah tanpa kebutuhan yang mendesak, dan ini bertentangan dengan ayat dalam surat al-Ahzab : 33. Dan diantara fenomena yang diingkari oleh beliau adalah tempat berlangsungnya kajian (majlis ilmu), yang mana sebagian kajian dilaksanakan di tempat umum yang berpotensi menghadirkan fitnah, sehingga “keindahan” sang ustadzah bisa dinikmati oleh laki-laki yang berada di tempat tersebut. Dan hal ini selaras dengan fatwa dari Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, beliau mengatakan: ”Bahwa tempat-tempat dakwah bagi seorang da’iyah (juru dakwah wanita) adalah tempat-tempat berkumpulnya wanita, seperti sekolah-sekolah khusus wanita dsb[3], yang mana ia bisa datang ke tempat tersebut dan berdakwah kepada para muslimah, adapun tempat-tempat berkumpulnya laki-laki maka da’inya laki-laki juga.[4]
Salah satu yang diingkari oleh Fadhilatus Syaikh Al Albani adalah “keluasan” seorang muslimah untuk keluar dari rumahnya tanpa kebutuhan yang mendesak, dan sepertinya dakwah (menurut beliau) bukanlah hal yang mendesak, sehingga mereka bisa keluar rumah dengan leluasa, beliau berkata dalam fatwanya: ”Secara prinsip seorang wanita (muslimah) dilarang keluar rumah kecuali ada kebutuhan mendesak, dan disini jelas perkaranya bagi da’iyah (juru dakwah wanita), dilarang baginya keluar rumah, demikian juga dengan wanita yang hendak menuntut ilmu. Mereka boleh keluar rumah karena mereka boleh keluar ke masjid…, bolehnya wanita keluar rumah untuk melaksanakan shalat lima waktu di masjid, dengan tambahan penjelasan dari Nabi, bahwa shalatnya wanita di rumahnya lebih baik, (kebolehan itu) disebabkan karena shahabiyat (sahabat wanita) pergi untuk menuntut ilmu (di masjid)…, adapun ia (muslimah), maka tidak boleh (berluas-luas) keluar rumah seperti keluarnya laki-laki.
Menelaah fatwa diatas, kita bisa simpulkan bahwa syaikh Al Albani –rahimahullah- termasuk orang yang berhati-hati dalam membolehkan keluarnya wanita dari rumah untuk berdakwah, beliau tidak melarang secara mutlak, namun juga tidak membolehkan secara mutlak, bahkan cenderung untuk memperketat kebolehan kegiatan wanita di luar rumah.
Sebagian ulama cenderung “luwes” dalam menyikapi kegiatan dakwah wanita di luar rumah. Syaikh Bin Baz mengatakan: ”Keluarnya wanita dari rumahnya dalam rangka untuk mengajar, berdakwah, menjenguk orang sakit atau berziarah kepada sanak kerabat adalah amalan yang baik, namun ia harus memperhatikan hal-hal yang syar’i [terkait dengan keluarnya wanita dari rumah], seorang wanita [ketika keluar rumah] harus menutup auratnya dan menghindari hal-hal yang bisa menyebabkan fitnah, tidak menampakkan keindahan tubuhnya dan tidak keluar dengan memakai wewangian karena dapat menyebabkan fitnah”.
Seorang akhwat bertanya kepada syaikh Bin Baz terkait dengan kegiatan dakwahnya di luar rumah, maka beliau menjawab: ”Hukum asal bagi wanita adalah menetap dalam rumah dan tidak keluar kecuali ada hajat, dan jika ia telah bersuami hendaklah meminta ijin dari suaminya, dan jika ia keluar dalam rangka untuk berdakwah dan mengajar maka ini adalah hajat yang besar, maka ia akan mendapat pahala jika keluar rumahnya demi untuk mengajar dan berdakwah…, namun ia dilarang untuk safar tanpa mahram, namun apabila jaraknya tidak seberapa jauh [bukan safar], maka tidak apa-apa.[5]
Akumulasi dari fatwa para ulama ini, memberikan rambu-rambu bagi seorang da’iyah [juru dakwah wanita] ketika hendak keluar rumah untuk berdakwah, diantaranya:
- Ijin dari wali atau suaminya.
- Tidak melakukan safar dakwah kecuali ditemani oleh mahramnya.
- Menjaga aurat dan tidak memakai wewangian.
- Tempat pengajiannya di tempat tertutup atau tempat khusus wanita.
Selamat berdakwah!!.
________________________________
([1]) . Tafsir Ibnu Katsir 6/409.
[2]. Silsilatul Huda wan Nur, kaset no: 189.
[3]. Masuk dalam kategori ini musholla khusus wanita yang ada di masjid, wallahu a’lam.
[4] . Nur ‘Alad Darb, kaset no: 128.
[5]. Fatwa-fatwa ini bisa dibaca di : http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=98466