Umrah Ramadhan
Umrah ialah mengunjungi Masjidil Haram di Mekkah untuk menunaikan manasik berupa ihram, thawaf, sa’i, dan menggundul atau memendekkan rambut. Menurut pendapat mazhab Syafi’i dan Hanbali ibadah yang mulia ini hukumnya wajib sekali seumur hidup seperti haji. Karena saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya apakah wanita wajib berjihad, beliau menjawab, “Ya, jihad yang tidak ada perangnya, haji dan umrah.” [HR. Ibnu Majah, shahih]
Sebagaimana ibadah lainnya, umrah memiliki keutamaan yang sangat besar, di antaranya:
- Penghapus dosa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
“Satu umrah ke umrah yang lain adalah penghapus dosa antara keduanya, dan haji mabrur tidak memiliki balasan melainkan surga.” [HR. Bukhari dan Muslim]
- Penghapus kemiskinan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَابِعُوا بَيْنَ الحَجِّ وَالعُمْرَةِ، فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الكِيرُ خَبَثَ الحَدِيدِ، وَالذَّهَبِ، وَالفِضَّةِ، وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ المَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلَّا الجَنَّةُ
“Dekatkanlah antara haji dan umrah, karena keduanya dapat menghilangkan kemiskinan dan dosa sebagaimana tungku besi dapat menghilangkan kotoran pada besi, emas, dan perak. Haji yang mabrur tidak memiliki pahala melainkan surga.” [HR. Tirmidzi dan Nasai, hasan shahih]
Umrah di bulan Ramadhan
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bercerita bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pulang dari hajinya, beliau bertanya kepada Ummu Sinan, seorang wanita Anshar yang tidak ikut haji bersamanya, “Apa yang menghalangimu untuk tidak ikut berhaji?” Ummu Sinan menjawab, “Suamiku hanya memiliki dua unta yang kami pakai untuk menimba air, beliau berhaji dengan mengendarai salah satunya, dan satu lagi menyirami ladang kami.” Demi mendengar jawaban ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي
“Sesungguhnya umrah di bulan Ramadhan seperti haji atau seperti haji bersamaku.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Pada hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan solusi bagi orang yang tidak berkesempatan untuk berhaji bersama beliau agar dapat meraih pahalanya, yaitu dengan menunaikan umrah di bulan Ramadhan.
Terkait keutamaan ibadah ini, Ibnul Jauzi menerangkan bahwa sebuah ibadah dapat bertambah pahalanya karena kemuliaan waktu pelaksanaannya. Ya, Ramadhan adalah bulan istimewa, Allah melipatgandakan pahala ibadah di bulan ini sesuai kehendak-Nya, termasuk ibadah umrah. Bisa juga pahala besar ini diberikan karena tingkat kesulitan yang lebih dari biasanya. Tidak dipungkiri bahwa umrah dalam keadaan berpuasa, meski dalam kondisi tertentu boleh berbuka, tentu lebih berat. Belum lagi padatnya tempat thawaf dan sa’i yang menuntut kita untuk lebih bersabar dalam menunaikannya.
Apakah berarti kewajiban haji telah gugur?
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud menyerupai haji atau haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pada pahalanya, bukan keseluruhan haji. Artinya, bila orang yang umrah di bulan Ramadhan telah memenuhi syarat wajib haji, maka ia tetap wajib melaksanakannya dan tidak bisa tergantikan dengan umrahnya tersebut. [Lihat Umdatul Qari, 10/117]
Ini berlaku pula pada hadits-hadits yang serupa. Misalnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi:
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
“Qul huwallahu ahad [surat al-Ikhlas] sama dengan sepertiga al-Quran.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Sehingga tidak dapat diterima pemahaman bahwa seorang muslim boleh mencukupkan diri dengan membaca surat al-Ikhlas saja dan tidak membaca surat-surat yang lain.
Begitu pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، عَشْرَ مِرَارٍ كَانَ كَمَنْ أَعْتَقَ أَرْبَعَةَ أَنْفُسٍ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ
“Barang siapa mengucapkan لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ sebanyak 10 kali, maka seperti orang yang memerdekakan 4 jiwa dari keturunan Ismail.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Apa setelah umrah?
Pahala umrah Ramadhan yang demikian besar bukanlah akhir dari ibadah kita. Ibadah ini adalah salah satu proses tarbiyah (pembinaan) yang mengajarkan dan membentuk nilai-nilai luhur dalam kehidupan seorang muslim. Seorang muslim yang cerdas akan berusaha mencermati nilai dan norma tersebut serta berupaya dengan gigih untuk merefleksikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Umrah membina kaum muslimin untuk menjadi pribadi yang tangguh dalam keimanan dan tauhid. Bagaimana tidak? Kalimat talbiyah yang senantiasa dikumandangkan saat berihram adalah esensi dari tauhid dan inti dari keimanan kepada Allah, kalimat talbiyah memiliki makna yang sangat agung dan akan menggoreskan pengaruh yang sangat dalam.
Thawaf merupakan cerminan dari kepatuhan dan ketundukan yang total kepada Allah, proses mengitari Ka’bah tujuh kali tanpa mengetahui hikmah dibaliknya merupakan tanda keimanan dan ketaatan kepada Allah. Hal ini mengajarkan sifat seorang muslim sejati ketika dihadapkan pada perintah dan larangan dari Allah, hendaknya ia patuh dan taat kepada perintah dan larangan tersebut kendati tidak mengetahui hikmah dan manfaat dibalik itu semua, Allah berfirman yang artinya:
“Tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula wanita yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka.” [QS. Al-Ahzab: 36]
Putihnya pakaian ihram hendaknya mengingatkan kita akan pentingnya kesucian hati dari kegelapan syirik dan kekelaman amalan yang tidak memiliki dasar dalam syariah. Menyadarkan kita akan pentingnya kebersihan lisan dari ucapan kotor dan keji, serta kemurnian akhlak dan sikap kita dari tabiat yang tercela. Selain itu, warna putih merupakan warna kain kafan yang akan menyelimuti kita ketika wafat. Setinggi apapun jabatan yang disandang, sepanjang apapun pangkat yang disematkan, sebanyak apapun harta yang dikumpulkan, pada akhirnya ia akan diselimuti dengan sehelai kain putih ketika meninggal dunia. Pakaian ihram ini semestinya mengondisikan kita untuk memperbanyak mengingat kematian yang akan lebih mengokohkan keimanan dan menguatkan ketakwaan.
Proses sa’i antara dua bukit Shafa dan Marwah adalah napak tilas peri kehidupan ibunda Nabi Isma’il ketika mencari air untuk sang putra tercinta. Sa’i bukan bentuk nostalgia “cengeng” dengan sejarah, namun ibadah ini mendiktekan sebuah pelajaran kepada seorang muslim yang ingin menggapai tingginya cita-cita; sikap gigih dan pantang menyerah dalam upaya merealisasikan cita-cita nan tinggi, yang selanjutnya disempurnakan dengan hiasan tawakal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.