Syariat Ambigu (1)
Perbedaan interpretasi terhadap syariat dan ketetapan hukum-hukumnya membuktikan bahwa tuntutan implementasi syariat adalah sia-sia alias absurd, karena intinya menuntut penerapan perundangan yang masih menjadi perdebatan. Mazhab-mazhab fikih sepanjang masa telah menumpuk segudang kontroversi dalam penetapan hukum-hukum syariat, sedangkan perdebatan ulama kontemporer jauh lebih luas, lantas syariat mana yang ingin diterapkan?
Itulah ekspresi pihak yang kontra terhadap seruan implementasi syariat. Kendati persoalan ini dinilai klasik, tetapi masih terus-menerus diekspos dan masih saja laris. Barangkali perbedaan pendapat dalam ranah fikih yang terjadi sejak dulu, ditambah lagi bermunculannya program-program religi dan fatwa interaktif di layar kaca, apalagi persoalan ini sejalan dengan ideologi liberal yang mendominasi bahasa media juga kegiatan jurnalistik di seantero Arab dan penjuru dunia. Begitu pula implementasi syariat yang bervariasi di dunia nyata ikut berkontribusi dalam mencuatnya persoalan ini ke platform riset dan berbagai diskusi.
Di sudut lain, persoalan ini mengungkapkan kebingungan yang bersemayam di hati kelompok lain, lalu mengacaukan persepsi mereka sehingga meragukan validitas prinsip dasar implementasi syariat. Keraguan tersebut dapat dimaklumi bagi mereka yang memang menyambut referensi hukum lain yang kontradiktif dengan referensi syariat. Ketidaktahuan tentang esensi syariat adalah efek dari terlalu jauhnya mereka berpaling dari syariat. Namun, sebaran soalan ini yang begitu masif membuatnya menjangkiti kelompok-kelompok lain yang pada dasarnya tidak sebaris dengan pengusung liwa’ (panji-panji) anti syariat.
Terlepas dari motif-motif pemicu persoalan ambiguitas syariat dan supaya dapat menyingkap kekeliruan esensinya, maka persoalan tersebut dan berbagai implikasinya akan dijawab melalui poin-poin berikut ini.
- Keniscayaan Perbedaan antara Syariat dan Takdir
Perbedaan pendapat di antara manusia adalah sunnah kauniyah yang ditakdirkan Allah atas hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.” (QS. Hud: 118-119).
Allah Ta’ala yang menakdirkan perbedaan tersebut lalu juga menurunkan syariat sebagai landasan ibadah dan hukum. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 105).
Persoalan yang ditujukan pada implementasi syariat dengan dalih adanya multitafsir, sebenarnya merupakan penentangan terhadap ketetapan dan perintah Allah Ta’ala juga asumsi bahwa Allah kurang bijaksana, karena memerintahkan perkara yang tidak memenuhi syarat.
Lantas, apa solusi qurani untuk problem ini?
Sejatinya perbedaan pendapat adalah sunnah kauniyyah yang niscaya terjadi, karenanya Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk rujuk kepada wahyu tiap kali terjadi silang pendapat. Banyak nas wahyu yang menunjukkan perintah lugas ini, di antaranya:
Firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An-Nisa’: 58)
Juga firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An-Nisa’: 65)
Perbedaan pendapat biasanya terletak pada penyimpulan hukum atau aplikasinya pada realitas yang ada, ia bukan perkara baru yang muncul di zaman kita sehingga perlu ijtihad atau riset untuk menentukan sikap terhadapnya, karena sudah menjadi sunatullah atas manusia. Kendati demikian Allah telah memerintahkan kita untuk mengikuti syariat-Nya, maka menolak syariat dengan dalih terdapat perbedaan dalam sebagian substansinya tidaklah berarti sama sekali, sebab perbedaan tersebut sudah ada sejak masa sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu, dan dalam wahyu yang turun tersebut justru terdapat penolakan terhadap inti persoalan di atas.
- Multi interpretasi sebuah konsep tidak berarti menonaktifkannya
Apakah implementasi syariat satu-satunya konsep yang multiinterpretasi?
Apakah perbedaan pendapat merupakan kasus aneh yang hanya terdapat pada syariat Islam?
Perbedaan pendapat dan konflik persepsi sebenarnya terjadi pada semua konsep dan norma umum yang berlaku di kalangan manusia, ada saja parsial tertentu yang disepakati bersama bahwa ia adalah hasil pertimbangan atau ijtihad. Selama ini tidak ada yang mengatakan bahwa konsep tersebut diragukan atau harus dibatalkan karena ada silang pendapat padanya. Contoh paling nyata adalah konsep demokrasi dan kebebasan, banyak sekali kontra persepsi terhadap kedua konsep ini, masing-masing aliran membuat interpretasi sendiri, namun multiinterpretasi terhadap konsep-konsep ini tidak mempengaruhi pendirian, pembelaan dan tuntutan para pengusungnya. Secara naluri orang berakal sehat meyakini bahwa perbedaan pada makna sebuah ide, mazhab atau norma tertentu tidak serta merta meruntuhkannya tanpa makna, sebab perbedaan sudut pandang terjadi pada semua ide pemikiran.
Bila saja perbedaan interpretasi pada konsep implementasi syariat memicu keraguan akan keabsahannya, maka perselisihan terhadap konsep demokrasi dan kebebasan juga seharusnya memicu keraguan dan tuntutan untuk membatalkan keduanya atau yang semisalnya.
Mungkin sebagian orang bertanya, “Bukankah sudah ada mahkamah konstitusi, dewan parlemen, dan organisasi HAM yang berkompetensi untuk memutuskan perselisihan tersebut?”, Maksudnya mengarah pada metode penyelesaian sengketa ala sistem demokrasi. Tentu ini berangkat dari miskonsepsi bahwa syariat Islam tidak memiliki metodologi dan sarana ilmiah untuk mengatur kemudian memutuskan berbagai ijtihad terkait hukum-hukum syariat. Sepatutnya si penanya mengikuti jalur yang benar dalam menyikapi setiap perbedaan, yakni mencari cara menghadapinya, bukan malah menjadikan perbedaan sebagai landasan untuk menolak atau menuntut pembatalan topik yang diperdebatkan.