Serial Usul Tafsir (bag. 6)

Israiliyat (Riwayat Bani Israil).
Israiliyat adalah berita yang diambil oleh para ahli tafsir dari Bani Israil. Yang dimaksud dengan tafsir Alquran dengan Israiliyat adalah memanfaatkan riwayat Bani Israil dalam menjelaskan sebagian makna yang terkandung dalam kisah-kisah Alquran, atau yang berkaitan dengannya.
Sebelum menentukan alasan mengapa Israiliyat bisa dijadikan sebagai sumber tafsir, kami sebutkan lima perkara berikut:
Pertama: Para ulama masa kini tidak boleh menciptakan sumber-sumber baru yang tidak ada asalanya dari para ulama terdahulu dalam memahami Alquran.
Kedua: Sebagian kisah Bani Israil sifatnya ringkas.
Ketiga: Tidak ada cara untuk mengetahui keumuman beberapa ayat kecuali melalui riwayat Bani Israil, baik dari segi nama ataupun peristiwa.
Keempat: Tidak semua riwayat Bani Israil adalah berita bohong atau keliru, meskipun hal itu banyak.
Kelima: Para ulama terdahulu menggunakan Israiliyat dalam penafsiran Alquran karena ada izin dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, sebagaimana dalam sabdanya: “Ceritakan (berita-berita) dari Bani Israil, dan (hal itu) tidak ada masalah”.
Ada banyak manfaat yang diperoleh dari penafsiran Alquran dengan riwayat Israiliat, di antaranya:
Pertama: Menjelaskan makna yang terkandung pada suatu ayat, seperti penafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma pada lafaz (الجَسَد) yang terdapat dalam firman Allah azza wajalla:
{وَأَلْقَيْنَا عَلَى كُرْسِيِّهِ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ}
“Kami letakan tubuh di atas kursinya, kemudian ia bertaubat” [Shad: 34], dengan makna: Setan([1]).
Kedua: Menjelaskan sebab terjadinya kisah tentang Bani Israil, seperti apa yang diriwayatkan oleh al-Thabari dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma tentang kisah dua orang yang berselisih dalam firman Allah azza wajalla:
{وَهَلْ أَتَاكَ نَبَأُ الْخَصْمِ إِذْ تَسَوَّرُوا الْمِحْرَابَ}
“Apakah telah sampai kepadamu berita orang-orang yang berselisih ketika mereka memanjat dinding mihrab?” [Shad: 21]([2]).
Ketiga: Menjelaskan hal-hal yang ambigu (samar), seperti yang diriwayatkan dari para salaf mengenai perbedaan penafsiran pada lafaz (القَرْيَة) dalam firman Allah azza wajalla:
{وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ}
“Tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang negerinya yang terletak di dekat laut” [Shad: 21]([3]).
Keempat: Memperinci makna umum dari kisah-kisah Bani Israil, seperti yang diriwayatkan dari para salaf mengenai (النُّصْب والعَذَاب) yang menimpa Ayub alaihissalam dalam firman Allah azza wajalla:
{وَاذْكُرْ عَبْدَنَا أَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ}
“Ingatlah akan hamba Kami; Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: Sesungguhnya aku diganggu setan dengan penderitaan dan bencana” [Shad: 41]([4]).
Narasi para salaf dalam penyebutan Israiliyat ada yang berkaitan tentang hukum syariat atau akidah – meski jarang -, namun hal ini hanya bersifat tambahan bukan hal yang dasar; untuk menjelaskan sesuatu di luar ayat tersebut.
Para salaf dalam menafsirkan Alquran dengan Israiliyat ada dua mazhab:
- Dibolehkan mengambil manfaat darinya, ini mazhab mayoritas para ulama, dalil mereka:
Dari Alquran; firman Allah azza wajalla:
{سَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَمْ آتَيْنَاهُمْ مِنْ آيَةٍ بَيِّنَةٍ وَمَنْ يُبَدِّلْ نِعْمَةَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ}
“Tanyakanlah kepada Bani Israil, berapa banyak bukti nyata yang telah Kami berikan kepada mereka. Barangsiapa menukar nikmat Allah setelah (nikmat itu) datang kepadanya, maka sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya” [al-Baqarah: 211].
Dan firman Allah azza wajalla:
{فَإِنْ كُنْتَ فِي شَكٍّ مِمَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ فَاسْأَلِ الَّذِينَ يَقْرَءُونَ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكَ لَقَدْ جَاءَكَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ}
“Maka jika engkau (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang yang membaca kitab sebelummu. Sungguh, telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau termasuk orang yang ragu” [Yunus: 94]. Dan ayat-ayat lain yang menyuruh Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk bertanya kepada Bani Israil tentang berita dan keadaan mereka, kalau hal itu terlarang pasti akan ada peringatan.
Dari Sunnah; hadis Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu’anhuma yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sampaikanlah dariku walau satu ayat, ceritakan (berita-berita) dari Bani Israil, dan (hal itu) tidak ada masalah, dan barangsiapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku; hendaklah ia mengambil tempatnya di neraka“([5]), dan hadis Abu Umamah radhiyallahu’anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika Ahli Kitab menyampaikan suatu berita, janganlah kamu mempercayainya atau mengingkarinya, namun katatkanlah: Kami beriman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. Jika hal itu benar; kalian tidak mendustakannya, dan jika hal itu batil (salah) kalian tidak membenarkannya”([6]).
Dari Ijmak; para sahabat sepakat secara diam tidak melarang tentang hal itu.
- Dilarang mengambil manfaat darinya, dengan dalil hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kamu bertanya apapun kepada Ahli Kitab, karena mereka telah tersesat dan tidak akan memberi petunjuk kepadamu, sebab kamu akan membenarkan yang batil, atau mendustakan yang benar, seandainya Musa masih hidup di antara kamu;niscaya dia tidak punya pilihan selain mengikutiku“([7]).
([1] (Catatan: Para ulama tiga generasi ini (sahabat, tabiin, dan pengikut tabiin) menafsirkan ayat tersebut dengan cerita ini, namun itu tidak berarti bahwa mereka mengakui kebenaran kisah secara rinci, karena rinciannya perlu diteliti kebenaran atau tidaknya dengan cara yang lain.
([2] ((Tafsir al-Thabari 20/64).
([3] ((Tafsir al-Thabari 10/509).
([4] ((Tafsir al-Thabari 20/106-107).
([5] ((HR. Bukhari, Kitab hadis para nabi, Bab tentang Bani Israil, No. 3461).
([6] ((HR. Ahmad 28/460, No. 17255), dan diriwayatkan oleh Abu Dawud sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.