Ulumul Quran

Serial Usul Tafsir (bag. 3)

2. Sunnah

Tafsir dengan Sunnah dilihat dari segi penafsirnya terbagi menjadi dua:

  • Secara langsung (Tafsir Nabawi).

Yaitu Nabi shallallahu alaihi wasallam sengaja menyebutkan atau mengisyaratkan suatu ayat dalam sabdanya, kemudian menjelaskan maknanya, atau membenarkan pemahaman salah seorang sahabat tentang ayat tersebut.

Bagian ini ada dua metode:

  1. Beliau menjelaskan secara langsung, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ummul Quran adalah tujuh ayat yang diulang-ulang dan Alquran yang agung([1]).
  2. Salah seorang sahabat bertanya kepada beliau tentang apa yang belum dimengerti, seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dari Masruq, ia berkata: Kami bertanya kepada Abdullah (bin Mas’ud) tentang ayat:

Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup di sisi Rabbnya mendapat rezeki” [Ali Imran: 169]

Dia berkata: Kamipun telah menanyakan hal itu, lalu beliau menjawab: “Ruh mereka ada di dalam perut burung-burung hijau yang tinggal di lentera-lentera yang bergelantungan di Arsy, (burung-burung itu) bisa terbang di surga ke mana saja, kemudian kembali ke lentera-lentera itu, lalu Rabb mereka menjumpainya, lantas bertanya: Adakah sesuatu yang kalian inginkan? Mereka menjawab: Tidak ada lagi sesuatu yang kami inginkan, sudah cukup bagi kami bisa terbang ke surga di manapun yang kami mau. Hal itu diulang sebanyak tiga kali, dan ketika mereka tahu bahwa mereka tidak akan dibiarkan tanpa ditanya; mereka berkata: Wahai Rabb, hidupkanlah kami kembali, agar bisa terbunuh lagi (dalam berjihad) di jalan-Mu. Ketika Dia tahu bahwa mereka tidak lagi memerlukan suatu apapun; mereka ditinggal (pergi)”([2]).

Yang tersirat dari tafsir nabawi itu sedikit sekali, dan penafsir hanya bisa menukil apa yang ada. Jika dikatakan apakah tafsir para sahabat itu memiliki hukum marfu’ (seperti hadis Nabi)? Kami mengatakan: Banyak ijtihad para sahabat radhiallahu ‘anhum dalam menjelaskan makna-makna Alquran, dan biasanya mereka menyandarkan apa yang berasal dari Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada beliau, namun ketika mereka tidak menyandarkannya kepadanya, menunjukkan bahwa hal itu bukan dari beliau.

  • Secara tidak langsung.

Yaitu seorang penafsir menafsirkan suatu ayat dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang tidak disebutkan dalam konteks penafsiran. Dan bagian ini banyak sekali bentuknya.

Baca Juga  Serial Usul Tafsir (bag. 5)

Adapun macam-macam tafsir Alquran dengan Sunnah, di antaranya:

  • Mengkhususkan yang umum, seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahihnya dari Anas: “Bahwa orang Yahudi, apabila wanita mereka sedang haid, mereka tidak makan dan tidak berkumpul bersamanya di rumah, lalu para sahabat bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, kemudian Allah ta’ala menurunkan ayat:

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, itu adalah sesuatu yang kotor. Karena itu jauhilah istri-istri (kalian) pada waktu haid … ” [al-Baqarah: 222], kemudian Rasulullah bersabda: “Lakukan apasaja kecuali bersetubuh”, hal itu sampai kepada orang-orang Yahudi, lalu berkata: orang ini selalu ingin menyelisihi kita([3]).

  • Memperinci yang global, seperti apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dari Abu Hurairah radhiallahu anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ummul Quran adalah tujuh ayat yang diulang-ulang dan Alquran yang agung([4]).
  • Memperjelas hal yang bermasalah, seperti apa yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahihnya dari al-Mughirah bin Shu’bah radhiallahu anhu, ia berkata: Ketika saya datang ke Najran, penduduk di sana menanyakan: Kenapa kalian membaca (dalam Alquran tentang Maryam): Wahai saudari Harun, padahal Nabi Musa itu sebelum Nabi Isa dalam waktu yang sangat lama! Lalu ketika bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, saya bertanya tentang hal itu kepadanya, beliau menjawab: “Mereka suka memberi nama dengan nama-nama para nabi dan orang-orang shaleh sebelum mereka([5]).

Banyak sekali contoh penafsiran dengan Sunnah, di antaranya:

  • Menyebutkan hadis yang maknanya sesuai dengan ayat, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Katsir: Firman Allah azza wajalla: {ﱁ ﱂ ﱃ} “Pada hari itu neraka Jahannam didatangkan” [al-Fajr: 23], (sesuai dengan apa) yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bin al-Hajjaj dalam Shahihnya: … dari Abdullah -bin Masud- beliau berkata: telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Pada hari itu neraka Jahannam didatangkan dengan tujuh puluh ribu kendali, dan dan setiap kendali ditarik oleh tujuh puluh ribu malaikat([6]).
  • Menyebutkan hadis yang terdapat lafaz Alquran untuk menjelaskan maknanya, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Katsir ketika menafsirkan firman Allah azza wajalla:

Maka mengapa orang-orang kafir itu datang bergegas ke hadapanmu (Muhammd), Dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok” [al-Ma’arij: 36-37], ia menyebutkan riwayat dari Jabir bin Samurah; bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menemui para sahabat, sedangkan mereka dalam keadaan duduk (secara berkelompok-kelompok), lantas beliau bersabda: «مَالِي أَرَاكُمْ عِزِينَ», “Mengapa aku melihat kalian berkelompok-kelompok?”([7]).

  • Menggunakan Sunnah untuk mentarjih (memilih pendapat yang paling kuat) ketika ada perbedaan, seperti yang disebutkan oleh Ibnu al-‘Arabi tentang firman Allah azza wajalla:

Di tangan para utusan, yang mulia lagi berbakti” [Abasa: 15-16]: “Para sahabat adalah orang-orang yang mulia dan berbakti, namun yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah mereka, tidak pula mendekati apa yang dimaksud, namun lafaz tersebut hanya diperuntukkan bagi para malaikat, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Orang yang membaca Alquran dengan hafalan (yang kuat) bersama para malaikat yang mulia dan berbakti, adapun orang yang membaca Alquran dengan kesulitan ia mendapatkan dua pahala([8]).

  • Menafsirkan ayat dengan takwil dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah radhiallahu anha, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika ruku dan sujud selalu memperbanyak bacaan:
Baca Juga  Apakah Ada Nasakh dalam Al-Quran? (Bag. 1)

(Maha Suci Engkau, wahai Rabb kami, dengan memujimu wahai Allah, ampunilah aku); takwil beliau (yang terdapat dalam) Alquran”([9]). ]yaitu surat an-Nashr([10]) [

  • Menyebutkan hadis yang memiliki hubungan topik dengan ayat, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Katsir ketika menafsirkan firman Allah azza wajalla:

Sekali-kali tidak! Janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah serta dekatkanlah (dirimu kepada Allah)” [al-‘Alaq: 19], ia berkata: Maksud dari (Sekali-kali tidak! Janganlah kamu patuh kepadanya) adalah: Wahai Muhammad janganlah kamu patuh kepada orang yang melarangmu untuk terus dan sering beribadah, dan salatlah dimanapun kamu berada, jangan pedulikan (omongan orang); karena Allah adalah pelindung dan penolongmu dari manusia. (sujudlah serta dekatkanlah (dirimu kepada Allah)), hal ini sesuai dengan hadis yang tersirat dalam Shahih Muslim … dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Keadaan terdekat seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia bersujud (kepada-Nya), maka perbanyaklah berdoa([11]).

Tafsir dengan Sunnah secara langsung adalah hujjah; hal ini tidak ada perselisihan (di antara para ulama), adapun yang tidak secara langsung, ada dua bagian, yang pertama (para ulama) hampir menyepakatinya, maka ini bisa menjadi hujjah. Adapun yang kedua menjelaskan makna suatu ayat tidak begitu jelas dan ada perselisihan di dalamnya, maka ini tidak menjadi hujjah, namun bisa menjadi indikasi kuat dalam mentarjih.

Di antara para ulama yang paling banyak menggunakan tafsir dengan Sunnah: al-Hasan al-Bashri, Qatadah, Abdurrazaq ash-Shan’ani -ia banyak menukil dari Qatadah-, Ibnu Jarir at-Thabari, Ibnu Abi Hatim, al-Baghawi dalam tafsirnya “Ma’alim at-Tanzil”, Ibnu Katsir dalam kitabnya “Tafsir Alquran al-Adzim” -ia banyak menukil dari al-Baghawi-, dan as-Suyuti dalam tafsirnya “Ad-Durr al-Mantsur”.

Baca Juga  Pengumpulan dan Penulisan Alquran (1)

Adapun manfaat yang bisa dipetik oleh penafsir dari tafsir dengan Sunnah ini sangat banyak sekali, kebanyakan di luar cakupan penafsiran, sepert penjelasan yang begitu luas tentang tema ayat; hal itu karena penafsir memiliki pengetahuan yang luas tentang Sunnah, seperti tafsir Ibnu Katsir. Ataupun yang berhubungan dengan hukum-hukum dan permasalahan syariat, seperti al-Jami’ liahkam Alquran karya al-Qurtubi, dan Adwa’ al-Bayan fi Tafsir Alquran bi Alquran karya asy-Syinqithi.

([1] (Imam Bukhari memasuk hadis ini ke tafsir ayat  di surat al-Hijr dalam kitab tafsir dari Sahihnya No. (4704), dan sebelumnya beliau menyebutkan hadis Abu Said bin Mu’alla, dan itu mirip dengan penafsiran tujuh ayat yang diulang-ulang dan Alquran yang agung.

([2] (Shahih Muslim (Kitab Kepemimpinan, No.1887).

([3] (Shahih Muslim (Kitab Thaharah, No.302).

([4] (Shahih Bukhari (Kitab Tafsir Alquran, Bab firman Allah ta’ala: “Sungguh Kami telah memberikan kepadamu tujuh ayat yang diulang-ulang dan Alquran yang agung , no. 4704).

([5] (Shahih Muslim (Kitab Adab, Bab larangan memberi kuniah dengan Abul Qashim, dan tentang nama-nama yang disunnahkan,  no. 4704).

([6] (Tafsir Alquran al-Azim (8/399), Hadis di Shahih Muslim (no. 2842).

([7] (Shahih Muslim (no. 430).

([8] (Ahkamul Quran (4/1906), dan hadis diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya (Kitab Tafsir, Bab surat Abasa, no. 4937).

([9] (Shahih Bukhari (Kitab Tafsir, Bab tasbih dan doa ketika sujud, no. 4968).

([10] (Sebagaimana terdapat dalam kitab at-Tahrir (hal. 72), dari penerjemah.

([11] (Shahih Muslim (Kitab Salat, no. 482).

Sadnanto. BA. MA

Kandidat Doktor Ulumul Hadis Universitas Islam Madinah

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?