Usul Tafsir

Serial Usul Tafsir (bag. 2)

Bagian Kedua

Sumber Penafsiran

Sumber penafsiran adalah rujukan yang menjadi acuan penafsir ketika menafsirkan Alquran. Sumber tersebut ada empat:

  1. Alquran.
  2. Sunnah.
  3. Bahasa.
  4. Beberapa hal yang berkaitan dengan turunnya wahyu.

Seperti tafsir para sahabat dianggap sebagai sumber bagi generasi yang datang setelah mereka dari kalangan tabiin, tafsir para tabiin menjadi sumber bagi generasi pengikut tabiin, dan begitu pula para pengikut tabiin tafsir mereka menjadi sumber bagi generasi yang datang setelahnya. Pada masa generasi ini, berhenti transmisi penafsiran dan mulai menurunnya ijtihad, sampai munculah Ibnu Jarir (al-Thabari). Sumber yang dijadikan sandaran dan paling sering digunakan oleh para ahli tafsir berbeda-beda, namun bahasa adalah sumber yang paling banyak dipakai oleh para ulama salaf terdahulu dan yang datang setelahnya.

  1. Alquran

Tafsir Alquran dengan Alquran adalah menjelaskan makna suatu ayat dengan ayat yang lain. Alquran dijadikan sebagai sumber karena dua alasan:

  • Secara syariat; karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menggunakannya, seperti apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Sahihnya dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu: “Ketika turun ayat:

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezaliman” [al-An’am: 82]; kami bertanya: Wahai Rasulullah, mana ada di antara kami yang tidak menzalimi (menganiaya) dirinya sendiri?! Beliau menjawab: “Tidak seperti itu, maksud dari kezaliman pada ayat:) tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezaliman(, adalah kesyirikan, tidakah kalian mendengar perkataan Lukman kepada putranya:

Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” [Luqman: 13]([1]).

  • Secara rasional; pembicara lebih tahu apa yang dikatakannya.

Adapun jenis penafsiran tersebut, diantaranya:

  • Menjelaskan maknanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Thabari dari Ibnu Zaid tentang penafsiran firman Allah azza wajalla:

(Diperintahkan kepada malaikat) Kumpulkanlah orang-orang yang berbuat zalim beserta teman sejawat mereka dan apa yang dahulu mereka sembah” [ash-Shaffat: 22].

Baca Juga  Serial Usul Tafsir (bag. 6)

Beliau mengatakan: teman sejawat mereka (itu adalah) berupa amalan perbuatan. Lalu ia membaca:

Kamu menjadi tiga golongan. Yaitu golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang paling dahulu (beriman), merekalah yang paling dahulu (masuk surga)” [al-Waqi’ah: 7-10]([2]).

  • Mengkhususkan yang umum, seperti pengkhususan perempuan Ahli Kitab yang terdapat dalam firman Allah azza wajalla:

Janganlah kalian nikahi perempuan-perempuan musyrik hingga mereka beriman” [al-Baqarah: 221], dengan ayat:

Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik, makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka, dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dari kalangan orang-orang yang beriman dan dari kalangan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu” [al-Maidah: 5], menurut ulama yang mengkhususkan ini dengannya.

  • Membatasi yang mutlak, seperti permohonan ampunan dari para malaikat yang terdapat pada firman Allah azza wajalla:

Para malaikat bertasbih dengan memuji Rabbnya, dan memohonkan ampunan untuk orang yang ada di bumi” [asy-Syura: 5], diperuntukan hanya bagi orang-orang yang beriman sebagaimana dalam ayat:

(Para malaikat) yang memikul Arsy dan yang berada di sekelilingnya bertasbih dengan memuji Rabbnya, dan mereka beriman kepada-Nya, serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman” [Ghafir: 7].

Dilihat dari subjeknya keabsahan tafsir Alquran dengan Alquran ada tiga macam:

  • (Redaksi Alquran) yang tidak mungkin adanya perselisihan. Ini hujjah; karena menyerupai ijmak, seperti tafsir (الطَّارِقُ) dalam firman Allah azza wajalla:

Demi langit dan yang datang pada malam hari” [ath-Thariq: 1], dengan ayat:

(Yaitu) bintang yang bersinar tajam” [ath-Thariq: 3].

  • (Redaksi Sunnah) yang diriwayatkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ini juga hujjah, seperti penafsiran beliau terhadap kata (الظُّلْم / kezaliman) dengan (الشِّرْك / kesyirikan).
  • Ijtihad para ahli tafsir, bisa benar ataupun salah, dan diterima atau tidaknya (ijtihad tersebut) tergantung kedudukan penafsirnya.
Baca Juga  Serial Usul Tafsir (bag. 1)

Penafsiran ini tidak pasti benar dan yang terkuat, karena terkadang penafsirnya adalah ahli bidah, yang mana mereka menafsirkan ayat menurut landasan (keyakinan) yang mereka pegang, padahal landasan tersebut bisa saja menyimpang (dari kebenaran), maka hal itu tidak bisa diterima.

Penafsir ketika menafsirkan ayat dengan ayat yang lain harus bersandar pada keterkaitan antara kedua ayat tersebut, diantaranya:

  • Kesamaan peristiwa dengan ungkapan yang berbeda, seperti kata (السِّجِّيْل) dalam kisah kaum Luth dalam firman Allah azza wajalla:

Dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar” [Hud: 82], maksudnya adalah tanah liat, sebagaimana yang terdapat dalam ayat:

Agar kami menimpa mereka dengan batu-batu dari tanah liat” [adz-Dzariyat: 33]; karena ada kesamaan peristiwa (antara keduanya).

  • Kata-kata yang sepadan itu memiliki makna yang sama, seperti (التزويج) pada firman Allah azza wajalla:

Dan apabila ruh-ruh dipertemukan” [at-Takwir: 7], dengan ayat:

Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka” [at-Takwir: 7].

Di antara ahli tafsir yang paling menonjol dalam  penafsiran Alquran dengan Alquran adalah; Muqatil bin Sulaiman al-Balkhi, Abdurrahman bin Zaid, Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, al-Amir Shan’ani, Tsanaullah al-Hindi Amratasri, dan Muhammad al-Amin asy-Syinqithi.

Adapun manfaat yang bisa dipetik oleh penafsir di berbagai bidang dan aspek sangat banyak sekali, seperti bidang tarjih (memilih pendapat yang paling kuat) yang terdapat dalam Alquran, dan menghimpun ayat-ayat yang serupa maknanya.

Adapun manfaat selain di bidang tafsir, seperti tafsir firman Allah azza wajalla:

Sungguh telah Kami hiasi langit dunia dengan bintang-bintang, dan kami jadikan (bintang-bintang itu) sebagai alat-alat pelempar setan” [al-Mulk: 5], berkata Qatadah: “Sesungguhnya Allah menciptakan bintang untuk tiga perkara; sebagai hiasan langit dunia, alat pelempar setan, dan tanda petunjuk (jalan manusia)”([3]). Dan masih banyak lagi manfaatnya, baik dalam hal menyimpulkan, mengutip, mengaplikasikan, maupun yang lainnya.

Baca Juga  Serial Usul Tafsir (bag. 6)

([1] (Shahih Bukhari (Kitab kisah-kisah para nabi, Bab firman Allah ta’ala “Allah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih” ]an-Nisa: 125], No: 3360).

([2] (Tafsir al-Thabari (19/521).

([3] (Tafsir al-Thabari (23/123).

Sadnanto. BA. MA

Kandidat Doktor Ulumul Hadis Universitas Islam Madinah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?