Santun Dalam Berdialog
Di era transparansi dewasa ini dengan berbagai bentuk masyarakatnya, sangat perlu untuk menghidupkan budaya dialog, yakni budaya yang terbina di atas keluwesan dan keluasan menilai dan mengukur suatu perbedaan, yakni budaya kompromi yang menerima alasan dan menyerap aspirasi serta gagasan. Dialog merupakan uslub “berkelas” yang telah lama digunakan oleh manusia dalam menjalin hubungan antar sesama, demi mencapai suatu tujuan bersama.
Dalam islam, dialog bukanlah hal baru, sejak kedatangannya islam selalu mengajak untuk berdialog, baik dalam urusan yang kecil ataupun urusan yang besar, hal ini berdasarkan firman Allah: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS: Ali Imran:159).
Dalam berdialog atau bermusyawarah, untuk mencapai suatu kemufakatan, para peserta dialog sangatlah dituntut untuk memiliki niat yang luhur dan akhlak yang santun, sebab tujuan dialog itu adalah untuk mencapai suatu manfaat bersama, bukan untuk mendebat pendapat yang berbeda, atau memenangkan pendapat sendiri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebaik-baik contoh dalam hal ini. Lihatlah, betapa beliau dengan senang hati menerima usulan Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu untuk menempati tempat selain yang telah ditetapkan oleh beliau saat Perang Badar. Lihatlah kala beliau berdialog dengan penuh santun bersama ‘Addas, seorang Nasrani yang kemudian memeluk islam. Betapa kesantunan Nabi dalam berdialog telah membuka hatinya untuk memeluk islam. Bukan hanya itu, beliau ternyata pernah berdialog dengan anak kecil dan menuruti pendapat anak itu. Beliau sama sekali tidak meremehkan anak itu karena usianya yang masih belia, atau menghardiknya atas kecerobohannya berbicara di hadapan para pembesar kaum yang bersama beliau.
Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu pernah bercerita, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disodorkan segelas minuman lalu beliau meminumnya, sementara di samping kanan beliau ada seorang anak kecil yang paling muda di antara kaum yang hadir, sedangkan para orang-orang tua ada di sebelah kiri beliau, beliau berkata:
ﯾﺎ ﻏﻼم أﺗﺄذن ﻟﻲ أن أﻋﻄﯿﮫ اﻷﺷﯿﺎخ ؟
‘Wahai anak kecil! Apakah kamu mengizinkan aku untuk memberi munuman ini kepada orang tua?’
Anak kecil itu berkata, ‘Aku tidak akan mendahulukan seorang pun dari pada diriku karena keutamaanku selain Anda wahai Rasulullah!’, Maka beliau pun memberi minuman itu kepadanya. (HR. Bukhari).
Anak kecil itu menolak memberi jatahnya kepada orang tua, dan ingin beruntung mendapatkan sisa minuman Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Rasul pun menerima argumen anak itu. Hal ini sebagai pelajaran bagi umatnya untuk menghormati pendapat dari mana pun datangnya.
Ketika berdialog bersama orang kafir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam begitu menghargai pendapat mereka, beliau membiarkan mereka menyampaikan segala hal yang berkaitan dengan keyakinan mereka, beliau sama sekali tidak memotong penyampaian mereka, sampai ketika mereka telah usai dari menyampaikan segala keyakinan mereka, barulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membetulkan kekeliruan mereka.
Bagi mereka yang senantiasa menelaah sejarah Nabi akan terpukau melihat betapa santunnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berdialog, seperti dialog beliau bersama pembesar Quraisy semisal ‘Uthbah bin Rabi’ah, Al-Walid bin Mugirah, dll dari penduduk Mekah, juga dialog beliau bersama pembesar-pembesar Yahudi di Madinah.
Semoga kita semua dikarunia akhlak yang luhur serta kemudahan dalam mengaplikasikannya, dan terkhusus dalam berdialog.