Tarbawi

Petunjuk Nabi ﷺ dalam Mendidik (Bag. 4)

Bagian ke-4 (Hal. 31-34)

Keempat: Pendidikan Nabi  kepada para sahabat untuk menjalankan kewajiban berdakwah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah  bahwasanya Rasulullah   bersabda, “Barang siapa yang ditanya tentang suatu (permasalahan) ilmu lalu ia menyembunyikannya, maka Allah akan mengekangnya dengan kekangan dari api neraka pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud; 3658). Perintah untuk berdakwah ini tidak hanya tertuju pada golongan khusus atau yang telah sampai pada tingkat pencapaian tertentu dalam ilmu, akan tetapi mencakup para pelajar pemula yang belum mencapai tingkat yang tinggi dalam ilmu. Nabi   juga mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam menyampaikan dan mengajarkan ilmu sebagaimana dalam sabdanya: “Sampaikanlah dariku walah hanya satu ayat”. (HR. Bukhari: 3461). Hadits Ini adalah ajakan untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam dakwah sesuai dengan aturan dan ketentuan (syariat), bukan berati membuka pintu bagi orang yang baru belajar satu permasalahan dalam agama kemudian tampil dan berbicara di luar kapasitasnya. 

Beliau  juga bersabda: “Semoga Allah memberikan keberkahan kepada seseorang yang mendengar perkataanku, lalu menghafalnya dan menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar, karena terkadang orang yang menerima ilmu lebih memahami daripada orang yang mendengar langsung.”(HR. At-Tirmidzi: 2658). Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari enam belas sahabat Nabi, yang menunjukkan bahwa Rasulullah   mengucapkannya dalam berbagai kesempatan atau dalam suatu pertemuan umum sebagai bentuk penegasan terhadap pentingnya hal tersebut.

Perhatikanlah pengaruh pendidikan Nabi ini pada pernyataan Abu Dzar  : “Jika kalian meletakkan pedang di atas sini -sambil menunjuk lehernya- dan aku merasa masih sempat untuk menyampaikan satu kata yang aku dengar dari Nabi   sebelum kalian membunuhku, pasti aku akan menyampaikannya.” (HR. Bukhori dalam bentuk mu’allaq)

Baca Juga  Menambang Perbendaharaan Surga Nan Berharga

Demikian juga dengan Mu‘adz  yang merasa berat untuk menyembunyikan sebuah hadis yang ia dengar dari Nabi , meskipun Rasulullah  telah melarangnya untuk menyampaikan hadis itu kepada orang-orang, karena menurutnya menyembunyikan hadits adalah bentuk pengkhianatan terhadap tanggung jawab ilmu. Sebuah hadits yang masyhur “Apakah engkau tahu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya?”  (Muttafaqun ‘alaihi). Maka Sebelum wafat, ia akhirnya menyampaikannya, karena takut berdosa jika tidak melakukannya.

Semua ini adalah sebagian dari hasil yang diwariskan oleh generasi tersebut dari guru pertama mereka, yaitu Rasulullah .

Kelima: Memotivasi murid dan mengapresiasinya:

Suatu hari, Abu Hurairah  bertanya kepada Nabi  , “Siapakah orang yang paling bahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Maka beliau menjawab: “Aku telah menduga, wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada seorang pun yang akan menanyakan hadis ini kepadaku sebelum engkau, karena aku melihat kesungguhanmu terhadap hadis. Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan ‘La ilaha illa Allah’ (Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah) dengan ikhlas dari hati dan jiwanya.” (HR. Bukhari: 99)

Bayangkanlah, wahai saudaraku, bagaimana perasaan Abu Hurairah ketika ia mendengar pujian dan kesaksian ini dari lisan sang mahaguru Rasulullah  tentang kesungguhannya terhadap ilmu, bahkan keunggulannya atas banyak rekan-rekannya. Lalu renungkan, bagaimana efek dari pujian ini yang mendorong Abu Hurairah untuk semakin giat, bersemangat, dan perhatian terhadap ilmu.

Begitu pula ketika Nabi   bertanya kepada Ubay bin Ka‘ab  , “Wahai Abu Mundzir, apakah engkau tahu ayat apa dalam Kitab Allah yang paling agung?” Ubay menjawab dengan membaca ayat kursi: Allahu Laa ilaha illa huwal hayyul qayyum (Dialah Allah, tiada tuhan yang berhak disembah selain Dia, Yang Maha Hidup, Yang Maha Mengurus segalanya.’ Maka beliau  berkata kepadanya: “Demi Allah, selamatlah engkau dengan ilmumu, wahai Abu Mundzir.”

Baca Juga  Nikmat Tanpa Syukur (bag 4)

Sungguh, kadang-kadang hanya dengan satu kata pujian atau motivasi, dapat merubah seorang murid menjadi lebih baik dan menggugah semangat dan kesungguhannya. Karena bagiamanpun juga, tabiat manusia cenderung ingin merasakan pencapaian, dan dorongan berupa pujian yang terukur dapat membangkitkan semangat untuk melangkah lebih jauh.

Keenam: Perhatian terhadap pelajar

Suatu ketika Rasulullah   sedang berbicara kepada para sahabat, lalu seorang Arab Badui datang dan bertanya, “Kapan hari kiamat?” Rasulullah  tetap melanjutkan pembicaraannya tanpa memotongnya. Melihat hal itu sebagian orang berkata, “Beliau mendengar apa yang ditanyakan, tetapi tidak menyukai pertanyaan tersebut.” Sebagian lainnya berkata, “Beliau tidak mendengarnya.” Setelah Rasulullah   menyelesaikan pembicaraannya, beliau bertanya, “Di mana orang yang tadi bertanya tentang kiamat?” Orang itu menjawab, “Ini aku, wahai Rasulullah.” Rasulullah  bersabda, “Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah kiamat.” Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana bentuk penyia-nyiaan amanah itu?” Beliau menjawab, “Apabila urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat.” (HR. Bukhari: 59)

Meskipun Rasulullah  tidak memotong pembicaraannya saat itu, beliau tidak melupakan si penanya dan tidak mengabaikannya. Hal ini menunjukkan betapa luhur jiwa beliau dan tingginya akhlak sang maha guru.

Pada momen yang lain, ketika Rasulullah  menyampaikan khutbah saat Haji Wada‘, Abu Syah berkata, “Tuliskan untukku (apa yang telah disampaikan).” Maka Rasulullah   bersabda, “Tuliskan untuk Abu Syah.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Ketujuh: Mengetahui kemampuan dan daya nalar murid-muridnya

Ketika Rasulullah  ditanya tentang syafaat, beliau berkata kepada Abu Hurairah  : “Aku telah menduga, wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada seorang pun yang akan menanyakan hadis ini kepadaku sebelum engkau, karena aku melihat kesungguhanmu terhadap hadis.” (Muttafaqun ‘alaihi). Rasulullah   mengetahui bahwa Abu Hurairah adalah salah satu sahabat yang paling bersemangat dalam mempelajari hadis, sehingga beliau yakin bahwa Abu Hurairah akan mendahului sahabat lainnya dalam bertanya.

Baca Juga   Meraih Ketenangan Hati yang Sempurna (Bag. 2)

Beliau juga bersabda: “Orang yang paling penyayang terhadap umatku adalah Abu Bakar, yang paling tegas dalam urusan Allah adalah Umar, yang paling benar rasa malunya adalah Utsman, yang paling mengetahui tentang halal dan haram adalah Mu‘adz bin Jabal, yang paling ahli dalam ilmu faraidh adalah Zaid bin Tsabit, yang paling pandai membaca Al-Qur’an adalah Ubay, dan setiap umat memiliki orang kepercayaan, sedangkan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” (HR. Tirmidzi: 3790).

Bukankah ini merupakan salah satu wujud perhatian beliau terhadap tingkat kecerdasan dan kemampuan sahabat-sahabatnya?

Tidakkah patut bagi siapa saja yang ingin meneladani metode beliau dan mengikuti petunjuknya dalam pendidikan untuk memperhatikan kemampuan murid-muridnya, sejauh mana semangat, dan potensi mereka dalam belajar?

Pemahaman seorang guru terhadap murid-muridnya akan sangat berpengaruh pada metode pengajarannya. Guru yang memahami murid-muridnya dengan baik adalah guru yang mampu mengajarkan apa yang mereka butuhkan dan sesuai dengan kemampuan mereka, yang dapat mengarahkan mereka pada keahlian yang tepat, menjawab pertanyaan mereka dengan akurat, serta bersikap adil dan cermat dalam mengevaluasi dan memberikan nilai sesuai dengan usaha mereka.

Mubarak Umar, Lc., M.A.

Mahasiswa S2 Iqthishad Islami, Universitas Islam Madinah, Arab Saudi

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?