Puasa & Ramadhan

HIKMAH DAN PELAJARAN BERHARGA DARI AYAT AYAT PUASA (Bag.3)

 

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ

Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain.

[Al Baqarah:185]

Dalam potongan ayat ini terdapat beberapa pelajaran berharga yang bisa kita petik, diantaranya:

Pertama: Kewajiban Puasa bagi yang Melihat Hilal

Dalam ayat ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa seseorang yang melihat hilal Ramadan sendiri tetap wajib berpuasa meskipun kesaksiannya ditolak oleh masyarakat. Hal ini berdasarkan firman Allah:

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ

“Barang siapa di antara kalian menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Kedua: Apakah Satu Niat Cukup untuk Puasa Sebulan Penuh?

Mazhab Maliki dan beberapa ulama lain berpendapat bahwa cukup satu niat di awal Ramadan untuk berpuasa sebulan penuh karena dianggap satu ibadah yang berkesinambungan. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa setiap hari puasa membutuhkan niat tersendiri, berdasarkan hadis:

“Barang siapa tidak menetapkan niat puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi; disahihkan oleh Al-Albani)

Ketiga: Penetapan Hilal Tidak Berdasarkan Perhitungan Astronomi

Ayat ini juga menjadi dalil bahwa penetapan awal bulan Ramadan tidak boleh didasarkan pada perhitungan astronomi (hisab), tetapi harus melalui rukyatul hilal (melihat bulan sabit secara langsung). Tidak ada perselisihan mengenai hal ini di kalangan para ulama terdahulu. Adapun perbedaan pendapat yang muncul belakangan tidak dapat dijadikan pegangan, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidha’ Ash-Shirat Al-Mustaqim (Jilid 1, hlm. 254–255).

Keempat: Hikmah dibalik pengulangan potongan ayat ini

Di ayat sebelumnya Allah telah menyebutkan potongan ayat ini, namun mengapa Allah mengulanginya lagi?

Pengulangan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum tersebut tetap berlaku dan tidak dihapus. Dengan pengulangan ini, menutup anggapan bahwa hukum tersebut termasuk dalam hukum yang dihapus (mansukh) pada ayat sebelumnya.

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.

[Al Baqarah:185]

Dalam potongan ayat ini terdapat beberapa pelajaran berharga yang bisa kita petik, diantaranya:

Pertama: Penegasan Tentang Allah Memiliki Sifat Kehendak

Dalam ayat ini, terdapat penegasan tentang sifat kehendak (iradah) Allah yang Maha Kuasa.

Baca Juga  Kumpulan Ceramah Ramadhan; Bekal Dai untuk Ceramah Tarawih & Taklim Subuh.pdf

Kedua: Bukti Kasih Sayang Allah terhadap Hamba Hamba-Nya

Ayat ini juga menunjukkan rahmat Allah kepada hamba-Nya, karena Allah tidak membebani mereka dengan sesuatu yang melebihi kemampuan mereka

Ketiga: Prinsip Dasar dalam Agama: Kesulitan Mendatangkan Kemudahan

Ayat ini menjadi bukti bagi prinsip yang sangat penting dalam agama, yaitu bahwa kesulitan merupakan salah satu alasan bagi seseorang untuk diberikan keringanan.

Keempat: Tidak Semua Penyakit Membolehkan Untuk Tidak Berpuasa

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa tidak setiap penyakit menyebabkan seseorang harus berbuka puasa. Penyakit ringan yang tidak menimbulkan bahaya atau kesulitan tidak membolehkan seseorang untuk berbuka puasa, karena tidak ada kesulitan yang ditimbulkan. Oleh karena itu, mereka menjadikan ayat ini sebagai penjelasan untuk memperjelas ayat sebelumnya, yaitu وَمَن كَانَ مَرِيضًا    “Barang siapa di antara kalian sakit…”

Adapun untuk perjalanan, diperbolehkan untuk berbuka meskipun perjalanan tersebut tidak menimbulkan kesulitan atau bahaya, karena ada dalil yang membolehkannya.

Kelima: Kewajiban Menyempurnakan Jumlah Hari Puasa Ramadan

Wajib hukumnya untuk menyempurnakan jumlah hari puasa Ramadan dan tidak boleh mengakhirinya sebelum itu. Jumlah hari puasa Ramadan berakhir dengan dua hal:

Yang pertama dengan melihat hilal syawal, jika hilal bulan Syawal terlihat, maka berakhir sudah puasa Ramadan.

Yang kedua dengan Menyempurnakan 30 Hari Ramadan, Jika hilal bulan Syawal tidak terlihat, maka puasa Ramadan dianggap selesai setelah 30 hari penuh.

Keenam: Perjalanan dan Pengaruhnya terhadap Puasa

Jika seseorang mulai berpuasa di tempat asalnya dan kemudian melakukan perjalanan ke negara lain, dia harus berbuka sesuai dengan penentuan waktu berbuka di negara tujuan, bukan mengikuti waktu berbuka di negaranya sendiri. Namun, ada satu pengecualian yang disebutkan oleh sebagian ulama yaitu:

Jika seseorang pergi ke negara yang telah menyelesaikan puasa Ramadan selama 30 hari setelah dia memulai puasa di negaranya, maka jika dia ikut berpuasa bersama mereka, dia akan berpuasa lebih dari 30 hari (31 hari). Dalam hal ini, dia harus berbuka secara diam-diam dan tidak berpuasa lagi dengan mereka, karena dia sudah menyelesaikan 30 hari puasa Ramadan. Wallahu A’lam.

Ketujuh: Hukum Takbir pada Hari Raya Idul Fitri

Dalam firman Allah, وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ   “Dan agar kalian mengagungkan Allah atas petunjuk yang diberikan-Nya kepada kalian…” (QS. Al-Baqarah: 185), terdapat petunjuk tentang dianjurkannya takbir pada hari raya Idul Fitri.

Kedelapan: Waktu Takbir pada Hari Raya Idul Fitri

Ayat ini menunjukkan bahwa waktu takbir untuk Hari Raya Idul Fitri dimulai setelah menyelesaikan puasa Ramadan, yaitu pada saat terbenamnya matahari di hari terakhir Ramadan. Takbir dimulai sejak tenggelamnya matahari pada hari terakhir Ramadan dan berakhir pada saat pelaksanaan salat Idul Fitri.

Baca Juga  Buku: Proyek Ramadan Keluarga

Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa takbir secara berjamaah tidak diperbolehkan, karena tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ atau salah seorang sahabat melakukannya.

Kesembilan: Pentingnya Rasa Syukur

Dalam firman Allah, وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ   “Dan agar kalian bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185), terdapat anjuran agar bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan, seperti nikmat berpuasa, membaca Al-Qur’an, takbir, dan melakukan amal ibadah lainnya.

Maka Jika Allah memberikan taufik kepada kita untuk berpuasa dan melaksanakan amal ibadah lainnya, maka sudah sepatutnya kita bersyukur atas nikmat besar ini. Syukur ini menjadi sebab untuk mempertahankan amal ibadah tersebut dan mendapatkan tambahan pahala dari Allah.

***

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ 

Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Dalam ayat ini terdapat beberapa pelajaran berharga yang bisa kita petik, diantaranya:

Pertama: Kasih Sayang Allah kepada Hamba-Nya

Dalam ayat ini terdapat tanda kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Hal ini seharusnya mendorong setiap hamba untuk mencintai Allah, mengagungkan-Nya, serta selalu berhubungan dan mengarahkan hati kepada-Nya.

Kedua: Dekatnya Allah Dengan Hamba-Nya

Ayat ini juga menunjukkan salah satu sifat Allah, yaitu sifat kedekatan-Nya dengan hamba-Nya. Kedekatan ini tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa Allah Maha Tinggi dan berada di atas arsy-Nya.

Ketiga: Buah dari Keimanan pada Sifat Dekatnya Allah

Keyakinan terhadap sifat kedekatan Allah ini harus mendorong seorang hamba untuk mentauhidkan Allah dan tidak menjadikan sekutu bagi-Nya. Jika Allah dekat dengan hamba-Nya, maka seharusnya seorang hamba berdoa langsung kepada Allah tanpa perantara atau mediador lain.

Keempat: Senantiasa Berdoa dan Sabar Menunggu Jawaban

Ketika seorang hamba mengetahui bahwa Allah Maha Menjawab doa, maka ia harus merasa tenang dan tidak terburu-buru menunggu jawaban. Tidak ada yang tahu apa yang telah disiapkan Allah untuknya, termasuk karunia dan kebaikan yang akan datang. Oleh karena itu, hendaknya hamba terus-menerus berdoa dan meminta kepada-Nya, karena Allah menyukai orang yang sering berdoa dan terus berusaha untuk mendekatkan diri dengan-Nya. Sebagaimana halnya seseorang yang sering mengetuk pintu, niscaya pintu itu akan terbuka untuknya.

Baca Juga  Video: Panaskan Mesinmu, Bulan Kebaikan Akan Tiba | Syekh Ahmad al-Mishry | Penerjemah: Ustaz Fahmi Alfian, Lc.

Kelima: Kunci Kebijaksanaan dan Keteguhan

Di antara sebab-sebab menjadikan seorang hamba menjadi  bijaksana dan teguh dalam agama adalah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta beriman kepada-Nya

Keenam: Doa Orang yang Berpuasa Mustajab

Dari ayat ini, kita dapat memahami bahwa doa orang yang berpuasa mustajab. Hal ini terlihat karena Allah menyebutkan doa di antara ayat-ayat yang mengatur puasa, yang menunjukkan adanya hubungan antara doa dan puasa. Sebagaimana disebutkan dalam hadis: “Ada tiga doa yang pasti dikabulkan: doa orang yang berpuasa, doa orang yang terzalimi, dan doa orang yang sedang bepergian.”

Ketujuh: Perbedaan Ayat yang Mengandung Pertanyaan

Dalam kebanyakan ayat yang berisi pertanyaan, pertanyaan itu diajukan oleh hamba, seperti dalam firman Allah: يَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلسَّاعَةِ أَيَّانَ مُرۡسَىٰهَاۖ   “Mereka bertanya kepadamu tentang kiamat…” (QS. Al-A’raf: 187) dan يَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِۖ    “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit…” (QS. Al-Baqarah: 189). Namun, pada ayat ini, Allah sendiri yang memulai pertanyaan, dan ini menunjukkan betapa agungnya kedudukan doa dalam ibadah. Doa adalah bentuk penghambaan dan penyerahan diri kepada Allah dalam meminta segala kebutuhan.

Dalam ayat-ayat yang berisi pertanyaan yang diajukan kepada Nabi ﷺ, jawabannya biasanya dimulai dengan kata “Katakanlah…” (قُلْ), seperti pada firman Allah: يَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِۖ قُلۡ هِيَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلۡحَجِّۗ    “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah, ‘Itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan haji…'” (QS. Al-Baqarah: 189). Namun, pada ayat ini, Allah langsung memberikan jawaban-Nya tanpa perantara Nabi ﷺ, yaitu dengan firman-Nya: أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ   “Aku mengabulkan doa orang yang berdoa ketika dia memohon kepada-Ku…” (QS. Al-Baqarah: 186). Ini menunjukkan betapa dekatnya Allah dengan hamba-Nya dan kesediaan-Nya untuk menjawab doa mereka.

Kedelapan: Pemilihan Kata “إذا” (Jika) dalam Ayat ini

Allah berfirman: وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي   “Dan ketika hamba-Ku bertanya kepadamu…” (QS. Al-Baqarah: 186). Perhatikan bahwa Allah menggunakan kata “إذا” (jika) dan bukan “إن” (jika), yang biasanya digunakan untuk hal-hal yang jarang atau mustahil terjadi. Kata “إذا” digunakan untuk sesuatu yang pasti atau sering terjadi, yang menunjukkan bahwa doa hamba-Nya pasti akan dikabulkan, karena Allah Maha Dekat dan selalu siap menjawab doa hamba-Nya.

Maka maksud utama dari ayat ini adalah agar kita memperbanyak doa, terutama saat berpuasa dan pada waktu-waktu yang mustajab (diterima), serta untuk selalu melaksanakan perintah Allah dengan penuh keimanan. Kita juga harus yakin dengan janji Allah, karena Allah tidak akan pernah mengingkari janji-Nya.

Muh Huud I Wima

Mahasiswa S1, Qassim University, KSA

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?