HIKMAH DAN PELAJARAN BERHARGA DARI AYAT AYAT PUASA (Bag.2)

وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥۚ وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
“Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
[Al Baqarah:184]
Dalam potongan ayat ini terdapat beberapa pelajaran berharga yang bisa kita petik, diantaranya:
Pertama: Perubahan Hukum Puasa Ramadan
Pada awalnya, puasa Ramadan bersifat pilihan, seseorang boleh berpuasa atau tidak, asalkan mengganti dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Namun, hukum ini kemudian dihapus dengan firman Allah: فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ , sehingga puasa menjadi kewajiban bagi setiap Muslim yang baligh, berakal, bermukim, mampu, serta tidak sedang haid atau nifas.
Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa ketika ayat وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ turun, orang yang mampu tetapi tidak ingin berpuasa bisa menggantinya dengan fidyah. Namun, setelah ayat berikutnya turun, ketentuan ini dihapus. (Hadis Muttafaq ‘Alaih).
Kedua: Hukum Bagi Orang yang Tidak Mampu Lagi Berpuasa
Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang tidak mampu berpuasa karena usia lanjut atau penyakit yang tidak ada harapan sembuh, tidak diwajibkan berpuasa. Sebagai gantinya, mereka cukup memberi makan seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Ketiga: Puasa Tidak Bisa Diwakilkan, Kecuali dalam Kasus Tertentu
Ayat ini menunjukkan bahwa puasa tidak dapat diwakilkan. Seseorang tidak boleh berpuasa atas nama orang lain karena Allah menyebutkan kewajiban memberi makan sebagai ganti puasa, bukan mewakilkan puasa kepada orang lain.
Namun, ada pengecualian bagi orang yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, seperti puasa nazar, qadha Ramadan, atau puasa kafarat. Dalam kasus ini, dianjurkan bagi ahli warisnya untuk berpuasa menggantikannya, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“Barang siapa meninggal dunia dan masih memiliki kewajiban puasa, maka walinya boleh berpuasa untuknya.” (HR. Bukhari dari Aisyah radhiyallahu ‘anha).
Keempat: Ketentuan Fidyah bagi yang Tidak Mampu Berpuasa
Ayat ini juga menunjukkan bahwa seseorang yang tidak mampu berpuasa dapat menggantinya dengan memberi makan fakir miskin. Allah tidak menentukan jumlah pasti makanan yang harus diberikan, namun yang diberikan harus cukup mengenyangkan, karena tujuan utama dari fidyah adalah memberikan makanan yang layak.
Sebagian ulama menetapkan bahwa jumlah minimal fidyah adalah satu mud makanan (sekitar 75 gram).
Kelima: Dorongan untuk Beramal Saleh
Ayat ini juga mengajarkan pentingnya memperbanyak amal saleh, terutama puasa. Berpuasa tidak hanya sebagai kewajiban, tetapi juga sebagai ibadah yang membawa banyak keutamaan dan pahala besar bagi yang melakukannya dengan ikhlas.
Keenam: Hukum Puasa Di Hari Syak
Sebagian ulama berpendapat bahwa berdasarkan firman Allah yang berbunyi: فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ (Barang siapa yang melakukan kebajikan, maka itu lebih baik baginya), maka boleh melakukan ibadah puasa pada hari Syak. Namun, pendapat ini perlu dipertimbangkan kembali, karena ada larangan yang jelas mengenai puasa pada hari syak.
Ketujuh: Apa itu Hari Syak?
Hari Syak adalah hari ke-30 bulan Sya’ban, ketika kita tidak dapat melihat hilal bulan Ramadhan karena tertutup awan atau kabut. Hari ini menjadi hari yang diragukan apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum.
Kedelapan: Keutamaan Puasa
Pada ayat tersebut terdapat penjelasan mengenai keutamaan puasa, karena Allah Ta’ala menganjurkan umat-Nya untuk berpuasa dengan firman-Nya: وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ (Dan berpuasa itu lebih baik bagi kalian). Ini menunjukkan bahwa puasa memiliki banyak kebaikan dan manfaat.
Kesembilan: Hukum orang sakit atau musafir yang tidak merasa kesulitan puasa
Puasa adalah yang terbaik bagi seseorang yang tidak merasa kesulitan atau bahaya. Oleh karena itu, puasa bagi orang yang sedang bepergian (musafir) atau sakit, jika keduanya tidak merasa berat atau mengalami kesulitan, adalah lebih baik. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ (Dan berpuasa itu lebih baik bagi kalian)
***
شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ
Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).
[Al Baqarah:185]
Dalam potongan ayat ini terdapat beberapa pelajaran berharga yang bisa kita petik, diantaranya:
Pertama: Asal Penamaan Bulan Ramadan
Bulan ini dinamakan “Ramadan” karena terkenal dan masyhur di kalangan umat Islam.
Kedua: Hukum Menyebut “Ramadan” Tanpa Kata “Bulan”
Sebagian ulama berpendapat bahwa menyebut “Ramadan” tanpa kata “bulan” (syahr) itu makruh. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah tidak ada kemakruhan dalam hal ini, karena terdapat dalil dalam hadis yang menyebutkan:
“Janganlah kalian mendahului Ramadan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya…”
Dalam hadis ini, Rasulullah ﷺ tidak menyebut “bulan Ramadan”, melainkan hanya “Ramadan”.
Ketiga: Al-Qur’an adalah Wahyu yang Diturunkan, Bukan Makhluk
Ayat ini menjadi dalil bagi Ahlus Sunnah bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah, bukan makhluk. Ini adalah kebenaran yang didukung oleh banyak dalil lainnya.
Keempat: Lailatul Qadar Berada di Bulan Ramadan
Ayat ini juga menjadi bukti bahwa Lailatul Qadar terjadi di bulan Ramadan. Hal ini karena Al-Qur’an diturunkan pada malam Lailatul Qadar, sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam Lailatul Qadar.” (QS. Al-Qadr: 1)
Kelima: Keutamaan Membaca Al-Qur’an di Bulan Ramadan
Diturunkannya Al-Qur’an di bulan Ramadan menunjukkan bahwa bulan ini adalah waktu yang sangat dianjurkan untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an. Seorang Muslim yang tidak memperbanyak membaca Al-Qur’an di bulan Ramadan, lalu kapan lagi ia akan memperbanyaknya?
Keenam: Dibulan Ramadan Pintu Rahmat Terbuka, Setan Dibelenggu
Di bulan Ramadan, pintu-pintu rahmat terbuka, pintu-pintu neraka tertutup, dan setan-setan dibelenggu. Sungguh merugi orang yang tidak merasakan nikmatnya Al-Qur’an di bulan yang penuh berkah ini.
Ketujuh: Mendengarkan Al-Qur’an Adalah Ibadah Yang Agung
Bagi yang tidak bisa membaca Al-Qur’an, jangan merasa kehilangan. Mendengarkan Al-Qur’an juga merupakan sunnah yang dianjurkan oleh Nabi ﷺ, dan seseorang yang mendengarkannya dengan penuh perhatian akan mendapatkan pahala seperti orang yang membacanya.
Kedelapan: Mengamalkan Al-Qur’an dalam Kehidupan
Membaca Al-Qur’an bukan hanya sekadar ibadah lisan, tetapi harus diiringi dengan usaha untuk mengamalkannya. Barang siapa membaca Al-Qur’an dengan niat mencari petunjuk, maka ia akan mampu membedakan kebenaran dari kebatilan dan mendapatkan bimbingan untuk mengamalkannya.
Kesembilan: Keutamaan Membaca Al-Qur’an di Malam Ramadan
Banyak orang bersemangat membaca Al-Qur’an di siang hari selama Ramadan, dan itu adalah amalan yang luar biasa. Namun, jangan sampai melewatkan keutamaan membaca dan mempelajari Al-Qur’an di malam hari, karena para ulama menyebutkan bahwa membacanya di malam Ramadan lebih utama. Karena Rasulullah ﷺ mengulang dan mempelajari Al-Qur’an kepada malaikat Jibril pada malam-malam Ramadan.