Fatawa Umum

FATWA AMALAN FIKIH SEHARI-HARI (Bag 1)

FATWA AMALAN FIKIH SEHARI-HARI

Tentang Ilmu

  1. Siapa pun yang mempelajari suatu persoalan hukum Islam berdasarkan dalilnya dan meyakininya wajib menyampaikan ke orang lain dan menjelaskannya saat diperlukan.
  2. Saya seorang guru agama, alumni fakultas studi Islam dan saya telah menamatkan beberapa buku fikih. Apa hukumnya ketika saya ditanya oleh siswa dan menjawab pertanyaan mereka dengan pengetahuan yang saya miliki?

Jawaban: Anda harus membaca buku-buku tersebut dan melakukan yang terbaik, dan tidak ada salahnya. Namun, jika Anda meragukan jawabannya dan jawaban yang benar tidak jelas bagi Anda, katakan: Saya tidak tahu, lalu janjilah kepada mereka bahwa Anda akan mengkajinya, kemudian menjawabnya setelah mengkaji atau bertanya kepada ahli ilmu untuk dibimbing kepada yang benar menurut dalil yang sahih.

  1. Seorang muslim tidak boleh berfatwa tanpa ilmu, Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [QS. Al-Isra: 36], di ayat lain Allah juga berfirman, “Dan (mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.” [QS. Al-A’raf: 33]. Berdasarkan hal tersebut, maka yang wajib kita lakukan jika ditanya dan kita tidak yakin jawabannya benar, maka katakan, “Allah Lebih Mengetahui” atau “Saya tidak Mengetahuinya”. Hal ini demi menjaga agama dan kehormatan kalian, dan untuk mengamalkan akhlak Islam.
  2. Jika penanya adalah seorang penuntut ilmu dan memiliki kemampuan untuk memahami dalil-dalil, maka saat ia bertanya kepada ulama tentang dalil-dalil tersebut ia harus berdiskusi dengannya agar hatinya tenang dan memiliki ilmu yang jernih serta punya gambaran luas tentang hukum dan dalil-dalil tersebut. Jika tidak, maka ia mencukupkan dirinya dengan jawaban ulama tersebut, tanpa perlu mengkaji lebih dalam.
  3. Tidak wajib bagi siapa pun untuk mengikuti mazhab tertentu, seseorang bisa berusaha mengetahui kebenaran semampunya, memohon kepada Allah untuk itu kemudian dari ilmu yang telah ditinggalkan oleh para pendahulu dari kalangan ulama. Adapun bagi mereka yang tidak dapat mengkaji ilmu tersebut, maka hendaknya ia bertanya kepada ulama yang kompeten terhadap apa yang ia butuhkan, sesuai firman Allah Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. An-Nahl: 43, Al-Anbiya: 7].
Baca Juga  Hukum Bagi Yang Lupa Membaca Doa Ketika Masuk WC

Tentang Taharah

  1. Prinsip dasar mengenai air adalah suci. Bila warna, rasa dan baunya berubah karena terkena najis, maka air tersebut najis, baik sedikit maupun banyak. Jika tidak berubah, maka air tersebut tetap suci.  Namun bila air tersebut sangat sedikit, maka baiknya jangan bersuci dengannya agar lebih aman dan menghindari perbedaan pendapat para ulama. Sesuai hadis dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda, “Bila seekor anjing menjilat bejanamu, maka cucilah.” (HR. Muslim).
  2. Seorang yang junub tidak boleh mandi (menceburkan badannya) pada air yang menggenang yang tidak mengalir (seperti kolam dan semisalnya). Sesuai hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda, “Tidak seorang pun di antara kalian boleh mandi dalam air yang menggenang sedang ia dalam keadaan junub.” Lalu Abu Hurairah ditanya, ‘Kalau begitu  bagaimana cara ia mandi?’ Beliau menjawab, ‘Ia mengambil airnya dengan timba.’
  3. Bila air yang menggenang mencapai 2 qullah (lebih dari 307 liter) lalu warna, rasa dan baunya tidak berubah setelah seseorang mandi junub di dalamnya maka boleh berwudu atau mandi junub lagi dengannya atau memakainya untuk mencuci kotoran dan najis. Namun, bila warna, rasa dan baunya berubah karena pengaruh najis maka para ulama bersepakat bahwa air itu tidak boleh dipakai bersuci dari hadas atau kotoran.

Bila warna, rasa dan baunya berubah disebabkan bekas mandi junub yang berturut-turut, bukan karena najis, maka ulama berbeda pendapat mengenai kesuciannya, namun lebih aman menghindari penggunaannya agar keluar dari perbedaan pendapat.

Bila air yang menggenang lebih sedikit dari 2 qullah (di bawah 307 liter) lalu warna, rasa dan baunya berubah karena najis yang menempel pada badan orang yang telah mandi dengannya maka tidak boleh bersuci dari hadas dan kotoran dengannya. Namun bila air tidak berubah maka ulama berbeda pendapat akan kebolehan bersuci dari hadis dan kotoran dengannya, namun lebih aman menghindari penggunaannya bila ada air yang lain.

  1. Prinsip dasar mengenai air adalah bahwa air itu suci dan menyucikan yang lain, kecuali warna, rasa atau baunya berubah karena najis yang ada di dalamnya.
  2. Air yang telah disuling dengan penyulingan yang sempurna hingga wujud air kembali  seperti semula tanpa ada warna, rasa dan bau yang terpengaruh dari suatu najis, maka ulama bersepakat air tersebut boleh digunakan untuk menghilangkan hadas dan kotoran serta bersuci dengannya, bahkan minum darinya. Kecuali ada bahaya kesehatan akibat penggunaannya maka dalam hal ini dilarang untuk menjaga diri dan menghindari bahaya, bukan karena najisnya. Serta tidak disarankan untuk minum darinya, sebagai tindakan pencegahan demi kesehatan.
  3. Prinsip dasar bagi laki-laki saat buang air adalah dalam keadaan duduk, sesuai contoh dari Nabi. Diriwayatkan oleh An-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Aisyah bahwa ia berkata, “Barang siapa yang memberitahukan kepada kalian bahwasanya Rasulullah dan keluarganya kencing sambil berdiri, maka janganlah kamu percaya, beliau tidaklah kencing kecuali dalam keadaan duduk.” Imam Tirmidzi berkata: Hadis ini merupakan yang terbaik dan tersahih.
Baca Juga  Berapa Rakaat Salat Ba'diyah Jum'at?

Namun jika dia merasa ingin buang air kecil sambil berdiri, maka diperbolehkan, sesuai yang diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, dan para penulis kitab Sunan dari Hudzaifah bahwasanya Nabi mendatangi subatah suatu kaum dan kencing sambil berdiri, lalu aku menyingkir namun beliau berkata, “Mendekatlah,” maka aku mendekat hingga aku berdiri di belakangnya, lalu ia berwudu dan mengusap sepatunya. Subatah adalah tempat buang kotoran.’

Jika seseorang buang air kecil sambil berdiri tanpa ada keperluan, maka dia tidak berdosa, akan tetapi dia menyalahi kebiasaan yang paling sering dilakukan oleh Nabi saat buang air. Dan bila demikian maka dia telah menggabungkan pengamalan kedua hadis tersebut, atau dia memahami hadis yang pertama bahwa Aisyah tidak mengetahui informasi yang berasal dari Hudzaifah.

Wallahu a’lam Bisshowab 

Berlanjut…

Mu'tashim Billah, Lc

Mahasiswa S2 Qassim University, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?