Amalan Salih di dalam Surah Al-Kahfi (Bag. 2)
Imam Muslim Rahimahullah meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Wahai Rasulullah, Sesungguhnya dahulu di masa jahiliyah Ibnu Jud’an menjalin silaturahmi dan memberi makan orang miskin, apakah itu terhitung sebagai kebaikan untuknya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak bermanfaat untuknya, sungguh ia belum pernah sekalipun mengatakan Ya Tuhan, Ampunilah kesalahanku pada hari pembalasan.” dan juga ada orang kafir yang menggabungkan antara kekufuran dan kerusakannya, yang menyebabkan siksaannya dilipatgandakan, Allah berfirman, “Orang-orang yang kufur dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan demi siksaan karena mereka selalu berbuat kerusakan”. (QS. An-Nahl : 88).
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata (menafsirkan siksa orang kafir) yaitu siksa karena kekufuran mereka dan menghalangi manusia dari mengikuti kebenaran, seperti Firman Allah Ta’ala, “Mereka melarang (orang lain) mendengarkannya (Al-Qur’an) dan mereka pun menjauhkan diri darinya…” (QS. Al-An’am : 26). Yaitu melarang manusia dalam mengikutinya dan menjauhi mereka darinya juga, “…Mereka tidak membinasakan kecuali diri mereka sendiri, tetapi mereka tidak menyadari.” (QS. Al-An’am : 26) dan ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa siksa orang-orang kafir itu berbeda-beda, sama halnya dengan kedudukan orang-orang yang beriman di surga dan tingkatannya Allah Ta’ala berfirman, “Allah berfirman, Masing-masing mendapatkan (siksaan) yang berlipat ganda, tetapi kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-‘Araf : 38).
Kemudian aku merenungkan surah Al-Kahfi dan menadaburinya, dan menemukan di dalamnya kebaikan yang sangat banyak, Salah satunya adalah pembahasan yang luas tentang amal salih, syarat-syaratnya, aturannya, serta pahala yang dijanjikan. Dan Allah telah memberikanku karunia untuk mengumpulkan semua faedah ini dalam surah tersebut sebagai berikut:
- Pentingnya amal salih, keterkaitannya dengan iman, dan pahala yang bergantung pada keduanya:
Syaikh As-Sa’di Rahimahullah berkata dalam tafsirnya tentang Surah Al-‘Asr: “Iman tidak akan sempurna tanpa ilmu, dan ilmu adalah cabang darinya yang tidak dapat dipisahkan.”
Dan amal saleh, ini mencakup seluruh perbuatan baik, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang terkait dengan hak Allah dan hak hambaNya, yang wajib maupun yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman: “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Kahfi: 2).
Syaikh As-Sa’di Rahimahullah berkata: Untuk memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman, agar mereka bahagia dengan iman mereka dan mengerjakan amal salih secara sempurna. Maka wajiblah amal salih, yaitu seluruh perbuatan yang wajib dan sunnah, yang disertai keikhlasan dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah ﷺ, “Bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,” yaitu pahala yang Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh, berupa keridhaan-Nya, masuk surga yang penuh dengan kenikmatan abadi, dan nikmat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas di hati manusia.
Dan dalam menggambarkan pahala yang besar, hal ini menunjukkan bahwa ia tidak memiliki batasan dan tidak dapat disamakan dengan sesuatu yang lain. Sebab, jika ditemukan sesuatu yang sama, maka ia tidak bisa disebut “baik.”
Dan Syaikh ‘Utsaimin berkata dalam tafsirnya tentang Surah Al-Kahfi: Firman-Nya, “orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih”, menunjukkan bahwa iman harus disertai dengan amal salih. Maka iman saja tidak cukup, melainkan harus diiringi dengan amal saleh. Hal ini seperti yang dikatakan oleh sebagian salaf, “Bukankah kunci surag yaitu mengucapkan Laa ilaaha illallah saja”, maka siapa saja yang datang dengan (kunci) itu, akan dibukakan baginya, tentu akan tetapi apakah kunci bisa membuka tanpa gigi? Maka “orang-orang yang beriman” yang beriman kepada setiap hal yang wajib diimani, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan apa yang wajib diimani kepada Jibril ketika bertanya kepada beliau tentang iman, maka beliau bersabda: “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir yang baik maupun buruk”.
Lebih dari satu ayat dalam Surah Al-Kahfi, Allah mengaitkan antara iman dan amal saleh. Allah Ta’ala berfirman, ““Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Kahfi: 30). Dan berfirman, ““Dan adapun orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya balasan yang terbaik, dan Kami akan mengatakan kepadanya perintah yang mudah dari urusan Kami.” (QS. Al-Kahfi: 88), Dan Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka surga Firdaus sebagai tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi: 107).
Dalam semua ayat ini dari Surah Al-Kahfi, iman selalu dikaitkan dengan amal saleh. Ayat-ayat tentang hal ini sangat banyak, yang jika menunjukkan sesuatu, maka itu menunjukkan pentingnya amal saleh dan kedudukannya yang utama.
- Kualitas amalan adalah yang utama bukan pada kuantitas
Allah berfirman “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di atas bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapakah di antaranya yang lebih baik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi : 7), Syaikh As-Sa’di Rahimahullah berkata, “(Sebaik-baik amalan) Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah berkata, “yang paling ikhlas dan yang paling sesuai”, beliau ditanya, “Wahai Abu Ali, Apakah yang dimaksud dengan yang paling ikhlas dan yang paling sesuai’? Beliau berkata, “Sesungguhnya amalan jika hanya ikhlas saja dan tidak sesuai (syariat) makan tidak akan diterima, dan jika sudah sesuai (syariat) akan tetapi tidak ikhlas juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan sesuai, dan ikhlas itu adalah hanya mengharapkan wajah Allah, sedangkan sesuai (syariat) adalah mengikuti apa yang diperintahkan Allah dan Sunnah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Firman Allah Ta’ala, “..Siapa diantara kalian yang paling baik amalannya” Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Dan bukan yang paling banyak amalannya akan tetapi yang paling baik amalannya, dan suatu amalan tidaklah dikatakan baik kecuali ikhlas kepada Allah Azza wa Jalla, sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, makan jika suatu amalan tidak terpenuhi salah satu syaratnya batal dan sia-sialah amalannya, Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya mereka yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan baik.” (QS. Al-Kahfi: 30).
Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah berkata, “Renungkanlah firman Allah, “..Amalan yang paling baik..” dan tidak berkata “yang paling banyak amalannya”, karena yang menjadi titik berat dari suatu amalan adalah yang paling baik bukan yang banyak. Oleh karena itu ketika seseorang empat rakaat akan tetapi keyakinannya lemah atau cacat dalam menjalankan syariat, dan orang yang satunya sholat dua rakaat dengan keyakinan dan ketaatan yang kuat, maka siapakah di antara mereka berdua yang paling baik? Tentu saja orang kedua paling baik dan utama karena yang paling baik amalannya dan sempurna keikhlasan dan ketaatan.
Pada sebagian ibadah yang lebih utama adalah meringankannya seperti sholat dua rakaat sebelum sholat subuh, jika seseorang mengatakan saya lebih suka memperpanjang bacaan Alquran dan ketika ruku, sujud dan berdiri, seorang lain mengatakan saya ingin meringankannya, maka yang kedua lebih utama, oleh karena itu sepatutnya bagi kita ketika melihat orang yang awam sholat memanjangkan sholat sunnah subuh agar bertanya kepadanya, “apakah itu sholat sunnah subuh atau sunnah tahiyatul masjid?” jika sholat sunnah tahiyatul masjid maka tidak mengapa, tapi jika sholat sunnah subuh, maka kita katakan tidak, yang utama adalah meringankannya, dan di dalam puasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada umatnya untuk melanjutkan puasa hingga waktu sahur, tetapi beliau menganjurkan mereka untuk berbuka ketika matahari terbenam. Ada dua orang yang berpuasa: salah satunya melanjutkan puasanya hingga waktu sahur, sementara yang lainnya berbuka ketika matahari terbenam. Manakah yang lebih utama? Yang berbuka ketika matahari terbenam lebih utama, tanpa diragukan lagi. Sedangkan yang pertama, meskipun tidak dilarang dan diperbolehkan, tetap saja tidak disyariatkan. Maka, perhatikan hal ini: siapakah yang amalannya lebih baik? Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih melaksanakan ibadah yang lebih baik. Misalnya, beliau menganjurkan untuk mengikuti jenazah, tetapi ketika jenazah lewat di hadapannya, beliau tidak selalu mengikutinya. Beliau juga menganjurkan puasa selang-seling (sehari puasa, sehari tidak), tetapi beliau sendiri tidak melakukannya. Kadang-kadang beliau memperpanjang puasa hingga dikatakan bahwa beliau tidak pernah berbuka, dan di lain waktu beliau memperbanyak berbuka hingga dikatakan bahwa beliau tidak berpuasa. Semua itu beliau lakukan berdasarkan apa yang paling diridhai oleh Allah Azza wa jalla dan paling baik untuk hatinya.