Kunci-Kunci Khusyuk Dalam Salat (4)

Kunci-Kunci Khusyuk Dalam Salat (4)
Adapun dalil dari Ijma’:
Umat telah bersepakat akan kewajiban salat lima waktu dalam sehari semalam[1].
Akan tetapi kewajiban salat ini tidak akan sempurna dan tujuan tidak akan terealisasi kecuali dengan kekhusyukan di dalamnya. Oleh karena itu, datanglah dalil-dalil yang menegaskan akan pentingnya khusyuk di dalam salat, di antaranya:
Firman Allah:
وَكَانُوْا لَنَا خٰشِعِيْنَ
Artinya: “Mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami”. QS. Al Anbiya: 90.
Ayat ini merupakan pujian kepada Nabi Zakariya ‘alaihissalam beserta keluarganya. Kata “Khasyi’in” di dalam ayat ini bermakna merendahkan diri dan tunduk kepada Allah.
Qatadah berkata: “Mereka (Zakariya dan keluarganya) merendahkan diri karena perintah Allah”[2], dan ini menunjukkan kesempurnaan pengetahuan mereka terhadap Tuhan-Nya[3], sebab asal dari kekhusyukan yang lahir dari hati, pada hakikatnya berasal dari pengetahuan tentang Allah, serta pengetahuan akan kebesaran-Nya, keagungan-Nya, dan kesempurnaan-Nya. Maka siapa yang lebih mengenal Allah maka dia akan khusyuk kepada-Nya.
Hati setiap manusia berbeda-beda dalam kekhusyukannya kepada Allah, sesuai dengan perbedaan pengetahuan mereka dalam mengenal Allah[4]. Oleh karena itu, para Nabi meraih apa yang telah mereka raih disebabkan sifat-sifat terpuji ini[5].
Dalil Kedua:
Firman Allah:
۞ اَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللّٰهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّۙ وَلَا يَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْاَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْۗ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ فٰسِقُوْنَ
Artinya: “Apakah belum tiba waktunya bagi orang-orang yang beriman agar hati mereka khusyuk mengingat Allah dan apa yang turun dari kebenaran (Al-Qur’an). Janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Banyak di antara mereka adalah orang-orang fasik”. QS. Al Hadid: 16.
Allah mengajak orang-orang beriman untuk merendahkan hati mereka dalam mengingat-Nya dan apa yang Allah turunkan melalui kitab-Nya, serta Allah melarang mereka untuk menjadi seperti orang-orang yang masa waktu mereka diperpanjang sehingga hati mereka menjadi keras. Orang-orang yang takut kepada Tuhannya adalah mereka yang jika disebut nama Allah hati mereka gemetar[6].
Di dalam ayat ini juga terdapat petunjuk bagi umat islam, dan teguran terhadap umat terdahulu serta peringatan bagi umat agar tidak menyerupai mereka.
Kemudian (di dalam ayat ini juga) Allah menjelaskan bahwa kerasnya hati, masa yang panjang dan sikap suka menunda adalah faktor-faktor utama dari kelalaian, hilangnya (kelezatan) ibadah, kerendahan hati, dan keterkaitan terhadap dunia.
Dan bahwa rasa takut dan zikir adalah faktor-faktor utama untuk mengutamakan dan mendahulukan akhirat[7].
Dalam hal ini terdapat larangan untuk meniru orang-orang yang diturunkan kepada mereka kitab sedang hati mereka keras yang merupakan buah dari dosa-dosa mereka[8].
Ayat yang mulia ini memberi dampak besar dalam hati sebagian besar salaf yang menjadikan jiwa mereka hanyut dalam kerendahan dan penyerahan diri kepada Allah Zat yang Maha Tinggi.
Dalam ayat ini juga terdapat pengingat akan keagungan sang pencipta dan perendahan diri dalam meningat-Nya serta menerima apa yang diturunkan dari kebenaran dengan kepatuhan dan penyerahan diri kepada Allah sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran-Nya.
Dalam ayat ini juga terdapat peringatan tentang akibat dari penundaan dan kelalaian dalam menerima (perintah Allah), serta menjelaskan apa yang dapat menyelimuti hati dengan kelalaian ketika waktu berjalan tanpa perhitungan dan pengawasan yang berujung pada kekerasan hati setelah ia lembut dari zikir kepada Allah, dan ketika tidak merendahkan diri terhadap kebenaran, Allah berfirman:
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا وَّاِبْرٰهِيْمَ وَجَعَلْنَا فِيْ ذُرِّيَّتِهِمَا النُّبُوَّةَ وَالْكِتٰبَ فَمِنْهُمْ مُّهْتَدٍۚ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ فٰسِقُوْنَ
Artinya: “Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh dan Ibrahim serta Kami memberikan kenabian dan kitab (wahyu) kepada keturunan keduanya. Di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak pula di antara mereka yang fasik”. QS. Al Hadid: 26.
Dan dibalik kerasnya hati tidak ada yang tersisa selain dari kefasikan dan kelalaian.
Dalil ketiga:
Firman Allah:
قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ ۙ الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَاتِهِمْ خٰشِعُوْنَ وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ ۙ وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكٰوةِ فٰعِلُوْنَ ۙ وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفِظُوْنَ ۙ اِلَّا عَلٰٓى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَۚ فَمَنِ ابْتَغٰى وَرَاۤءَ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْعَادُوْنَ ۚ وَالَّذِيْنَ هُمْ لِاَمٰنٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ ۙ وَالَّذِيْنَ هُمْ عَلٰى صَلَوٰتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ ۘ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْوٰرِثُوْنَ ۙ الَّذِيْنَ يَرِثُوْنَ الْفِرْدَوْسَۗ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
Artinya: “Sungguh, beruntunglah orang-orang mukmin. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, orang-orang yang meninggalkan (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Maka, siapa yang mencari (pelampiasan syahwat) selain itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Sungguh beruntung pula) orang-orang yang memelihara amanat dan janji mereka. Orang-orang yang memelihara salat mereka. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi. (Yaitu) orang-orang yang akan mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya”. QS. Al Mu’minun: 1 – 11.
Allah menjadikan khusyuk dalam salat sebagai tingkatan pertama dalam meraih keberuntungan, yang menunjukkan bahwa siapa pun yang hilang dari dirinya rasa khusyuk ini berarti dia telah jauh dari kemenangan dan keberhasilan yang merupakan makna dari keberuntungan itu sendiri[9].
Sehingga khusyuk di dalam salat merupakan di antara sifat orang-orang beriman yang beruntung yang akan mewarisi surga firdaus.
Al Falaah (keberuntungan) dalam bahasa arab memiliki dua arti[10]:
Pertama: Kemenangan terhadap pencapaian atau tujuan yang besar. Sebagaimana perkataan Labid di dalam syairnya :
Maka berpikirlah jika kamu memang memiliki akal,,,Dan sungguh beruntunglah orang yang memiliki akal[11].
Artinya adalah ia beruntung karena dikaruniai akal karena ia mendapatkan tujuan yang terbesar[12].
Kedua: Yang dimaksudkan al falaah digunakan untuk merujuk pada keberadaan abadi dalam kenikmatan. Dari sini, terdapat juga perkataan Labid dalam salah satu bait rajaznya:
Seandainya ada suatu kaum yang dapat meraih kejayaan (keabadian), niscaya ia akan diraih oleh pejuang di medan tombak[13]”
Artinya yaitu meraih keabadian[14].
Tidak diragukan lagi bahwa siapapun yang memiliki sifat yang Allah sebutkan ini akan masuk surga, dan siapa yang masuk surga ia akan meraih kejayaan dalam kedua maknanya di atas[15].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Maka Allah mengabarkan bahwa mereka inilah orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa tidak ada yang mampu mewarisinya selain mereka, ini juga menunjukkan kewajiban memiliki sifat-sifat tersebut, karena jika di antara sifat-sifat itu ada yang hanya bersifat dianjurkan, maka surga Firdaus bisa diwarisi tanpa memilikinya.Sebab, surga diperoleh dengan melaksanakan kewajiban, bukan sekedar amalan sunnah. Oleh karena itu, dalam sifat-sifat yang disebutkan ini tidak ada yang disebutkan kecuali yang bersifat wajib”[16].
[1].Lihat: al Mugni Ibnu Qudama (1/267).
[2]. Lihat: Tafsir al Bagawi (5/353).
[3]. Lihat: Tafsir as Sa”di Hal. 530.
[4]. Lihat: Tafsir Ibnu Rajab al Hanbali (2/11).
[5]. Lihat: Tafsir al Baidawi (4/59).
[6]. Lihat: al Iman, karya Ibnu Taimiyah (1/27).
[7]. Lihat: Adhwa al Bayaan (8/506).
[8]. Lihat: Iqtidha Shirat al Mustaqiim (1/290).
[9]. Mauidzatul Mukminin Min Ihya Ulum ad Diin Hal. 31.
[10]. Lihat: Tahziib Lugah (5/46), As Sihah (1/392), Maqaayis Lugah (4/450).
[11]. Diwan Labid (91).
[12]. Lihat: Az Zahid fii maani kalimaat an naas (1/38), Syams al Ulum (9/5255).
[13]. Diwan Labid (30). Arti pejuang tombak adalah seseorang pengendali kuda di medan tempur. Lihat: Sihah: (1/219), Syams al Ulum (9/6065), Lisan Arab (1/741).
[14]. Lihat: Jamharatu al Lugah (1/555), Taj al Aruus (4/212).
[15]. Adwaaul Bayan (5/305).
[16]. Majmu Fatawa (22/553).