SANKI YEDIM – Khairuddin Kajaji Efendi
Nama lelaki ini “Khairuddin Kajaji Efendi” dalam versi Turkinya ditulis (Kececi Hayreddin Efendi), beliau hidup di masa pemerintahan Turki Utsmani, di bawah kekuasaan Sultan Murad ke-4 (1612-1640 M), beliau tinggal di kawasan Fatih kota Istanbul, kota yang terkenal dengan peninggalan bersejarahnya. Sosok ini tidak dikenal dalam buku-buku Thabaqaat Madzhab Hanafi, madzhab resmi yang diakui oleh pemerintahan dinasti Utsmaniyah, bukan seorang alim kesohor, bukan seorang saudagar kaya berlimpah harta, bukan juga seorang panglima perang yang handal, apalagi seorang menteri dalam jajaran kabinet Sultan Murad. Beliau sama seperti kita, orang biasa, bahkan mungkin taraf kehidupannya masih lebih rendah (baca: fakir) dari kebanyakan kita.
Tetapi kisah Masjid Jami’ “Sanki Yedim” (Senkiyadim Camii) menjadi saksi keberkahan hidupnya, saksi pengorbanan di tengah kesempitan, saksi atas sebuah kerja keras dan ketulusan untuk berbuat dan meninggalkan jejak imaniyah terbaik bagi orang lain. Sabda baginda Nabi Shallallahu’alaihi wasallam yang sudah kita hafalkan teks dan artinya: “Manusia yang paling dicintai Allah, adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain”. (HR. Thabraniy dalam kitab Mu’jam al-Awsath No. 6026), telah beliau buktikan. Di sini Nabi mengatakan “paling bermanfaat”, bukan hanya “sekedar” memberi manfaat.
“Sanki Yedim” yang berarti “Anggap saja aku telah mencicipinya”, diabadikan menjadi nama salah satu masjid yang terletak di kawasan Fatih kota Istanbul. Kisah ini saya sarikan dari kitab “Rawa’i min at-Tarikh al-Utsmaniy” (hal 100-101), karya Orkhan Muhammad Ali.
Kisah salah satu masjid jami di Istanbul ini bermula dari kebiasaan Khaeruddin setiap kali ke pasar dan melihat beraneka macam jenis makanan yang menarik perhatiannya dan mengundang syahwat perut untuk mencicipinya, baik itu berupa daging, buah, atau penganan ringan lainnya. Beliau selalu berucap sambil menahan keinginan dirinya “Sanki Yedim” (“ah, anggap saja aku telah mencicipinya”). Sambil berkata demikian, ia masukkan uang yang senilai dengan harga makanan tersebut, ke sebuah kotak penyimpanan. Begitulah seterusnya, bulan berganti bulan, tahun demi tahun berlalu, hingga uang hasil “Sanki Yedim” itu bertambah banyak. Akhirnya dari mengumpulkan “recehan” tersebut beliau mampu membangun sebuah masjid kecil di tempat tinggalnya. Dan pada saat masyarakat sekitarnya mengetahui kisah di balik masjid ini, mereka mengabadikan nama “Sanki Yedim” untuk masjid tersebut. Bagi anda yang berkesempatan berkunjung ke kota Istanbul, anda dapat melihat langsung “sebuah saksi sejarah pengorbanan dan keikhlasan” ini masih berdiri kokoh di kawasan Fatih Istanbul di sebuah gang yang bernama “Kirbaci nam sok”.
Lalu, pertanyaan ini pasti akan muncul di benak kita? Sudahkah kita menjadi manusia yang paling bermanfaat untuk orang lain, untuk umat ini?. Jika jawabannya belum, maka mari kita mulai dari sekarang, dari titik ini, dari sesuatu yang nampak sederhana seperti “sederhananya” kisah sanki yedim ini. Allahu Akbar, Ya Allah berikan kami kekuatan, kesungguhan dan keikhlasan dalam berniat dan berbuat.
Riyadh 14 J.Tsani 1437 H,
AK&Z