Bunda, Jadilah Murabbiyah Yang Tak Kenal Lelah (Bag. 2)

Seorang ayah atau bunda wajib tahu bahwa tujuan utama tarbiyah dan pembinaan ini hanya satu yaitu mewujudkan keshalihan putra-putri mereka agar bisa beribadah – dengan berbagai jenisnya – kepada Allah Ta’ala dengan sebaik-baiknya. Sebab itu, bila ayah-bunda mencamkan tujuan utama tarbiyah ini dan memahami trik dan cara membina putra-putri mereka di atas tujuan indah ini dengan mengikuti petunjuk dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, niscaya mereka akan mudah menjalani proses tarbiyah ini, bahkan dari madrasah tarbiyah pertama ini akan muncul para pejuang dan tokoh-tokoh besar yang memperjuangkan Islam dan kaum muslimin. Kemudahan proses tarbiyah dalam Islam ini sejalan dengan fitrah insani yang menjadi tabiat setiap manusia. Dalam hadits:
كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه
Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (beragama Islam), maka kedua ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.”[1].
Seorang bunda muslimah adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam pembinaan dan pendidikan putra-putrinya, sejak ia mengandung mereka hingga terlahir ke dunia. Sebab itu, seorang bunda seharusnya mengetahui trik pembinaan ini secara utuh agar ia bisa mulai membina dan mentarbiyah putra-putrinya sejak mereka berada dalam kandungan. Berikut ini beberapa bidang pembinaan atau tarbiyah yang mesti ditanamkan pada mereka beserta trik-triknya.
Pembinaan Jiwa Anak
Banyak para bunda yang masih belum yakin atau bahkan sama sekali tidak tahu bahwa kondisi janin yang dikandungnya sangat bergantung pada kejiwaan dan psikologi mereka. Hasil-hasil penelitian ilmu kedokteran membuktikan bahwa janin terpengaruh dengan baik atau buruknya kondisi psikis sang bunda. Bahkan beberapa sifat seperti egois, atau suka marah dalam diri wanita hamil akan sangat mengganggu saraf dan kejiwaan janin dalam kandungan, hal ini tak akan nampak kecuali setelah sang janin membesar dan terlahir ke dunia.
Hal inilah yang menyebabkan perhatian terhadap kondisi kesehatan dan kejiwaan sang janin sejak dalam kandungan menjadi fase tarbiyah paling pertama dalam proses pembinaannya, dimana sangat berpengaruh positif terhadap lahirnya sang bayi dalam kondisi sehat jasmani dan rohani.
Setelah sang bayi terlahir ke dunia, maka dimulailah fase lain dari pembinaan ini, yaitu fase anak-anak yang merupakan fase emas dan kesempatan utama dalam membina akhlak sang anak, serta pembentukan diri dan psikologinya secara intensif. Fase anak-anak ini terbagi dalam dua bagian:
Pertama: Lima tahun pertama dari usia sang anak. Dalam fase inilah kejiwaan, jasmani dan rohaninya tumbuh dan berkembang secara optimal, sedangkan pertumbuhan akal dan nalar pemahamannya lebih rendah. Di fase ini ia sangat memerlukan pelukan cinta sang bunda dan kasih sayang sang ayah. Dalam suatu hadits, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan: Seorang Arab badwi mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Apakah kalian mencium anak-anak kalian? Sungguh kami sama sekali tidak mencium mereka!”, maka beliau bersabda: “Sungguh saya tidak bisa merubah (sikapmu) bila Allah mencabut sifat kasih sayang itu dari hatimu.”[2].
Hadits ini merupakan gambaran utama dalam proses pemberian sifat kasih sayang dan kenyamanan terhadap putra putri anda. Hal inilah yang lebih ia butuhkan dalam proses pertumbuhan psikologinya dibanding jenis makanan atau minuman apapun.
Kedua: Lima tahun kedua dari usianya (5-10 tahun). Para pakar psikologi dan pendidikan anak sepakat bahwa pada fase ini sang anak mulai tumbuh dan belajar cara berinteraksi dengan orang-orang yang ada disekitarnya secara aktif, juga sudah sering bereaksi dengan keadaan dirinya atau di sekitarnya seperti reaksi marah, sedih, cinta, benci, manja, dll. Dengan karakter seperti ini, sang anak cocok untuk mulai diajar, dan dibina seintensif mungkin karena ia akan sangat menerima dan mendengar dengan cepat, sebagaimana disinggung juga oleh Nabi kita:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Artinya: “Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada usia tujuh tahun, pukullah mereka karena meninggalkannya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.”[3]
Pengaruh lingkungan dan keluarga pada fase ini sangat menentukan bagi perkembangan jiwa dan akhlaknya. Bila ia terbiasa dalam lingkungan yang mencintai dan menyayanginya, maka akhlak sang anak akan terbina di atas cinta dan kasih sayang. Bila lingkungan sekitarnya agamis dan selalu memotivasinya untuk berkembang, maka ia akan tumbuh menjadi anak yang religius dan selalu percaya diri. Demikian pula bila lingkungannya adalah lingkungan yang buruk dan tidak agamis, tentu ia akan tumbuh di atas keburukan dan maksiat.
Oleh karena itu, wajib bagi seorang bunda muslimah untuk selalu memperhatikan pembinaan putra-putrinya, memaksimalkan diri dalam memberikan kepada mereka rasa kasih seorang ibu dan nasehat-nasehat bimbingan yang dapat membuat jiwa mereka tenang dan tertempa di atas bimbingan agama yang baik, sebab inilah yang akan menjadi pokok utama kepribadian dalam masa depan mereka.
Pembinaan Keimanan Sang Anak
Pengenalan dan pengajaran Aqidah Islam seharusnya dimulai sejak dini, dengan mengajarkan mereka rukun iman yang enam dengan metode yang sesuai dengan usia dan tingkat nalar mereka. Demikian pula menghafalkan mereka surat-surat pendek dengan cara talqin, tentunya dengan memperbagus bacaan dan memahamkan mereka kandungan surat yang pantas mereka ketahui.
Seorang bunda mesti menanamkan dalam diri anak-anaknya nilai-nilai keimanan kepada Allah sejak usia dini ini, merasukkan dalam keyakinan mereka Tauhid Rububiyyah bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, Dialah Maha Pencipta, Pemberi Rezeki dan Penguasa sekalian alam. Juga merasukkan nilai-nilai Tauhid Uluhiyyah bahwa Dialah yang paling berhak untuk disembah dan diibadahi, hanya kepada-Nyalah rasa khusyu’, dan khauf (takut) dihaturkan, serta bahasan-bahasan iman lainnya yang dianggap penting untuk diketahui sejak usia kecil, khususnya yang berkaitan dengan dua kalimat syahadat yang juga merupakan rukun pertama dari rukun-rukun Islam.
Seiring pertumbuhan otak dan daya tangkapnya terhadap pelajaran yang diajarkan padanya, ia harus diajarkan tentang rukun Islam yang lima, tentunya dengan menekankan nilai-nilai shalat yang merupakan tiang agama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memotivasi kita untuk hal ini dalam sabdanya: “Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada usia tujuh tahun, pukullah mereka karena meninggalkannya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.”[4]
Pengajaran shalat ini tentunya harus secara sempurna, artinya diajarkan secara teori dan praktek, baik dari segi syarat-syarat, rukun-rukun dan wajib-wajibnya, juga mencakup sunat-sunat, makruh-makruh dan pembatal-pembatalnya. Bahkan harus diajarkan tentang cara thaharah / berwudhu dan hukum-hukum yang ada di dalamnya.
Tentunya, dalam proses pengajaran ini seorang bunda seharusnya memiliki buku panduan praktis agar memudahkan pembelajaran dan pembinaannya, seperti buku pelajaran aqidah atau ibadah-akhlak anak, kisah-kisah Islami yang memuat nilai-nilai pembentukan aqidah dan karakter anak, seperti kisah Ashabul-Ukhdud, Ashabul-Kahfi, Sirah Nabawiyah, serta sirah para sahabat dan tabi’in.
Dengan pembinaan yang seperti ini ayah-bunda bisa mempertanggungjawabkan pembinaan putra-putrinya di hadapan Allah Ta’ala sebagaimana dalam hadits:
إن الله سائل كل راع عما استرعاه، أحفظ ذلك أم ضيع؟ حتى يسأل الرجل عن أهل بيته
Artinya: “Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban dari seluruh pemimpin atas apa yang menjadi tanggungannya, apakah ia menjaganya dengan baik atau tidak ? Sampai-sampai Dia akan meminta pertanggungjawaban seorang laki-laki terhadap keluarganya”[5]..
Walaupun saat ini sekolah-sekolah Islam telah menjamur dan banyak membina anak-anak dengan pembinaan keimanan dan keislaman yang begitu baik, namun dampak positifnya tak akan seefektif tarbiyah dan pembinaan dalam ruang lingkup rumah dan keluarga karena tarbiyah dalam lingkup ini memiliki sisi yang lebih banyak dan mencakup pembinaan dari segi amaliyah dan keteladanan yang secara umum hanya bisa didapat dari tarbiyah keluarga ini. Wallaahu A’lam.
____________________________________
[1] HR. Bukhari: 1358, dan Muslim: 2658
[2] HR. Bukhari: 5998
[3] HR. Abu Dawud: 249, dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’: 247
[4] HR. Abu Dawud: 249, dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’: 247
[5] HR. Ibnu Hibban: 1562 dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam al-Shahihah: 1636