Motivasi Islami

Kami Pernah di Jalan Itu: Sebuah Refleksi Untuk Para Penuntut Ilmu

Kami Pernah di Jalan Itu: Sebuah Refleksi Untuk Para Penuntut Ilmu

(Diterjemahkan dari tulisan Prof. Dr. Mardhiy bin Musyawwah Al-‘Anazi yang berjudul “Ṭālib al-‘Ilmi wa al-Hāwiyah”)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du:

Saat duduk di bangku kelas dua SD, aku dan beberapa teman kecil memutuskan untuk ikut di halaqah tahfizh di masjid dekat rumah. Kenapa kami ke sana? Aku tak tahu pasti. Tidak ada dorongan dari rumah, tidak juga dari lingkungan. Tak seorang pun menyuruh kami. Mungkin hanya sekadar ikut-ikutan. Si fulan ikut, si fulan juga. Jadi, kenapa kami tidak?

Tahun-tahun pun berlalu di halaqah itu, tanpa kami mengerti tujuan sebenarnya. Sampai akhirnya, saat memasuki masa remaja, datanglah pemahaman akan makna hidayah dan kembali kepada Allah. Barulah segala sesuatu mulai terasa bermakna, bangun untuk salat Subuh punya tujuan, datang ke halaqah ada alasan.

Di masa itulah, terbentuk pertemanan yang sesungguhnya. Kami mulai memilah siapa yang bisa menuntun kami ke jalan Allah, dan siapa yang justru bisa menyesatkan. Teman-teman lama yang tidak peduli agama mulai kami tinggalkan. Kami memilih sahabat yang salih yang selalu mengingatkan akan akhirat dan memperkuat langkah menuju Allah.

Waktu pun terus berjalan. Kami memasuki bangku kuliah. Persahabatan makin mengerucut. Di Fakultas Syari’ah, kami mencari teman yang benar-benar penuntut ilmu, agar bisa saling menguatkan. Allah karuniakan aku sekelompok teman yang baik, penuh semangat menuntut ilmu dan menghidupkan majelis.

Obrolan kami selalu tentang buku, kajian, dan para ulama. Dari satu pelajaran ke pelajaran lain. Dari satu kitab ke kitab berikutnya. Dari satu syekh ke syekh lainnya. Kami antusias menyambut buku-buku baru. Yang membawa kabar terbitnya buku baru, paling ditunggu. Tapi yang berkata, “Saya sudah membacanya,” itu lain level.

Kami berasal dari berbagai penjuru negeri timur, barat, selatan, bahkan luar negeri. Tapi kami satu hati karena Allah. Kami saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Hidup kami penuh semangat, hadir di dauroh-dauroh ilmiah, belajar sejak pagi hingga malam, dan kembali ke rumah dengan hati penuh dengan sabda Allah dan Rasul-Nya, dan atsar para sahabat dan imam.

Lalu kami lulus. Kembali ke masyarakat dengan gelar “ustaz” dan “syekh”. Setiap dari kami menempuh jalannya masing-masing—ada yang jadi guru, hakim, dosen, bahkan aparat. Kami tersebar di berbagai kota dan negeri.

Kami tetap menjalin silaturahmi. Bertemu dan mengenang masa-masa kuliah, berbagi ilmu, membahas buku, dan merancang proyek-proyek dakwah.

Namun, waktu terus berjalan. Sebagian tetap kokoh di jalan ilmu dan amal, makin dekat dengan Allah setiap harinya. Tapi sebagian lain, perlahan mulai goyah. Mereka meruntuhkan bangunan yang dulu susah payah mereka dirikan. Dan inilah yang ingin aku ceritakan…

Dulu, si fulan sangat semangat meneliti karya ulama besar. Ia kumpulkan seluruh pendapatnya dan sedang menyusun untuk diterbitkan. Tapi saat aku mengunjunginya bertahun kemudian, aku terkejut minatnya telah berubah drastis. Obrolan kami tak lagi tentang ilmu. Ia seakan orang yang tak pernah mencicipi manisnya ilmu. Apa yang terjadi?

Aku masih ingat betul, dulu ia menunda makan demi hadir di majelis. Dulu ia paling semangat ikut pelajaran. Kini, semua itu sirna.

Ciri-ciri kesalehan mulai memudar, lalu menghilang. Saat ditegur, ia hanya berkata, “Masalah ini ada khilaf, jangan terlalu kaku.”

Azan berkumandang, tapi obrolan terus berlanjut. Iqamah pun tak mengubah suasana. Beberapa bahkan luput dari salat berjamaah. Padahal dulu, kami berlomba hadir paling awal, mengejar saf pertama, menyebut-nyebut hadits tentang keutamaannya.

Topik obrolan pun berubah. Bukan lagi ilmu dan proyek akhirat, tapi seputar syahwat, wanita, jalan-jalan, saham, dan bisnis. Saat ada yang menyelipkan nasihat, langsung ditegur, “Sudah ah, kita kumpul ini buat santai, bukan ceramah.”

Kadang, sampai ada yang bicara tentang dosa dan maksiat yang ia lakukan, lalu semua tertawa tanpa rasa malu, tanpa ada satu pun wajah yang berubah karena cemburu kepada agama Allah.

Kami dulu… berdiskusi tentang tafsir dan fiqih. Tapi kini, sebagian membela pendapat-pendapat aneh dan ringan. Lama-lama mereka mulai menerima pendapat-pendapat nyeleneh itu, meninggalkan majelis ilmu, bahkan salat jamaah. Ada yang mulai meragukan sunnah, lalu jatuh ke dalam dosa besar.

Ketika ada teman lama yang masih istiqamah datang mengingatkan, justru disambut dengan ejekan dan sindiran. “Kasihan ya, belum paham kehidupan,” kata mereka. “Masih sempit wawasannya, terlalu kaku, nggak ngerti keluasan syariat.”

Sungguh… hati ini remuk. Apa yang terjadi dengan kalian?

Ke mana hilangnya cita-cita kalian saat kuliah? Di mana semangat meraih malam, mengejar salat, bermunajat sendirian? Kini, salat Subuh berkali-kali terlewat tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Apakah maksiat kini jadi biasa? Apakah dulu kita tak pernah menggigil mendengar ancaman Allah? Ke mana semua itu?

Dulu kita bangkit karena satu hadits. Kini, tak satu pun hadits menggerakkan hati.

Maaf, aku tidak menuntut kalian kembali menghafal matan, atau memburu sanad. Tidak. Tapi setidaknya jagalah rukun Islam. Hindarilah dosa besar, dan sesekali, bertobatlah.

Ingatlah pelajaran pertama: Siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Siapa nabimu?

Kembalilah ke pertanyaan itu.

Kalau memang ilmu sudah tak menarik lagi, maka aku tidak lagi mencari sahabat penuntut ilmu. Cukuplah sahabat yang taat, yang takut pada Allah.

Bahkan, aku rela jadi seperti anak SD lagi ikut ke halaqah walau tak tahu tujuannya. Asal kalian tuntun aku ke Al-Qur’an. Aku tak akan bertanya tujuan, karena Al-Qur’an akan menjelaskannya sendiri.

Wahai sahabatku… Tilik kembali keadaan dirimu. Kalian kini berdiri di tepi jurang. Setan telah merobohkan banyak benteng dalam hatimu. Perjalanan menuju Allah panjang dan berat, hanya bisa ditempuh oleh hati yang kuat dan penuh taqwa.

فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِٱللَّهِ ٱلْغَرُورُ

“Maka janganlah kalian tertipu oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kalian tertipu terhadap Allah oleh (bisikan) si penipu.” (Luqman: 33)

Jangan sungkan meninggalkan siapa pun dan apa pun yang menjauhkanmu dari Allah. Di dunia ini, banyak pengganti. Dan melepaskan bisa jadi adalah bentuk istirahat terbaik. Para sahabat dahulu berhijrah meninggalkan keluarga dan harta demi Allah. Maka, teladanilah mereka. Tinggalkan siapa pun yang menghalangimu dari Allah meskipun ia orang terdekatmu.

وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَـٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَـٰبِ

“Berbekallah, dan sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al Baqarah: 197)

Muh Huud I Wima, Lc.

Mahasiswa S2, Qassim University, KSA

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button