Petunjuk Nabi ﷺ dalam Mendidik (Bag. 3)

5 – Pendidikan dalam metode berinteraksi dengan teks-teks syariat
Menjadikan wahyu sebagai satu-satunya sumber hukum syar’i bukanlah titik akhir, tetapi merupakan salah satu tahap yang penting dan mendasar. Setelah itu, hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana metode berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut, dan inilah yang telah diajarkan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya. Suatu ketika, beliau keluar dan menemui para sahabat yang sedang berdebat masalah takdir. Melihat hal itu wajah Rasulullah memerah, seolah-olah biji delima terbelah di wajahnya saking marahnya. Beliau pun berkata: “Apa yang kalian lakukan? Menggunakan sebagian ayat-ayat Allah untuk saling berbantahan, dengan cara seperti ini, orang-orang sebelum kalian telah binasa.” (HR. Ahmad: 2/196)
Banyak kelompok sesat yang menyimpang dari jalan kebenaran ketika mereka hanyut dalam model beragama seperti ini. Oleh karena itu, sangat penting bagi para guru untuk menanamkan metode yang benar dengan mengajarkan kepada para murid agar senantiasa mengagungkan firman Allah dan Rasul-Nya, memuliakannya, berpegang teguh dengan petunjuknya, serta tidak mempermainkan dan mempertentangkan antara satu teks dengan lainnya.
6 – Melatih untuk Menarik kesimpulan
Suatu hari, Rasulullah bertanya kepada para sahabatnya: “Di antara pepohonan, ada sebuah pohon yang daunnya tidak pernah gugur, dan pohon ini mirip dengan keadaan seorang Muslim. Beritahu aku, pohon apakah itu?” Para sahabat berusaha menebak dengan berbagai jenis pohon yang ada di padang pasir. Abdullah bin Umar yang juga hadir saat itu berkata dalam hati bahwa itu adalah pohon kurma, namun ia merasa malu untuk mengungkapkan pendapatnya. Kemudian mereka bertanya lagi, “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau pun menjawab, “Itu adalah pohon kurma.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)
Pada suatu hari, ada seorang pria datang dan berkata, “Semalam aku bermimpi melihat sebuah awan yang meneteskan mentega dan madu, sementara orang-orang mengambil dari tetesan itu, ada yang banyak dan ada yang sedikit. Kemudian ada sebuah tali yang terhubung dari bumi ke langit. Aku melihat dirimu (Rasulullah) memegang tali itu dan engkau pun terangkat, lalu ada orang lain yang memegangnya dan dia pun terangkat, kemudian ada juga orang lain yang memegangnya dan dia pun terangkat, setelah itu ada orang yang memegangnya dan tali itu pun terputus, tetapi akhirnya kembali tersambung dan ia pun terangkat.” Abu Bakr berkata, “Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, izinkan aku untuk menafsirkan mimpi tersebut.” Rasulullah berkata, “Silakan.” Lalu Abu Bakr berkata, “Adapun awan, maka itu adalah Islam, mentega dan madu yang menetes adalah Al-Qur’an yang manisnya seperti tetesan itu. Ada orang yang banyak mengambil manfaat dari Al-Qur’an dan ada pula yang sedikit. Adapun tali yang terhubung dari bumi ke langit itu adalah kebenaran yang engkau pegang, hingga kemudian Allah akan mengangkatmu. Kemudian ada orang setelahmu yang akan memegangnya dan ia pun terangkat, setelah itu dipegang lagi oleh orang lain hingga ia pun terangkat, kemudian datang lagi orang lain yang memegangnya tapi terputus, namun kemudian akan tersambung kembali dan ia pun terangkat.” Abu Bakr bertanya lagi, “Apakah saya benar atau salah, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Engkau benar pada sebagian tafsiran, dan salah pada sebagian yang lain.” Lalu Abu Bakr berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku bagian mana yang salah.” Rasulullah menjawab, “Jangan bersumpah.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)
Betapa butuhnya umat ini untuk dididik dengan metode ilmiah seperti ini, bukan hanya sekedar menghafal permasalahan saja, atau terpaku dan kaku dalam mempelajari mutun dan ringkasan-ringkasannya.
7- Membiasakan untuk Berdiskusi dan Mengkaji Kembali
Metode ini diceritakan oleh Ummul Mukminin Aisyah . Beliau adalah sahabiyah kritis yang tidak pernah mendengarkan sesuatu yang tidak ia ketahui, melainkan ia akan menelitinya hingga memahaminya. Suatu ketika, beliau mendengar Rasulullah bersabda: “Siapa yang dihisab maka ia tersiksa.” Aisyah pun bertanya, “Bukankah Allah telah berfirman:
فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا
‘Maka ia akan dihisab dengan hisab yang mudah?’ (QS. Al-Insyiqaq: 8).
” Rasulullah menjelaskan, “Itu adalah ‘ardh (hisab ringan khusus untuk orang beriman), tetapi siapa yang dihisab dengan teliti (hisab munaqasyah) akan binasa.” (HR. Muttfaqun ‘alaihi). Hal ini bukanlah sekadar karakter bawaan Aisyah saja, tetapi sebagai sesuatu yang beliau pelajari dari sang guru pertamanya, yaitu Rasulullah .
Setelah mengulas metode pendidikan ilmiah ala Rasullullah , muncul sebuah pertanyaan yang patut kita renungkan: Sudahkah kita benar-benar memperhatikan cara mengajarkan murid kita dan mempersiapkan mereka agar menjadi ahli ilmu yang mampu menganalisis, membuat terobosan, dan melakukan pembaharuan? Ataukah kita hanya mendidik mereka untuk sebatas menelan mentah-mentah perkataan guru tanpa mengkritisi bahkan tanpa memahami inti dari apa yang disampaikan?
Apakah kita menyadari bahwa salah satu tujuan pendidikan kita adalah membentuk sistematika berpikir dan kemampuan analisa pada murid, serta membiasakan mereka untuk mengambil hukum-hukum syar’i dari teks-teks wahyu dan mengkompromikan antara hal-hal yang tampak bertentangan?
Apakah tujuan kita adalah mendidik mereka untuk mampu menerapkan hukum-hukum syar’i pada peristiwa-peristiwa baru yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari?
Jika kita merenungkan realitas pendidikan yang kita terapkan kepada anak didik kita, maka kita akan menyadari bahwa seringkali kita hanya terfokus pada mendiktekan materi saja, dan merasa puas ketika memberikan siswa materi yang sangat banyak. Para murid pun mengukur sejauh mana keberhasilan dan pencapaian mereka berdasarkan seberapa banyak materi yang mereka catat dari apa yang mereka dengar dari guru. Penilaian dan ujian pun biasanya didasarkan pada seberapa banyak materi yang dapat dihafalkan murid dan mampu diingat kembali.
Memang hal itu ada benarnya dan tak sepenuhnya salah, namun menghabiskan tenaga pada model pendidikan seperti ini hanya akan menghasilkan generasi yang hanya sebatas menghafal materi dan wawasan yang seiring waktu berjalan ia akan hilang terlupakan, atau si murid hanya akan menjadi bayangan sang guru yang akan selalu bergantung kepadanya. Sebagaimana pepatah mengatakan, mengajarkan orang yang lapar untuk memancing ikan jauh lebih baik daripada memberinya seribu ikan. Mirisnya, pelajaran di masjid dan majelis ilmu pun tidak lebih baik kondisi dan keadaannya.
Hal ini mendorong kita untuk melakukan evaluasi secara mendalam, mencakup tujuan pendidikan kita, skala prioritas, serta metode dan cara pengajaran yang kita terapkan.
Meneladani Sang Nabi tidak hanya terbatas pada masalah taharah (bersuci), dzikir, dan shalat saja, meskipun semua itu sangat urgen, tetapi juga mencakup makna yang lebih luas yang meliputi seluruh aspek kehidupan untuk mewarnainya dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah .