Kisah Tenggelamnya Fir’aun dan Bala Tentaranya

Beberapa mufassir menyebutkan bahwa Nabi Musa ‘Alaihis Salam keluar bersama Bani Israil setelah mereka selesai merayakan hari besar (yaum az-zīnah), yang disebutkan dalam Surah Ṭaha. Setelah para penyihir beriman dan berselisih pendapat dengan Fir‘aun, ia menyalib mereka, kemudian turun firman Allah:
وَلَقَدْ أَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيقًا فِي الْبَحْرِ يَبَسًا لَا تَخَافُ دَرَكًا وَلَا تَخْشَى
“Dan sungguh Kami telah mewahyukan kepada Musa: ‘Bawalah hamba-hamba-Ku (gabungkan mereka) dan buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut; kamu tidak akan dikejar dan tidak (pula) ditakuti.’”
(Q.S. Ṭaha: 77)
Hal yang sama juga disebutkan dalam Surah Asy-Syu‘arā’, setelah dialog antara Fir‘aun dengan para penyihir:
قَالُوا لَا ضَيْرَ إِنَّا إِلَى رَبِّنَا مُنْقَلِبُونَ * إِنَّا نَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطَايَانَا أَنْ كُنَّا أَوَّلَ الْمُؤْمِنِينَ * وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي إِنَّكُمْ مُتَّبَعُونَ
“Mereka berkata, ‘Tidaklah mengapa, sesungguhnya kami sungguh akan kembali kepada Tuhan kami. Sesungguhnya kami berharap Rabb kami akan mengampuni dosa-dosa kami, karena kami adalah orang-orang yang pertama beriman. Dan sungguh Kami telah mewahyukan kepada Musa: ‘Bawalah hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kamu akan dikejar.’”
(Q.S. Asy-Syu‘arā’: 50–52)
Terdapat indikasi bahwa hijrah Nabi Musa terjadi setelah munculnya sembilan mukjizat dan berbagai peringatan terus-menerus dari Allah, karena Fir‘aun terus menjanjikan keselamatan namun tak menepatinya, lalu berniat membinasakan Musa dan kaumnya. Fir‘aun berkata:
فَأَرَادَ أَنْ يَسْتَفِزَّهُمْ مِنَ الْأَرْضِ فَأَغْرَقْنَاهُ وَمَنْ مَعَهُ جَمِيعًا
“Lalu ia (Fir‘aun) bermaksud menyergap mereka dari bumi, maka Kami pun menenggelamkan dia dan semua yang bersamanya.”
(Q.S. Al-Isrā’: 103)
Dalam Surah Yūnus juga disebutkan setelah dialog antara Musa dan Fir‘aun dan permintaan Musa agar Allah menambah tekanan kepada mereka (Bani Israil), Allah berfirman:
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ
“Dan sungguh Kami telah menyebrangkan Bani Israil melalui laut.”
(Q.S. Yūnus: 90)
Menurut riwayat dari Ibnu ‘Abbas, Musa diam di tengah keluarga Fir‘aun selama sekitar 40 tahun setelah mengalahkan penyihir, menunjukkan mukjizat seperti katak, belalang, kutu, dan katak sebagai tanda kebesaran ilahi. Saya cenderung mempercayai bahwa hijrah Musa terjadi setelah datangnya mukjizat tersebut secara beruntun—sebab Fir‘aun merasa terancam dan lalu mempersiapkan pasukan besar untuk membasmi mereka, sebagaimana difirmankan:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي إِنَّكُمْ مُتَّبَعُونَ * فَأَرْسَلَ فِرْعَوْنُ فِي الْمَدَائِنِ حَاشِرِينَ * إِنَّ هَؤُلَاءِ لَشِرْذِمَةٌ قَلِيلُونَ
“Dan sungguh Kami telah mewahyukan kepada Musa: ‘Bawalah hamba-hamba-Ku; sesungguhnya kamu akan dikejar.’ Lalu Fir‘aun mengerahkan pasukan dari kota-kota (untuk mengejar). ‘Sungguh, mereka adalah sekelompok manusia yang sedikit.’”
(Q.S. Asy‑Syu‘arā’: 52–54)
Di antara persiapan Nabi Musa ‘alaihis salam dan kaumnya adalah pemisahan tempat tinggal mereka dari kaum Qibthi, sebagaimana firman Allah:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: ‘Tempatkanlah kaummu di Mesir di beberapa rumah, dan jadikanlah rumah-rumahmu sebagai kiblat (arah salat), serta dirikanlah salat dan gembirakanlah orang-orang yang beriman.'” (QS. Yunus: 87)
Mereka pun sepakat untuk menetapkan tanda rahasia yang membedakan rumah orang Israel dengan rumah orang Qibthi, agar mudah dalam menyampaikan perintah. Selain itu, rumah-rumah tersebut dijadikan tempat salat, ibadah, dan doa karena mereka tidak dapat melaksanakan ibadah secara terbuka atau membangun masjid karena takut kepada Fir‘aun. Salat itu sendiri menjadi jalan untuk mengadu dan mendekatkan diri kepada Allah, dan di dalamnya ada kecepatan dalam dikabulkan. Saat waktu keberangkatan tiba, mereka menaruh tanda pada pintu rumah agar diketahui bahwa penghuni rumah itu telah berangkat.
Nabi Musa juga meminta kepada kaumnya agar para wanita mereka meminjam perhiasan emas atau perak dari wanita Qibthi, untuk memberi kesan bahwa mereka meminjamnya hanya untuk berhias di hari raya, dan bahwa mereka tidak berniat pergi dari negeri itu. Hal ini karena diketahui bahwa Bani Israil adalah kaum yang amanah dalam mengembalikan barang pinjaman. Jika mereka bukan demikian, tentu permintaan mereka akan menimbulkan kecurigaan tentang niat melarikan diri.
Mereka juga meminta izin kepada Fir‘aun untuk merayakan hari raya mereka, dan Fir‘aun pun mengizinkan dengan enggan. Namun sebenarnya izinnya itu adalah tipu daya agar mereka tetap dalam pengawasannya dan mudah dipantau oleh mata-matanya.
Nabi Musa juga berpesan kepada kaumnya bahwa ketika izin hijrah datang, hendaklah mereka meninggalkan rumah dalam keadaan terang benderang agar tidak dicurigai oleh tetangga Qibthi, dan siap berangkat seketika tanpa halangan apa pun. Ini mirip seperti keadaan siaga penuh dalam masa sekarang.
Demikianlah usaha Musa dalam menyiapkan kaumnya secara lahiriah, sementara Allah sendiri yang mengatur jalan keselamatan mereka dari Fir‘aun. Allah menimpakan berbagai rintangan kepada kaum Fir‘aun pada malam hijrah, menyibukkan mereka sehingga tidak bisa mengejar. Doa Nabi Musa pun dikabulkan:
رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ
“Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka dan kuncilah hati mereka…” (QS. Yunus: 88)
Sehingga Allah menyibukkan mereka dengan harta mereka yang berubah menjadi batu sebagaimana bentuk aslinya.
Kemudian datanglah perintah dari Tuhan semesta alam:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي إِنَّكُمْ مُتَّبَعُونَ * فَأَرْسَلَ فِرْعَوْنُ فِي الْمَدَائِنِ حَاشِرِينَ
“Dan Kami wahyukan kepada Musa: ‘Bawalah hamba-hamba-Ku pergi pada malam hari, karena kalian akan dikejar.’ Maka Fir‘aun mengirimkan orang-orang ke kota-kota (untuk mengumpulkan pasukan).” (QS. Asy-Syu‘ara: 52–53)
Kata “asri” berarti berjalan di malam hari, dan memang perintah tersebut disampaikan pada malam hari sebagaimana disebutkan dalam surah Ad-Dukhan:
فَأَسْرِ بِعِبَادِي لَيْلًا إِنَّكُمْ مُتَّبَعُونَ
“Bawalah hamba-hamba-Ku pergi pada malam hari, karena kalian akan dikejar.” (QS. Ad-Dukhan: 23)
Maka Bani Israil pun berangkat dari rumah mereka di bawah lindungan malam, berbicara pelan dan berbisik satu sama lain, serta dilarang berseru atau berteriak memanggil.
Namun, mata-mata Fir‘aun berhasil menangkap sinyal dan bisik-bisik tersebut, lalu melaporkannya kepada Fir‘aun. Saat mendengar kabar itu, Fir‘aun sangat murka karena melihat betapa cermat dan rapi rencana mereka, serta bagaimana mereka menggunakan taktik penyamaran. Ia berkata, “Hamba-hambaku telah kabur—celakalah mereka!” Lalu ia segera mengirimkan utusan ke berbagai kota di Mesir untuk mengumpulkan pasukan sebanyak mungkin guna menghukum Bani Israil.
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa jumlah pasukan yang berhasil dihimpun mencapai satu juta enam ratus ribu orang, sementara jumlah orang yang hijrah bersama Musa adalah enam ratus ribu, belum termasuk wanita, anak-anak, dan orang tua. Mereka adalah keturunan Nabi Ya‘qub yang dahulu datang ke Mesir atas undangan Yusuf, sang penguasa Mesir. Awalnya mereka hidup sejahtera, namun seiring berjalannya waktu mereka tertindas, khususnya pada masa Fir‘aun ini. Maka Allah mengutus Musa untuk membawa mereka keluar dari Mesir menuju Palestina. Lama mereka tinggal di Mesir hingga saat hijrah bersama Musa adalah empat ratus dua puluh enam tahun matahari.
Musa memimpin kaumnya berjalan pada malam hari menuju arah Sinai, melewati jalur yang bukan merupakan jalur kafilah. Setelah perjalanan yang melelahkan selama beberapa hari, mereka tiba-tiba dihadapkan pada pemandangan yang mengejutkan: lautan terbentang di depan mereka. Apa yang harus mereka lakukan? Sementara dari belakang, pada pagi hari ketika matahari mulai terbit, tampak Fir‘aun datang mengejar dengan pasukannya, mengepung dari arah belakang dan laut terbentang di depan mereka. Maka timbullah ketakutan dan penyesalan dari mayoritas mereka karena telah mengikuti Musa. Tangisan anak-anak dan jeritan wanita membelah langit, hati mereka pun terasa tercekat, seakan maut telah menyongsong mereka di tempat yang sepi itu.
Lalu Fir‘aun datang dengan pasukannya menunggang kuda-kuda tangguh yang berlari melompat-lompat seolah tak lelah oleh panjangnya perjalanan, terik matahari, dan ganasnya medan. Bani Israil membayangkan kematian mereka di tangan Fir‘aun di tempat itu, dan mereka pun berharap seandainya saja mereka tetap menjadi budaknya seumur hidup daripada menghadapi nasib ini. Namun sayangnya, mereka belum memahami makna sejati kehidupan dan nilai seorang manusia merdeka, serta bahwa kehidupan ini berputar, dan yang paling penting: mereka lupa bahwa Allah-lah yang memerintahkan Musa untuk hijrah dari Mesir, dan telah menjanjikan keselamatan bagi Musa dan kaumnya dari Fir‘aun.
Tempat ini memang telah Allah siapkan sebagai lokasi kebinasaan bagi para tiran, tempat di mana kisah Fir‘aun akan ditutup. Siapa lagi yang sanggup menelan kerumunan besar ini selain lautan luas yang tak mengenal sempitnya ruang atau beratnya beban? Allah berfirman:
فَأَتْبَعُوهُمْ مُشْرِقِينَ * فَلَمَّا تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ * قَالَ كَلَّا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ * فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ
“Mereka (Fir‘aun dan pasukannya) mengikuti mereka (Bani Israil) di waktu matahari terbit. Maka ketika kedua kelompok itu saling melihat, para pengikut Musa berkata: ‘Kita pasti akan tertangkap.’ Musa berkata: ‘Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.’ Lalu Kami wahyukan kepada Musa: ‘Pukullah laut dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah laut itu, dan setiap belahan seperti gunung yang besar.” (QS. Asy-Syu‘ara: 60–63)
Kaum Musa berjalan kaki, membawa barang-barang mereka di atas keledai dan bagal, karena Fir‘aun tidak mengizinkan mereka memiliki kuda atau senjata. Bersama mereka ada anak-anak, wanita, dan orang tua. Sedangkan para pria tidak memiliki perlengkapan perang kecuali tongkat dan batu. Jika bukan karena pertolongan Allah, tentu akan terjadi pembantaian terhadap Bani Israil.
Pada saat yang paling genting, ketika Fir‘aun mengira bahwa ia telah berhasil dan Bani Israil tak punya jalan keluar, Musa memukul laut dengan tongkatnya, maka terbelahlah laut menjadi dua belas jalan, sesuai dengan jumlah suku keturunan Ya‘qub, sehingga masing-masing suku memiliki jalan tersendiri. Itu agar perjalanan mereka lebih mudah—seperti ketika Allah memancarkan mata air bagi mereka, disebutkan dalam Al-Qur’an:
قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ
“Setiap kelompok telah mengetahui tempat minumnya” (QS. Al-Baqarah: 60).
Fir‘aun dan pasukannya pun terjebak dalam perangkap yang telah disiapkan oleh Allah di lautan itu—yang diyakini sebagai Danau Pahit (al-Buhairāt al-Murrah), salah satu danau besar yang sekarang menjadi bagian dari Terusan Suez, yaitu jalan ke arah timur menuju Sinai. Allah berfirman:
وَأَزْلَفْنَا ثَمَّ الْآخَرِينَ
“Dan Kami dekatkan golongan yang lain (Fir‘aun dan pasukannya)” (QS. Asy-Syu‘ara: 64),
yakni Kami dekati mereka dengan kaum Musa hingga mereka menyangka bisa mengejar dan menghancurkan mereka. Maka mereka pun tergoda dan memacu kuda mereka secepat mungkin untuk mengejar Bani Israil. Mereka tidak sadar bahwa keajaiban terbelahnya laut adalah peringatan bahaya bagi mereka. Sebaliknya, mereka justru menerobos masuk tanpa berpikir panjang.
Musa sempat ingin memukul laut sekali lagi agar kembali seperti semula sebelum Fir‘aun mengejar mereka. Namun, jika Musa melakukannya, tentu Fir‘aun tidak akan terjebak dalam perangkap tenggelam itu. Karena itu, Allah memperingatkan Musa agar membiarkan laut tetap terbuka dengan jalan-jalannya, supaya Fir‘aun tergoda dan berani mengejar Bani Israil. Allah berfirman:
فَأَسْرِ بِعِبَادِي لَيْلًا إِنَّكُمْ مُتَّبَعُونَ * وَاتْرُكِ الْبَحْرَ رَهْوًا إِنَّهُمْ جُنْدٌ مُغْرَقُونَ
“Bawalah hamba-hamba-Ku pada malam hari, sesungguhnya kalian akan dikejar. Dan biarkanlah laut itu tetap terbuka, sesungguhnya mereka adalah tentara yang akan ditenggelamkan.” (QS. Ad-Dukhān: 23–24)
Artinya, biarkan laut tetap tenang dengan dua belas jalur itu, agar Fir‘aun tertipu oleh ketenangannya dan masuk untuk mengejar. Maka Fir‘aun dan bala tentaranya pun masuk ke dalam jalan-jalan itu, dan ketika seluruh pasukannya telah masuk dan kelompok terakhir dari Bani Israil telah keluar ke daratan, Allah berfirman:
وَأَنْجَيْنَا مُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَجْمَعِينَ
“Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang bersamanya seluruhnya.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 65)
Saat itulah Allah mewahyukan kepada Musa agar memukul laut kembali dengan tongkatnya, maka laut pun kembali bergelombang dahsyat dan menenggelamkan Fir‘aun beserta seluruh pasukannya. Pemandangan ini menggembirakan hati orang-orang beriman dan menyembuhkan luka hati mereka atas kezaliman Fir‘aun dan para pengikutnya, sebagaimana firman Allah:
ثُمَّ أَغْرَقْنَا الْآخَرِينَ * إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً وَمَا كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُؤْمِنِينَ
“Kemudian Kami tenggelamkan golongan yang lain. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda kekuasaan Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 66–67)
Kesadaran pun datang kepada Fir‘aun saat air menenggelamkannya dan ia yakin ajal telah menjemput. Ia pun mengakui bahwa Musa benar. Padahal sebelumnya ia telah mengetahuinya, namun kekuasaan dan kedudukan telah membutakannya. Al-Qur’an menggambarkan detik-detik akhir hidup Fir‘aun dan apa yang terjadi dalam dirinya:
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْيًا وَعَدْوًا حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ * آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ * فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
“Dan Kami selamatkan Bani Israil menyeberangi laut, lalu Fir‘aun dan bala tentaranya mengejar mereka dengan melampaui batas dan permusuhan. Hingga ketika Fir‘aun hampir tenggelam, ia berkata: ‘Aku beriman bahwa tidak ada Tuhan selain Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang Muslim.’ Apakah sekarang (kamu baru percaya), padahal sebelumnya kamu telah durhaka dan termasuk orang-orang yang membuat kerusakan? Maka pada hari ini Kami selamatkan jasadmu agar menjadi pelajaran bagi orang-orang sesudahmu. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia lalai dari tanda-tanda (kekuasaan) Kami.” (QS. Yūnus: 90–92)
Dr. Muhammad Munir Al-Janbaz