Kaidah

KAIDAH-KAIDAH AKAD DALAM ISLAM (KEDUA DAN KETIGA)

KAIDAH KEDUA: RUKUN-RUKUN AKAD

(Terjemahan ini telah diperluas dan dilengkapi dengan beberapa penjelasan tambahan yang disarikan dari syarah Prof. Khalid al-Musyaiqih di channel YouTube beliau, agar mudah dipahami).

Menurut mayoritas ulama, rukun akad ada tiga:

1. Al-Muta‘aqidān (Para pihak yang berakad).

Misalnya: Dalam akad jual beli harus ada penjual dan pembeli, dalam akad sewa menyewa harus ada pihak yang menyewakan (muajjir) dan pihak penyewa (musta’jir), dan sebagainya.

2. Ash-Shīghah (formula akad).

-Sigah adalah pernyataan atau perbuatan yang menunjukkan kerelaan kedua pihak terhadap akad.

-Bisa berupa ucapan (ijab qabul), misalnya pemilik berkata: “Saya sewakan rumah ini sebulan dengan harga sekian,” dan penyewa menjawab: “Saya terima.”

-Atau bisa berupa perbuatan, misalnya penjual menyerahkan barang dan pembeli menyerahkan harga tanpa ucapan (disebut mu‘āṭah dalam istilah fikih).

3. Al-Ma‘qūd ‘Alaih (Objek yang menjadi pokok akad).

Contoh: Dalam akad sewa-menyewa, objek akad adalah manfaat dari rumah untuk tempat tinggal atau dari toko untuk berdagang.

Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, rukun akad hanya satu, yaitu ash-shīghah saja.

Dengan demikian, setiap akad tidak mungkin sah kecuali dengan terpenuhi tiga rukun ini: adanya pihak yang berakad, adanya objek akad, dan adanya shīghah.

KAIDAH KETIGA: HUKUM ASAL AKAD ADALAH SAH

Hukum asal setiap akad adalah halal dan sah. Sebuah akad tidak diharamkan kecuali ada dalil dari Al-Qur’an atau Sunnah Nabi  .

Beberapa dalil yang menjadi dasar kaidah ini antara lain:

QS. al-Mā’idah: 1

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”

– Ini mencakup semua jenis akad.

QS. al-Mu’minūn: 8

وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya (akad).”

QS. al-Baqarah: 275

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

– Ini mencakup seluruh bentuk akad/transaksi.

Kaidah ini sangat penting, terutama di zaman sekarang, karena dengan kemajuan industri dan perkembangan ilmu pengetahuan, banyak akad baru muncul yang tidak dikenal di masa lalu. Hukum asal akad-akad baru tersebut tetap halal dan sah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.

Dengan demikian, jika ada keraguan mengenai suatu akad — apakah halal atau haram — hukum asalnya adalah halal dan sah hingga muncul dalil yang menegaskan keharamannya.

Oleh karena itu, siapa pun yang berpendapat bahwa suatu akad tertentu haram, wajib mendatangkan dalilnya, karena pendapat tersebut bertentangan dengan hukum asal yang menetapkan bahwa semua akad pada dasarnya halal dan sah.

Mubarak Umar, Lc., M.A.

Mahasiswa S3 Iqthishad Islami, Universitas Islam Madinah, Arab Saudi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button