Usul Tafsir

Serial Usul Tafsir (bag. 7)

Di antara atsar (perkataan para sahabat dan tabiin) yang menunjukkan ketidakblolehan mengambil riwayat Israiliyat adalah perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu: “Janganlah kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang apapun; karena mereka tidak akan memberi petunjuk kepada kalian, sebab mereka sesat, sehingga kamu mendustakan yang benar dan membenarkan yang salah, sesungguhnya tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab kecuali di dalam hatinya ada kecondongan kepada Allah dan kitab-Nya, seperti kecondongan mereka kepada harta”([1]), dan berkata Abdullah bin Abbas: “Wahai kaum Muslimin, (saya heran) mengapa kalian bertanya kepada Ahli Kitab?! padahal kitab kalian yang diturunkan kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam lebih baru dan masih otentik, sedangkan mereka telah mengganti dan merubah apa yang telah Allah turunkan (kepada mereka) … “([2]), dan Abu Bakar bin Ayyasy bertanya kepada Al-A’masy: Mengapa mereka  (para ulama) enggan mengambil tafsir dari Mujahid?! Ia menjawab: “Karena mereka tahu Mujahid sering meriwayatkan dari Ahli Kitab”([3]).

Pokok permaslahan dalam hal ini perlu diperinci dalam dua hal:

Yang pertama: Meriwayatkan berita-berita Bani Israil, ini dibolehkan.

Yang kedua: Mengambil manfaat dari mereka dalam menjelaskan makna ayat atau yang berkaitan dengannya, ini yang diperselisihkan oleh para ulama.

Sebagian para ulama membagi Israiliyat menjadi tiga kategori: Ibnu Taimiyyah berkata:

  • Apa yang kita ketahui kebenarannya sesuai dengan syariat Islam, maka itu benar.
  • Apa yang kita ketahui kebatilannya karena bertentangan dengan syariat Islam.
  • Apa yang tidak diketahui kebenaran atau kebatilannya, maka kita tidak boleh membenarkan atau mendustakannya, namun boleh meriwayatkannya([4]).

Bagian kedua dan ketiga yang diperselisihkan oleh para ulama dalam penerapannya.

Namun pendapat yang paling kuat adalah diperbolehkan mengambil manfaat dari Israiliyat dalam tafsir; karena empat alasan:

Pertama: Adanya perintah secara eksplisit (jelas) dalam Alquran untuk merujuk kepada mereka dalam beberapa kisah mereka, dan tidak ada yang menasakhnya (membatalkan hukumnya).

Kedua: Nabi shallallahu alaihi wasallam membolehkan untuk meriwayatkan dari mereka setelah melarangnya, yang menandakan bahwa larangan itu telah dicabut.

Ketiga: Hadis yang melarang meriwayatkan Israiliyat dimaksudkan untuk menjadikan mereka sebagai petunjuk, bukan untuk menolak semua riwayat mereka.

Keempat: Mayoritas ulama salaf merujuk kepada Israiliyat dalam beberapa riwayat mereka, padahal mereka tahu ada perbedaan dan permasalahan di antara mereka.

Dari sikap para ulama salaf terhadap Israiliyat, terdapat tiga hal penting:

  • Maksud mereka meriwayatkan Israiliyat adalah untuk menjelaskan makna ayat secara umum, dan hal itu tidak menyelisihi makna global yang terkandung di dalamnya.
  • Hal-hal yang mendetail dalam Israiliyat tidak boleh dipercaya atau didustakan, kecuali jika terdapat bukti yang shahih, tidak cukup hanya berdasarkan penyebutan riwayat tersebut dalam Israiliyat.
  • Larangan dari sebagian ulama salaf ada dua kemungkinan: Untuk mencari petunjuk; sebagaimana larangan yang dilontarkan oleh Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhum, atau mengambil tafsir dari orang yang banyak mengambil dari Ahli Kitab; berdasarkan perkataan al-A’masy.

Riwayat Israiliyat tidak dikritisi dari segi sanad (rantai periwayatan), melainkan dari aspek historis dan kandungannya. Imam Thabari menyebutkan lima kriteria penting dalam menerima Israiliyat:

  • Sesuai dengan Kitabullah (Alquran).
  • Riwayat Israiliyat tersebut tidak bertentangan dengan riwayat dari ma’shum (Nabi shallallahu alaihi wasallam).
  • Sesuai dengan bahasa Arab.
  • Disepakati oleh para sahabat dan tabiin.
  • Mengandung hal-hal yang mungkin terjadi, bukan yang mustahil.

Jika semua kriteria ini terpenuhi akan menjadikan riwayat tersebut lebih diterima. Namun, dengan adanya sebagian kriteria tidak menjadikan riwayat itu tidak diterima; karena kriteria-kriteria lebih mirip indikator pendukung yang menguatkan naskah-naskah dengan sanad yang lemah.

Setelah generasi para salaf, jarang ada tafsir yang tidak mencantumkan riwayat Bani Israil, di antaranya: Tafsir Yahya bin Sallam al-Bashri, Tafsir Ibn Jarir ath-Thabari, Tafsir Ibn Abi Hatim, Tafsir al-Mawardi, Tafsir ats-Tsa’labi, dan lainnya.

Di antara contoh dari pembahasan sebelumnya adalah penafsiran para salaf tentang ujian Nabi Daud alaihissalam dalam firman Allah azza wajalla:

((وَهَلْ أَتَاكَ نَبَأُ الْخَصْمِ إِذْ تَسَوَّرُوا الْمِحْرَاب))

Apakah telah sampai kepadamu berita orang-orang yang berselisih ketika mereka memanjat dinding mihrab?” [Shad: 21], mereka menafsirkan bahwa ujian tersebut berkaitan dengan wanita. Tidak ada tafsir selain riwayat Israiliyat ini di masa tiga generasi salaf, barang siapa yang menafsirkan selain ini maka telah menyelisihi ijmak.

([1] ((R. Abdurrazaq 6/111, No. 10162).

([2] ((HR. Bukhari, Kitab persaksian, Bab tidak boleh meminta persaksian dan lainnya kepada ahli syirik, No. 2685).

([3] ((al-Thabaqat al-Kubra karya Ibn Sa’d 5/466).

([4] ((Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, Hal. 100).

Sadnanto. BA. MA

Kandidat Doktor Ulumul Hadis Universitas Islam Madinah

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button