Bagaimana Hukum Ikut Serta Dalam Peringatan Maulid?

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh Afwan ustadz, kami izin bertanya Afwan, Binaan Dirosa kami ngajak maulid ustadz, diajak sebagai pembaca Qur’an. Katanya, maulidnya beda dengan yang lain?
Jawaban
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Kata Pengantar seputar Peringatan Maulid Nabi ﷺ
Setiap tahun, mayoritas kaum Muslimin pada waktu ini memperingati apa yang mereka sebut dengan (Maulid Nabi ﷺ).
Rata-rata mereka menjadikan acara Maulid Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai bukti dan perwujudan cinta suci kepada Nabi.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah:
1. Kapan pertama kali perayaan ini diadakan? Dan oleh siapa dan apa tujuan mereka mengadakannya?
2. Apakah cinta kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam boleh dari improvisasi dari kita? Ataukah dengan meniti ajaran beliau?
Semoga penjelasan berikut bisa menjawab:
Fakta yang sudah tetap di kalangan ulama, serta telah menjadi kesepakatan di antara mereka, adalah bahwa wafatnya Nabi ﷺ terjadi pada tanggal 12 bulan Rabi‘ul Awwal, setelah dua puluh tiga tahun dari masa diutusnya kenabian yang mulia.
Adapun tentang hari kelahiran beliau dan di bulan apa, maka para ulama berselisih pendapat dengan perbedaan yang sangat banyak.
Ada yang mengatakan beliau lahir pada tanggal 12 Rabi‘ul Awwal. Ada yang mengatakan: bahkan pada tanggal 2 Rabi‘ul Awwal. Ada yang mengatakan: pada tanggal 8 Rabi‘ul Awwal. Ada yang mengatakan: pada hari Senin pertama di bulan Rabi‘ul Awwal. Dan tidak ada perselisihan bahwa beliau lahir pada Tahun Gajah.
Sebagian dari perbedaan ini disebutkan oleh al-‘Iraqī dalam nazham sirah Nabawiyah, beliau berkata:
وَوُلِدَ النَّبِيُّ عَامَ الْفِيلِ
أَيْ فِي رَبِيعِ الْأَوَّلِ الْفَضِيلِ
لِيَوْمِ الْإِثْنَيْنِ مُبَارَكًا أَتَى
لَلَيْلَتَيْنِ مِنْ رَبِيعٍ خَلَتَا
وَقِيلَ بَلْ ذَاكَ لِثَنْتَيْ عَشْرَهْ
وَقِيلَ بَعْدَ الْفِيلِ ذَا بِفَتْرَهْ
بِأَرْبَعِينَ أَوْ ثَلَاثِينَ سَنَهْ
وَرُدَّ ذَا الْخُلْفُ وَبَعْضٌ وَهَّنَهْ
Nabi ﷺ lahir pada Tahun Gajah,
yaitu pada bulan Rabi‘ul Awwal yang mulia.
Pada hari Senin yang penuh berkah,
yaitu pada tanggal 2 Rabi‘ul Awwal.
Ada yang mengatakan tanggal 12,
ada yang mengatakan setelah Tahun Gajah sekian waktu,
empat puluh atau tiga puluh tahun,
perbedaan ini ditolak, sebagian melemahkannya.
Dan yang masyhur di kalangan ahli sejarah dan sirah adalah bahwa beliau ﷺ lahir pada Tahun Gajah. Tentang hal ini, al-Hafizh Ibn Katsīr berkata:
هُوَ الْمَشْهُورُ عِنْدَ الْجُمْهُورِ
“Itu adalah pendapat yang masyhur di kalangan jumhur ulama.”
Ibrahim bin al-Mundzir, guru al-Bukhārī رحمهما الله, berkata:
لَا يَشُكُّ فِيهِ أَحَدٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَنَقَلَ غَيْرُ وَاحِدٍ فِيهِ الْإِجْمَاعُ
“Tidak ada seorang pun ulama yang meragukan hal itu, dan lebih dari satu orang telah menukil adanya ijma‘ (kesepakatan).”
Ibnul Jauzī berkata dalam Shifat ash-Shafwah:
اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُلِدَ بِمَكَّةَ يَوْمَ الْإِثْنَيْنِ فِي شَهْرِ رَبِيعِ الْأَوَّلِ عَامَ الْفِيلِ وَبَعْدَ مَا اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ وِلَادَتَهُ كَانَتْ فِي عَامِ الْفِيلِ اخْتَلَفُوا فِيمَا مَضَى مِنْ ذَلِكَ الْعَامِ
“Mereka sepakat bahwa Rasulullah ﷺ lahir di Makkah pada hari Senin, bulan Rabi‘ul Awwal, Tahun Gajah. Setelah mereka sepakat tentang Tahun Gajah, mereka berselisih tentang berapa lama rentang dari tahun itu.”
Yang masyhur juga, Nabi ﷺ lahir pada hari Senin, diangkat menjadi Nabi pada hari Senin, hijrah dari Makkah pada hari Senin, masuk Madinah pada hari Senin, dan wafat pada hari Senin.
Sejarah Awal Perayaan Maulid
Bagaimanapun, menjadikan hari kelahiran sebagai hari raya, merayakan dan memperingatinya, adalah perkara yang diperselisihkan oleh para ulama belakangan. Hal itu baru muncul setelah abad keempat Hijriyah—yakni setelah diada-adakan pada masa Dinasti Fāthimiyyah di Mesir dan Syam, setelah pertengahan abad keempat.
Tidak ada satu riwayat pun dari Nabi ﷺ maupun Khulafā’ ar-Rāsyidīn bahwa mereka pernah melakukan sesuatu yang disebut Maulid Nabi. Kalau itu baik, tentu mereka lebih dahulu melakukannya. Maka demi menjaga sunnah Nabi ﷺ yang mulia dan berpegang pada Kitabullah, kaum Muslimin seharusnya tidak mengada-adakan perkara yang tidak ada dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah ﷺ.
Tidak boleh bagi seorang Muslim, siapapun dia, untuk menyebarkan bid‘ah atau mengamalkannya. Inilah jalan para salaf umat ini, yang telah ditetapkan oleh para imam mujtahid—semoga Allah meridai mereka semua. Kita memohon kepada Allah agar menolong kita berjalan di atas manhaj mereka, dan meneguhkan kita di jalan yang lurus tanpa penambahan atau pengurangan.
Siapa yang Pertama Merayakan Maulid
Imam Abū Syāmah menyebutkan: orang pertama yang merayakan Maulid Nabi secara teratur adalah Mu‘īnuddin al-Irbilī (dikenal dengan al-Mallā’), Syekh kota Mosul pada zamannya (wafat 570 H). Dikatakan bahwa ia merayakannya setiap tahun dengan kehadiran para penyair dan penguasa di zawiyah-nya.
As-Suyūṭī menyebutkan: orang pertama yang merayakan Maulid Nabi adalah penguasa Irbil (Irak utara), Ibn Buktakīn.
Namun yang lebih masyhur adalah bahwa Dinasti Fāthimiyyah (al-‘Ubaidiyyūn-generasi Yahudi yang mengaku menjadi dzurriyat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam) yang terkenal itulah yang merayakan Maulid Nabi, dengan mengadakan pawai membawa hidangan manisan ke Masjid al-Azhar, lalu ke istana khalifah, di sana disampaikan khutbah dan didoakan untuk khalifah.
Mereka adalah pihak pertama yang mengada-adakan berbagai maulid pada abad ke-4 H untuk merusak agama. Mereka membuat enam maulid: Maulid Nabi, Maulid ‘Alī, Fāthimah, Hasan, Husain, dan khalifah yang sedang berkuasa.
Tujuan mereka adalah menipu masyarakat awam agar bisa menyebarkan mazhab Syiah Ismā‘īliyyah Bāthiniyyah dan akidah-akidah sesat mereka, serta menjauhkan manusia dari agama Allah (para ulama sepakat akan kekafiran mereka jika mereka mengaku Islam, dan Shalahudin Al Ayubi berhasil menjatuhkan mereka pada 7 Muharram 567 H).
Mereka mengadakan Maulid Nabi dan Maulid Ahlul Bait, menyajikan hidangan, bersikap baik kepada fakir miskin dengan tujuan jahat untuk menarik hati masyarakat awam yang kurang ilmu.
Kalau ada yang mengingkari, apa yang diingkari? Apakah memberi makan orang, bersedekah, membaca Al-Qur’an, atau memuji Rasul ﷺ? Karena mereka memerangi sunnah, maka terbuka jalan bagi bid‘ah untuk menyebar.
Siapa yang mengetahui makar mereka tidak mampu mengingkari karena khawatir akan penindasan dan siksaan. Lama-kelamaan bid‘ah itu tersebar, dibiasakan orang, dan hati mereka terikat dengannya karena adanya dorongan (targhīb) dan ancaman (tarhīb).
Orang-orang Fāthimiyyah Rafidhah inilah yang membuka pintu perayaan bid‘ah secara besar-besaran, bahkan mereka merayakan hari raya Majusi dan Nasrani, karena jauhnya mereka dari Islam dan permusuhan mereka terhadapnya.
Perkembangan Berikutnya
Pada masa Dinasti Ayyūbiyyah, Maulid juga dirayakan. Banyak harta diinfakkan untuk fakir miskin dan lainnya. Para sufi, fuqahā’, ulama, dan penyair berkumpul; unta, sapi, dan kambing disembelih, dimasak, lalu disantap orang-orang.
Adapun berkumpul untuk Maulid dengan nyanyian, tarian, dan menjadikannya ibadah, maka tidak seorang pun dari ulama dan orang beriman yang meragukan bahwa itu termasuk kemungkaran yang dilarang.
Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari melarang perayaan Maulid Nabi, selama hal itu justru berlebihan dan menimbulkan kemaksiatan. Beliau berkata:
“Ketahuilah! Sungguh setiap perayaan maulid jika menjadi penyebab terjadinya maksiat yang nyata, seperti terjadinya kemungkaran, maka wajib untuk meninggalkannya dan haram mengadakannya,” kitab At-Tanbihat wal Wajibat Liman Yashna’ul Maulid bil Munkarat.
Pada masa Khilafah Utsmāniyyah, perayaan Maulid berbentuk lain, dengan peringatan setiap tahun di masjid tertentu. Pada masa Sultan ‘Abdul Hamīd II, perayaan hanya dilakukan di Masjid al-Hamīdī. Para ulama dan masyarakat masuk bersama sultan pada malam 12 Rabi‘ul Awwal, membaca Al-Qur’an, membaca kisah Maulid, kemudian kitab Dalā’il al-Khairāt dalam shalawat kepada Nabi, lalu diadakan halaqah dzikir dengan lantunan shalawat yang keras. Pada pagi hari 12 Rabi‘ul Awwal, para pembesar negara datang memberi selamat kepada sultan.
Di Maghrib (Maroko), perayaan mirip dengan gaya Utsmāniyyah. Para muadzin berkumpul, sultan keluar shalat Subuh bersama rakyat, duduk di singgasananya, menerima tamu sesuai derajat mereka. Seorang penceramah maju menyampaikan keutamaan dan mukjizat Nabi ﷺ, lalu para penyair membacakan puji-pujian. Setelah selesai, hidangan disajikan untuk rakyat.
Bentuk-bentuk Perayaan Maulid
1. Bentuk pertama: yang dilakukan sebagian orang awam yang jahil, berupa percampuran laki-laki dan perempuan, mengangkat panji-panji, nyanyian, dan hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan Maulid Nabi ﷺ selain sekadar berkumpul, menari, makan, dan minum.
Bentuk ini jelas haram, termasuk kemungkaran yang masuk ke negeri-negeri Muslim.
Ibn Taimiyyah berkata:
أَمَّا الِاجْتِمَاعُ فِي عَمَلِ الْمَوْلِدِ عَلَى غِنَاءٍ وَرَقْصٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ وَاتِّخَاذِهِ عِبَادَةً فَلَا يَرْتَابُ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْإِيمَانِ فِي أَنَّ هَذَا مِنْ الْمُنْكَرَاتِ الَّتِي يُنْهَى عَنْهَا وَلَا يَسْتَحِبُّ ذَلِكَ إِلَّا جَاهِلٌ أَوْ زِنْدِيقٌ
“Adapun berkumpul untuk Maulid dengan nyanyian, tarian, dan menjadikannya ibadah, maka tidak seorang pun dari ulama dan orang beriman yang meragukan bahwa itu termasuk kemungkaran. Tidak menyukainya kecuali orang bodoh atau zindiq.”
2. Bentuk kedua: berupa membaca Al-Qur’an, menyebutkan keutamaan Nabi dan kelahirannya, serta melantunkan syair-syair dalam memuji beliau ﷺ.
Bentuk ini diperselisihkan ulama:
Pendapat pertama (boleh): Ibnul Jauzī, Ibn Nāshiruddin ad-Dimasyqī, Ibn Hajar al-‘Asqalānī, as-Sakhāwī, as-Suyūṭī. Dari kontemporer: Muhammad ath-Thāhir bin ‘Āsyūr, Hasanain Muhammad Makhlūf (Syekh al-Azhar), dan sebagian ulama modern.
Pendapat kedua (haram): Ibn Taimiyyah, asy-Syāthibī, Tajuddin al-Fākihānī, dan banyak ulama salaf. Dari kontemporer: Muhammad bin Ibrāhīm Āl asy-Syaikh (Mufti Saudi), Ibn Bāz, Ibn ‘Utsaimīn, al-Albānī, dan lainnya.
Kesimpulan
Pendapat yang benar: perayaan Maulid Nabi adalah bid‘ah mungkarah.
Kalau perayaan itu baik, tentu salafus shalih lebih dahulu melakukannya.
Mereka lebih mencintai Nabi ﷺ, lebih mengagungkan beliau, dan lebih bersemangat dalam kebaikan.
Apa yang dilakukan para peraya berupa bacaan Al-Qur’an dan zikir adalah amalan baik pada dirinya, tapi niat menjadikannya ibadah pada waktu tertentu menjadikannya bid‘ah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Setiap bid‘ah adalah kesesatan.”
Tidak ada dalil syar‘i yang menunjukkan keutamaan hari kelahiran. Bahkan, jika hari lahir beliau dianggap 12 Rabi‘ul Awwal, maka itu juga hari wafatnya beliau, apakah kegembiraan dengan lahirnya Nabi lebih diutamakan dari kesedihan akan wafatnya beliau dihari itu? Ataukah mereka gembira dihari wafatnya beliau dan merayakannya dengan semeriah?
Maka, menyelisihi salaf dengan membuat ibadah baru bukanlah bukti cinta, tapi penyimpangan. Cinta sejati adalah dengan mengikuti beliau, menaati sunnahnya, menghidupkan syariat, dan berjihad menyebarkan risalahnya dengan hati, lisan, dan perbuatan.
تَعْصِي الإِلَهَ وَأَنْتَ تُظْهِرُ حُبَّهُ
هَذَا مَحَالٌ فِي الْقِيَاسِ بَدِيعُ
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَعْتَهُ
إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيعُ
Engkau bermaksiat kepada Allah sementara engkau menampakkan cinta kepada-Nya?
Itu adalah sesuatu yang mustahil menurut logika yang lurus.
Seandainya cintamu benar-benar tulus, niscaya engkau akan taat kepada-Nya.
Sungguh, seorang pecinta pasti taat kepada yang dicintainya.
📖 Bait ini sering dinisbatkan kepada sebagian ulama salaf dan dijadikan nasihat tentang hakikat cinta kepada Allah: cinta sejati bukan hanya di lisan, tetapi harus dibuktikan dengan ketaatan.
Sebagian orang terdahulu berkata:
“Telah ada suatu kaum yang mengaku mencintai Allah, maka Allah menurunkan ayat ujian:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
“Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian.” (QS. Āli ‘Imrān: 31).
Berkata Abu Sulaiman Ad Daroni:
لَمَّا ادَّعَتِ الْقُلُوبُ مَحَبَّةَ اللَّهِ أَنْزَلَ اللَّهُ لَهَا مِحْنَةً
“Ketika hati-hati mengaku mencintai Allah, Allah menurunkan bagi mereka ayat ujian:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
‘Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian.’”
🌿 Faidah:
Ayat ini sering disebut oleh para ulama sebagai آية المحنة (ayat ujian/cobaan), karena menjadi tolok ukur kejujuran seseorang dalam mengaku cinta kepada Allah. Tanda cinta kepada Allah adalah ittibā‘ (mengikuti sunnah Nabi ﷺ). Jika tidak, maka klaim cinta hanya sebatas ucapan lisan tanpa bukti.
Banyak orang yang sibuk dengan perayaan ini justru lemah dalam menjalankan sunnah beliau ﷺ. Mereka ibarat menghias mushaf tetapi tidak membacanya, menghias masjid tetapi tidak shalat di dalamnya, atau memiliki tasbih dan sajadah indah tetapi malah melalaikan ibadah.
Karena itu, malam kelahiran beliau tidak diketahui secara pasti. Maka merayakannya pada malam 12 Rabi‘ul Awwal tidak ada asalnya secara sejarah maupun syariat.
Syekh Rasyīd Ridā berkata:
مِنْ طَبَاعِ الْبَشَرِ أَنْ يُبَالِغُوا فِي مَظَاهِرِ أَئِمَّةِ الدِّينِ وَالدُّنْيَا حَالَ ضَعْفِهِمْ لِأَنَّ هَذَا التَّعْظِيمَ لَا مَشَقَّةَ فِيهِ فَيَعْمَلُونَهُ بَدَلًا مِمَّا يَجِبُ عَلَيْهِمْ
“Sifat manusia, ketika lemah, adalah berlebihan dalam menampakkan penghormatan kepada tokoh agama, karena penghormatan itu tidak memerlukan usaha, maka mereka lakukan sebagai ganti dari kewajiban yang seharusnya.”
Ibnul Hāj al-‘Abdarī berkata:
انْظُرْ رَحِمَكَ اللَّهُ إِلَى مُخَالَفَةِ السُّنَّةِ مَا أَشْنَعَهَا وَأَقْبَحَهَا وَكَيْفَ تَجُرُّ إِلَى الْمُحَرَّمَاتِ فَإِنَّهُمْ لَمَّا خَالَفُوا السُّنَّةَ وَفَعَلُوا الْمَوْلِدَ لَمْ يَقْتَصِرُوا عَلَى فِعْلِهِ
“Lihatlah, semoga Allah merahmatimu, betapa buruknya menyelisihi sunnah, bagaimana itu menyeret kepada hal-hal haram. Karena mereka menyelisihi sunnah lalu membuat Maulid, mereka tidak berhenti sampai di situ, bahkan menambah berbagai kebatilan.”
Maka orang yang bahagia adalah orang yang berpegang teguh dengan Kitab dan Sunnah, menempuh jalan salaf terdahulu, karena mereka lebih mengetahui sunnah dibanding kita, lebih memahami kondisi dan lebih dalam ilmunya. Demikian pula mengikuti generasi setelah mereka yang baik. Hendaknya berhati-hati dari kebiasaan buruk masyarakat dan orang-orang yang membuat tradisi jelek.
Mengikuti salaf lebih wajib daripada menambah amalan yang tidak mereka lakukan, karena mereka adalah orang yang paling taat mengikuti Nabi ﷺ. Tidak dinukil dari seorang pun dari mereka bahwa ia meniatkan Maulid. Kita adalah pengikut mereka, maka cukup bagi kita apa yang cukup bagi mereka.
Wallāhu a‘lam.