Usul Tafsir

Serial Usul Tafsir (bag. 12)

C. Ijmak dalam tafsir.

Ijmak dalam tafsir adalah kesepakatan para ahli tafsir pada suatu masa terhadap makna ayat atau beberapa ayat Alquran. Para ulama juga sepakat bahwa ijmak merupakan hujjah yang wajib diikuti.

Adapun ijmak para salaf dalam bidang tafsir jumlahnya sangat terbatas. Bahkan, sebagian besar penafsiran yang tidak terdapat perbedaan di kalangan mereka lebih tepat disebut sebagai ijmak sukuti (kesepakatan secara diam).

Manfaat pembahasan tentang ijmak dalam tafsir antara lain: membantu mengetahui jumlah ijmak yang ada, menjernihkan makna suatu nash dari kerancuan, menjadi pedoman dalam menolak pendapat yang keliru, sekaligus sebagai landasan untuk menanggapi pihak yang menyelisihi kebenaran.

Para ahli tafsir seperti ath-Thabari, al-Wahidi, Ibnu ‘Athiyyah, dan lainnya memberikan perhatian besar terhadap penyebutan persoalan ijmak dalam karya tafsir mereka. Di antara alasan perhatian tersebut adalah:

Adanya kesamaan makna, hal itu termasuk ijmak.

Memperjelas maksud ayat dan menegaskan pokok bahasan yang terkandung di dalamnya.

Menyanggah pihak yang menyelisihi ijmak, sebagaimana dilakukan oleh ath-Thabari dalam menafsirkan firman Allah azza wajalla: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ} “Tunjukilah kami jalan yang lurus” [Al-Fatihah: 6]. Ia membantah pendapat sebagian orang yang menafsirkannya dengan: “Jadikanlah kami menempuh jalan menuju surga di akhirat”, sebab penafsiran ini bertentangan dengan ijmak para sahabat dan tabi‘in.

Menguatkan salah satu pendapat tafsir dengan dalil ijmak, seperti yang dilakukan ath-Thabari ketika menguatkan qirā’ah (يَطَّهَرْنَ) pada firman Allah azza wajalla: {وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ} “Janganlah kamu dekati mereka sebelum mereka suci” [Al-Baqarah: 222]; hal itu karena para ulama berijmak bahwa seorang suami diharamkan menggauli istrinya setelah berhenti haid hingga ia benar-benar bersuci.

Di antara faktor yang menimbulkan pertentangan dalam masalah ijmak ialah: lemahnya pengetahuan terhadap riwayat para salaf beserta ijmak-ijmak mereka; bersandar pada pendapat syādz (ganjil) atau pendapat baru yang muncul setelah terjadinya ijmak; serta bergantung pada keyakinan yang batil tanpa memperhatikan kesepakatan para pendahulu.

Ijmak dalam tafsir terbagi menjadi dua bagian:

Ijmak yang jelas pada lafaz dan makna, contohnya adalah ijmak para ulama dalam menafsirkan firman Allah azza wajalla: {وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ} “Tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya)” [Ar-Rahman:6]; bahwa arti (الشجر) adalah tumbuhan yang memiliki batang.

Ijmak atas satu makna, meskipun dengan redaksi yang berbeda-beda.

Bagian kedua ini memiliki dua bentuk:

Yang pertama: mengungkapkan makna dengan kata-kata yang serupa, seperti tafsir lafaz (أَوْحَيْتُ) dalam firman Allah azza wajalla: {وَإِذْ أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ آمِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا آمَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ} “Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut-pengikut `Isa yang setia, “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku”. Mereka menjawab, “Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai Rasul) bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (muslim)” [Al-Maidah:111]. Sebagian ulama menafsirkannya dengan: “Aku masukkan ke dalam hati mereka,” sementara yang lain mengatakan: “Aku ilhamkan kepada mereka”.

Yang kedua: menjelaskan makna umum dengan contoh-contohnya, seperti tafsir lafaz (البِرّ) dalam firman Allah azza wajalla: {أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ} “Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri” [Al-Baqarah: 44]. Ada yang menafsirkannya dengan: “Masuk ke dalam agama Muhammad shallallāhu ‘alaihi wasallam”, ada pula yang mengatakan: “Perintah untuk menaati Allah dan bertakwa kepada-Nya”, serta ada pula yang menafsirkannya: “Perintah untuk berpuasa dan salat”.

 Para ulama menjelaskan bahwa pengadaan pendapat baru dalam tafsir dapat dikategorikan ke dalam tiga kasus:

Perbedaan pendapat terbatas, tanpa kemungkinan memasukkan pendapat baru, kasus ini terjadi pada ayat-ayat akidah dan hukum. Misalnya pada firman Allah azza wajalla: {وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ} “Dan para isteri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qurū’” [Al-Baqarah: 228]; Para ulama berbeda pendapat apakah (القُرْء) bermakna “suci” atau “haid”. Contoh lain pada firman Allah azza wajalla: {ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى} “Kemudian dia mendekat (pada Muhammad), lalu bertambah dekat” [An-Najm: 8]; Sebagian menafsirkannya bahwa yang mendekat adalah Allah Ta‘ala, sementara yang lain mengatakan Jibrīl ‘alaihis-salām.

Menambahkan makna tafsir yang benar dan tidak bertentangan dengan pendapat para ulama salaf secara keseluruhan. Hal ini diperbolehkan, meskipun bisa jadi berbeda dengan sebagian penafsiran salaf. Seperti penafsiran sebagian ulama kontemporer tentang makna (سَلْب الذُّبَاب) dalam firman Allah azza wajalla: {وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ} “Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari lalat itu” [Al-Hajj: 73]. Mereka menjelaskan bahwa lalat mengeluarkan enzim dan cairan pencernaan pada makanan padat, melarutkannya, lalu menyerapnya, sehingga mustahil untuk mengambil kembali apa yang telah dihinggapinya.

Menambahkan pendapat yang bertentangan dengan ijmak atau penafsiran salaf secara keseluruhan, hal ini tidak diperbolehkan. Seperti penafsiran sebagian ulama kontemporer tentang makna (وَهَن بيت العنكبوت) dalam firman Allah azza wajalla: {مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ} “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba” [Al-Ankabut: 41]. Mereka menafsirkannya sebagai simbol lemahnya hubungan sosial dan dominasi betina atas jantan. Penafsiran ini bertentangan dengan tafsiran salaf, yang memahaminya sebagai kelemahan dan kerapuhan jaring laba-laba itu sendiri yang tidak mampu melindungi dari panas dan dingin. Begitu pula berhala-berhala tidak memberi manfaat atau menolak mudarat bagi penyembahnya.

Sadnanto. BA. MA

Kandidat Doktor Ulumul Hadis Universitas Islam Madinah

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button