Fikih

Hukum Fikih berkaitan dengan Anak (bagian 5)

Hukum Fikih berkaitan dengan Anak (bagian 5) – Khitan

Khitan sudah menjadi tradisi umat muslim sejak dahulu kala, terlepas dari fenomena perdebatan apakah dia wajib atau sunah, namun ritual ini menjadi lambang kesucian, kebersihan dan ketaatan serta meneladani Baginda Nabi Ibrahim .

Khitan, atau biasa disebut dengan sunat hukumnya wajib menurut ulama Syafii dan Hanbali, bagi kaum pria dan wanita. Meskipun ada pendapat lain yang tidak kalah populer menyebutkan bahwa sunat wanita memiliki hukum sunah, bahkan ada yang menyebut sunat ini hanya sebatas penghargaan kepada wanita, bukan sebuah ritual ibadah yang disunahkan.

Beberapa dalil yang menjadi sandaran hukum wajib dari khitan ini adalah sebagai berikut:

Pertama: Firman Allah :

«ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ»

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik.” (QS. An-Nahl: 123)

Kedua: Sabda Nabi ﷺ:

اختتنا إبراهيم النبي وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم

Artinya: “Nabi Ibrahim melakukan khitan -pada dirinya- ketika berumur delapan puluh tahun, menggunakan kapak”. (HR. Bukhari-Muslim)

Dari dua dalil di atas dapat disimpulkan bahwa Khitan merupakan bagian dari agama nabi Ibrahim (dalil nomor dua) yang di mana kita diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti agama beliau (dalil nomor satu), sementara hukum asal perintah adalah wajib. Olehnya dapat dipahami bahwa hukum khitan adalah wajib.

Ketiga: Melihat, menyentuh, apalagi memotong aurat tanpa alasan syar’i adalah haram. Jika tindakan itu diperbolehkan demi khitan, berarti khitan memiliki kedudukan hukum yang lebih tinggi, yaitu wajib.

Khitan tidaklah wajib kecuali jika seseorang telah mencapai usia balig dan belum melakukan khitan. Adapun sebelum masa wajib maka hukumnya tidak wajib namun disunahkan, karena pada umur belia dan muda luka dapat sembuh dengan cepat dan seorang yang telah berkhitan dapat tumbuh mencapai usia balig dalam keadaan suci yang sempurna.

Lantas sejak kapan boleh melakukan khitan? Para ulama sudah membolehkan melakukan khitan pada usia tujuh hari sejak hari kelahiran (hari lahir tidak terhitung), namun adat kebiasaan umat muslim Indonesia pada saat usia anak 7-10 tahun, sesuai dengan pengamalan mazhab Maliki. Meskipun demikian tetap melakukan konsultasi dokter mengenai waktu yang pas dan cocok secara medis dan sesuai dengan kondisi anak, karena sejatinya waktu khitan sangat panjang, mulai dari usia bayi tujuh hari hingga sebelum balig.

Adapun tata cara sunat, maka berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Bagi laki-laki sunat dilakukan dengan cara memotong dan menghilangkan kulit yang menutupi kepala penis. Adapun pada wanita maka dengan cara mengambil sedikit bagian dari klitoris (dalam kitab klasik disebutkan bagian atas dari saluran seni yang memiliki bentuk seperti jambul ayam jantan). Para ulama menyebutkan bahwa cukup di ambil sedikit saja, dan memotong semua klitoris merupakan perbuatan yang tidak dianjurkan. Ini sesuai dengan sebuah hadis yang berbunyi:

أن امرأة كانت تختن بالمدينة، فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم: “لا تنهِكيِ، فإن ذلك أحظى للمرأة، وأحب إلى البعل”

“Bahwa seorang wanita (memiliki profesi tukang khitan wanita) dan sedang melakukan khitan di Madinah, lalu Nabi ﷺ bersabda kepadanya: ‘Jangan lakukan khitan yang berlebihan (tahnik atau mutilasi), karena yang demikian lebih baik bagi wanita dan lebih disukai oleh suaminya.’. (HR. Abu Daud)

 Setelah selesai khitan khususnya laki-laki di anjurkan untuk melakukan acara walimah khitan semampunya. Adapun acara walimah khitan wanita maka tidak di anjurkan, karena hal dan urusan wanita seperti ini (dalam kasus ini khitan wanita) tidak pantas untuk di publikasikan, namun jika di adakan dan diumumkan di depan wanita saja dan tidak dihadiri kecuali oleh wanita, maka tidak mengapa.

 Di akhir tulisan ini kami sampaikan bahwa sunat atau khitan merupakan syiar Islam yang memiliki makna kesucian, kebersihan, dan ketaatan kepada Allah ﷻ. Dengan melaksanakan khitan sejak dini, seorang muslim tumbuh dalam keadaan terjaga fitrahnya dan siap menapaki kehidupan balig dalam keadaan suci lahir dan batin.

Referensi

  • Hasyiah Ibn Abidin, Ibn Abidin
  • Syarh Saghir, Ahmad Ad-Dirdir
  • Mawahib Jalil, Al-Hattab
  • Al-Majmu Syarhul Muhazzab, Nawawi
  • Kasysyaf Qina, Buhuti.
  • Fathul Bari, Al-Asqalani

Usamah Maming, Lc., M.A.

Kandidat Doktor, Qassim University, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button