Tatsqif

Amalan Salih di dalam Surah Al-Kahfi Bag. 4

Amalan Salih di dalam Surah Al-Kahfi Bag. 4

Kedua : Ittiba’ (Mengikuti / Sesuai Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Firman Allah Ta’ala,

“Katakanlah (Muhammad), “Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?” (103) (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya. (104) Mereka itulah orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (tidak percaya) terhadap pertemuan dengan-Nya. Maka sia-sia amal mereka, dan Kami tidak memberikan penimbangan terhadap (amal) mereka pada hari Kiamat. (105) Demikianlah, balasan mereka itu neraka Jahanam, karena kekafiran mereka, dan karena mereka menjadikan ayat-ayatKu dan rasul-rasulKu sebagai bahan olok-olok. (106)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah Mengatakan bahwa ayat yang mulia ini mencakup haruriyyah (Khawarij) seperti halnya termasuk orang-orang yahudi dan nashrani juga yang lainnya, bukan karena turunnya (ayat) ini pada beberapa golongan saja, akan tetapi lebih umum untuk siapa saja, karena Sesungguhnya ayat ini adalah ayat Makkiyyah, sebelum adanya khithab (seruan) terhadap orang Yahudi dan Nasrani, dan juga sebelum adanya kaum khawarij secara keseluruhan, Adapun ayat ini berlaku untuk setiap orang yang beribadah kepada Allah di atas jalan yang tidak diridai, yang dia mengira bahwa dirinya benar, tetapi ternyata amalnya batil dan dia tersesat.

Seperti yang Allah Ta‘ala firmankan di dalam surah Al-Ghasyiyah ayat 2-4:

“Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk hina, (karena) bekerja keras lagi kepayahan, mereka memasuki api yang sangat panas (neraka).

Firman Allah Ta‘ala di dalam surah Al-Furqan ayat 23:

“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.

Juga Firman Allah Ta‘ala di dalam surah An-Nuur ayat 39:

“Dan orang-orang yang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak ada apa pun…”

Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

“Hadis ini termasuk bagian dari pokok-pokok ajaran Islam dan merupakan salah satu kaidah penting dari kaidah-kaidahnya.”

Maknanya adalah: Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam agama yang tidak memiliki dasar dari pokok-pokok agama, maka tidak boleh meliriknya sedikitpun.

An-Nawawi berkata: Hadis ini termasuk hadis yang seharusnya diperhatikan untuk dihafal dan digunakan dalam membatalkan segala bentuk kemungkaran serta menyebarluaskan penggunaan dalil dengannya.

Yang terpenting baiknya amalan di sisi Allah, bukan manusia.

Allah ta’ala berfirman di surah Al-Kahfi ayat 7, ‘Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di atas bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapakah di antaranya yang lebih baik perbuatannya’, dan di ayat 30 ‘Sesungguhnya mereka yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan baik’, juga di ayat 102-104 ‘Maka, apakah orang-orang yang kufur mengira bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan (neraka) Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir, Katakanlah (Nabi Muhammad), “Apakah perlu kami beri tahukan orang-orang yang paling rugi perbuatannya kepadamu?”, (Yaitu) orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.

Imam Ath-Thabari Rahimahullah berkata, “Dan pendapat yang tepat dalam hal ini menurut kami adalah bahwa dikatakan, Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Apakah perlu kami beri tahukan orang-orang yang paling rugi perbuatannya?” Setiap orang yang beramal dengan suatu amal yang ia sangka benar, namun ternyata amal tersebut adalah suatu kesesatan, dan ia mengira bahwa amal tersebut adalah ketaatan, padahal itu perbuatan yang mengundang kemurkaan, dan itu merupakan perbuatan yang dimurkai Allah.

Dan hal itu dilakukan oleh orang yang tidak mendapatkan taufik dari Allah. Adapun dari sisi orang-orang yang beriman dengannya seperti kaum Rahban dan Asy-Syamāmisah, dan kelompok sesat lainnya yang bersungguh-sungguh dalam kesesatan mereka, maka meskipun mereka bersungguh-sungguh dalam amalnya, namun karena mereka tidak berada di atas petunjuk Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang amalnya sia-sia, dari kalangan pemeluk agama apa pun mereka.

Amr dari Mush’ab berkata : Aku bertanya kepada Ayahku —yaitu Sa’id bin Abi Waqqash — tentang firman Allah: “Apakah perlu kami beri tahukan orang-orang yang paling rugi perbuatannya?” Ia berkata: Apakah mereka dari kaum haruriyah (Khawarij)? Adapun orang-orang Yahudi, mereka kufur terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Sedangkan orang-orang Nasrani, mereka kufur terhadap surga, dan mereka mengatakan: Tidak ada makan, tidak ada minum, alharuruyah adalah mereka yang melanggar perjanjian Allah setelah mengikrarkannya, dan Sa’ad radhiyallahu ‘anhu biasa menyebut mereka sebagai orang-orang fasik.”

Mohon pertolongan kepada Allah sebelum beramal, dan dahulukan kehendak-Nya:

Allah ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu sekali-kali mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok (23), kecuali (dengan menyebut), ‘Insya Allah’. Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila kamu lupa, dan katakanlah, ‘Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini.’” (Al-Kahfi: 23–24)

As-Sa‘di rahimahullah berkata: Ini adalah larangan seperti yang lainnya, walaupun sebab turunnya khusus, ditujukan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kandungannya berlaku umum bagi semua orang yang dibebani syariat (mukallaf). Larangan ini adalah agar hamba tidak mengatakan tentang urusan yang akan datang “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu.” Tanpa mengaitkan dengan kehendak Allah, karena hal ini termasuk bentuk ketergesa-gesaan dan kecongkakan terhadap perkara ghaib yang tidak ia ketahui, apakah ia akan mengerjakannya atau tidak. Apakah ia mampu atau tidak? Di dalamnya juga terkandung penolakan terhadap perbuatan hamba seakan-akan ia terjadi secara independen, dan ini merupakan bentuk kelalaian yang berbahaya. Karena kehendak (māsyi’ah) seluruhnya milik Allah.

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (sesuatu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (At-Takwir: 29)

Ketika menyebut kehendak Allah, maka hal itu menyebabkan kemudahan, keberkahan, dan pertolongan dari Allah atas perbuatan hamba. Maka dari itu, bila seorang hamba ingin melakukan sesuatu, sudah semestinya ia menyertakan kehendak Allah (dengan mengucapkan “insya Allah”), agar ia bisa mendapatkan apa yang diharapkan dan mencegah apa tidak diinginkan.

Hamdy Arifan Halim, S.H., Lc.

Alumni S1, Universitas Al Qashim, Arab Saudi

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button