FATWA AMALAN FIKIH SEHARI-HARI (BAG. 4)

FATWA AMALAN FIKIH SEHARI-HARI
(BAG. 4)
43. Menurut pendapat yang paling sahih di kalangan ulama, menggosok anggota badan bukanlah kewajiban dalam wudu maupun mandi junub.
Maka, sudah cukup bagi seseorang yang junub untuk mengalirkan air ke seluruh tubuhnya hingga merata. Begitu pula saat berwudu, cukup dengan mengalirkan air ke setiap anggota wudu hingga semuanya basah.
Namun demikian, sebaiknya dalam mandi junub seseorang mencuci terlebih dahulu bagian kemaluan untuk membersihkan najis, lalu berwudu seperti wudu untuk salat, lalu menyiram air ke seluruh tubuh hingga merata.
44. Apabila air tersedia, maka wajib bersuci dengannya baik dengan taharah besar maupun taharah kecil. Namun, apabila air tidak tersedia, maka diperbolehkan bertayamum ketika air berada jauh dan sulit untuk didapatkan pada waktu salat.
45. Apabila seseorang yang junub tidak menemukan air yang cukup untuk mandi wajib, maka ia berwudu dengan air yang ada meskipun sedikit, lalu bertayamum untuk mengganti mandi junub jika waktu salat sudah sempit. Ia tidak boleh menunda salat hingga keluar dari waktunya.
46. Cukup bagi seseorang satu kali tayamum untuk melaksanakan lebih dari satu salat fardu, atau fardu dan sunah sekaligus, selama ia masih dalam keadaan suci dan belum mendapatkan air. Inilah pendapat yang paling benar dari dua pendapat ulama.
47. Penyakit yang membolehkan bertayamum adalah penyakit yang dikhawatirkan, apabila menggunakan air akan memperparah penyakit atau memperlambat kesembuhan luka.
48. Seseorang wajib bertayamum dengan tanah yang suci apabila tidak terdapat air atau tidak memungkinkan untuk menggunakannya, sebagaimana firman Allah Taala: ‘Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci), lalu usaplah wajah dan tangan kalian dengannya’ (QS. An-Nisa: 43). Jika ia tidak mampu menggunakan tanah berdebu, maka sah baginya bertayamum dengan menepukkan tangan ke bumi yang suci bagaimanapun keadaannya, meskipun tidak ada debunya, berdasarkan firman Allah Taala: ‘Maka bertakwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian’ (QS. At-Taghabun: 16).
49. Apabila pada salah satu anggota wudu terdapat luka dan tidak mungkin untuk dibasuh atau diusap karena hal itu dapat memperparah luka atau memperlambat kesembuhannya, maka kewajiban bagi orang tersebut adalah bertayamum.
50. Hukum asal pada segala sesuatu adalah suci, sehingga tidak boleh dihukum najis kecuali dengan adanya dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu najis dan bahwa najis yang disebutkan itu benar-benar ada pada tempat tersebut. Jika kedua hal ini tidak terbukti, maka seorang muslim tetap melaksanakan salat dan salatnya sah.
51. Darah hewan yang dagingnya halal dimakan, seperti kambing dan sapi, apabila mengalir (tercurah) maka hukumnya najis. Adapun yang tersisa pada urat dan daging hewan sembelihan, maka hukumnya suci.
52. Air kencing hewan yang dagingnya halal dimakan adalah suci. Karena itu, apabila digunakan pada tubuh untuk suatu kebutuhan, tidak mengapa baginya melaksanakan salat dalam keadaan demikian.
53. Pendapat yang lebih kuat adalah suci (tidak najis) bekas minum bagal, keledai jinak, hewan buas seperti serigala, macan dan singa, serta burung pemangsa seperti elang dan burung hering. Inilah yang dikuatkan oleh Abu Muhammad Ibn Qudamah dalam Al-Mughni, dan pendapat ini pula yang sesuai dengan dalil-dalil syari.
54. Para ulama berbeda pendapat tentang apakah wanita hamil mengalami haid atau tidak. Pendapat yang benar dari dua pendapat tersebut adalah bahwa wanita hamil tidak mengalami haid selama masa kehamilannya. Hal ini karena Allah menjadikan salah satu bentuk idah bagi wanita yang dicerai adalah tiga kali haid, agar jelas bahwa rahimnya kosong dari kehamilan. Seandainya wanita hamil tetap mengalami haid, maka tidaklah tepat menjadikan haid sebagai idah untuk memastikan kekosongan rahim.
55. Masa maksimal nifas menurut pendapat mayoritas ulama adalah 40 hari. Hukum berhubungan badan dengan wanita nifas sementara darah masih keluar adalah haram, sama seperti hukum berhubungan dengan wanita haid. Barang siapa yang melakukannya, maka ia wajib memohon ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya. Selain itu, ia juga dianjurkan untuk bersedekah dengan satu dinar (4,25 gram emas) atau setengahnya sebagai kafarat atas perbuatan tersebut, dan diberikan kepada fakir miskin.
56. Darah yang keluar setelah 40 hari tidak lagi dianggap sebagai darah nifas, melainkan darah istihadah. Karena itu, setelah 40 hari seorang wanita wajib mandi (janabah), lalu ia boleh melaksanakan salat, berpuasa, dan cukup berwudu untuk setiap salat.
57. Apabila seorang perempuan yang sedang nifas telah melihat tanda suci sebelum genap empat puluh hari, maka ia wajib mandi, kemudian ia boleh melaksanakan salat, berpuasa, dan halal bagi suaminya untuk berhubungan dengannya.
58. Apabila seorang perempuan mengalami keguguran dalam bentuk segumpal darah atau segumpal daging yang belum tampak padanya bentuk manusia, maka tidak berlaku hukum nifas atasnya. Darah yang keluar sebelum maupun sesudah keguguran tersebut dianggap sebagai darah fasad (darah penyakit). Dalam keadaan itu, ia tetap wajib berpuasa dan salat, dengan ketentuan berwudu untuk setiap kali salat serta menjaga kebersihan dengan kapas atau sejenisnya.
Namun, apabila yang gugur telah jelas tampak bentuk manusia, maka hukumnya sama dengan wanita nifas.
59. Apabila seorang perempuan mengalami keguguran pada bulan keempat dalam keadaan janin telah tampak bentuk manusia, maka darah yang keluar darinya dianggap sebagai darah nifas. Karena itu, ia tidak boleh salat, berpuasa, dan suaminya pun tidak boleh menggaulinya hingga ia kembali suci.
Adapun jika keguguran terjadi pada tiga bulan pertama, maka darah yang keluar bukan darah nifas. Dengan demikian, ia tetap wajib salat, berpuasa, dan suaminya boleh menggaulinya selama janin yang gugur itu belum tampak bentuk manusia.