Wahai Sejarah, Kami Telah Kembali!
Di sebuah museum yang bernama “Musee de l’Homme” yang terletak di sudut salah satu kota paling nista sedunia yaitu kota Paris, terpajang sebuah tengkorak tak bersalah, demi sebuah pengabadian Sejarah kejayaan Prancis tatkala mewujudkan misi penjajahan dan penyebaran aqidah Protestan di kalangan umat Islam Mesir dan Afrika Utara. Tragisnya, di bawah tengkorak sang Pahlawan muslim tersebut terpampang sebuah tulisan berbahasa Prancis “Criminel” yang berarti “Penjahat”. Ya, tengkorak sang Pahlawan muda Islam; Sulaiman al-Halaby rahimahullah yang memimpin salah satu gerakan perlawanan al-Azhar terhadap si Diktator dan Penjahat Perang Napoleon Bonaparte di Mesir. [1]
Di tempat lain, di sisa wilayah peninggalan kerajaan Majusi Persia, tepatnya di kota khurafat bernama Kasyan, ada sebuah kuburan menjulang tinggi lengkap dengan kubah dan hiasan kaligrafi modern yang dijadikan sebagai ikon kedengkian sekaligus pengabadian akan salah satu kriminal terbesar sepanjang sejarah Islam. Di bawah kubah kuburan ”Pahlawan Majusi” ini terpahat dengan gagahnya sebuah nama “Baba Syuja’uddin Abu Lu’lu’ah Fairuz” pembunuh Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu. Yang lebih mengenaskan, kuburan si durjana ini malah dijadikan oleh Kaum Syiah sebagai tempat ngalap berkah, syirik, tawasul, dan pelampiasan ragam laknat, cacian dan kedengkian terhadap Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu, Khalifah yang meluluh lantahkan kerajaan nenek moyang mereka, Majusi Persia. [2]
Kita beralih ke negeri kita. Siapa yang tidak kenal dengan nama Kapitan Pattimura, yang dijadikan kebanggaan semu tersendiri oleh Gereja Kristen Indonesia (GKI) sebagai salah satu Pahlawan Kristen dengan nama asli tapi palsu, Thomas Mattulessy. Tragisnya, atas nama Sejarah Kemerdekaan Indonesia (SKI), pemerintah Indonesia begitu tega mengajarkan kepalsuan ini kepada seluruh anak Indonesia demi membuktikan dan mengabadikan andil Kaum Kristen dalam membela NKRI dari para penjajah. Terlepas dari kepalsuan tuduhan Kristen yang disematkan pada pahlawan muslim dengan nama Islam “Ahmad Lussy” ini, namun kepalsuan sejarah ini terlanjur menjadi sebuah kenangan abadi kaum Kristen Indonesia. Tak tanggung-tanggung foto beliau pun dipajang atau lebih tepatnya diabadikan dalam salah satu uang kertas termurah, Rp, 1.000,-, semuanya demi sebuah pengabadian sejarah. [3]
Tiga contoh dari ribuan contoh ini menggambarkan betapa tingginya semangat mereka untuk mengabadikan sejarah umat dan bangsa mereka walaupun dengan cara yang keji, murahan, nista, dan tak tahu malu. Juga menunjukkan begitu tamaknya mereka terhadap setiap momen yang bisa membuat besar kepala dan nama mereka secara bersamaan. Namun, Islam yang hakiki sangat jauh berbeda dengan umat yang tersebut di atas.
Umat Islam adalah umat yang tetap mulia lagi abadi sepanjang zaman, meski tak ada tengkorak “Yazdajraj Kisra Persia” atau ”Abdullah bin Saba” yang diabadikan di salah satu museum Kota Madinah, atau gambar Umar radhiyallahu ‘anhu yang dipajang di uang kertas murahan, ataupun kuburan Pahlawan Islam yang dijadikan tempat kesyirikan. Kendati kadang harus merasakan kelemahan di zaman atau tempat tertentu, namun umat ini tak akan pernah mati dan sirna, selama al-Quran dan sunnah masih terpatri dalam hati dan dada sekelompok dari mereka, tentunya sesuai dengan pemahaman salaf umat ini. Bahkan sejarah peradaban manusia membuktikan bahwa umat Islam adalah satu-satunya umat yang tetap abadi walaupun harus diperangi oleh seluruh umat, negara, kerajaan dan imperium/kekaisaran yang ada di muka bumi ini, dimulai dari kerajaan Majusi Persia, kekaisaran Romawi Barat dan Timur, koalisi negara-negara Salib/Barat, Uni Soviet, kekaisaran Mongolia (Tatar), kerajaan Habsyah, dll hingga Irannya al-Khumaini (ash-Shofawiyah) yang berdiri di atas jejak Kisra Persia. Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang disampaikan oleh Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةً بِأَمْرِ اللهِ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَالَفَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ عَلَى النَّاسِ
“Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang menjalankan perintah Allah. Mereka tak peduli akan orang-orang yang merendahkan dan menentang mereka, hingga datang keputusan Allah dan mereka lebih unggul daripada yang lainnya.”[4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam mengomentari hadits ini dan juga hadits “keasingan Islam” berkata, “Beginilah beliau -yang jujur lagi dibenarkan sabdanya- menyatakan bahwa sekelompok umatnya akan terus mulia dan berjaya di atas kebenaran, orang yang menyelisihi dan merendahkan mereka tak akan bisa memberikan mereka mudarat. Keberadaan Islam secara terus menerus dalam keadaan asing lagi rendah di seluruh muka bumi ini sebelum hari kiamat tidak akan pernah terjadi.”[5]
Walaupun umat Islam sejak awal kejayaannya jatuh bangun akibat konspirasi kaum kafir yang selalu berkoalisi dengan ‘kekasih-kekasih’ mereka dari kalangan kaum munafik di setiap zaman, namun kalimat Allah Ta’ala dan syariatNya tetap dijunjung tinggi. Setiap kali satu kekhalifahan runtuh, maka tak berselang lama muncul kekhalifahan lain yang serupa atau yang lebih berjaya darinya.
Akan tetapi, pada tahun 1923 M/1342 H, sekitar 92 atau 94 tahun yang lalu, Musthafa Kemal, yang bergelar palsu “Ataturk; Bapak Revolusi Turki” dengan bangga menghilangkan kekhalifahan Islam Turki Utsmani dan melengserkan Khalifah terakhirnya, Sultan Abdul Hamid II. Setelahnya, kekhalifahan Islam kian tenggelam dalam lautan liberalisme, sekularisme, dan hukum perundang-undangan thaghut. Bahkan negeri-negeri Islam tidak hanya menjadi rebutan atau negeri-negeri jajahan kaum salibis Eropa, namun juga menjadi korban kristenisasi, pembodohan, pemikiran sesat, dan perbudakan. Tentunya keruntuhan Khilafah Utsmaniyah ini tidak terlepas dari ‘jasa baik’ kaum Syiah Shofawiyah kala itu di wilayah Iran dan Afghanistan yang senantiasa merongrong Khilafah Utsmaniyah sedari awal kejayaannya. Setelah lengsernya Khilafah Islam terakhir ini, negeri-negeri Islam kian terlena dengan euforia dan janji-janji para penjajah kaum Salib yang mengklaim akan menyebarkan peradaban dan modernisasi di negeri-negeri jajahan mereka. Klaim ini persis dengan klaim sahabat-sahabat karib mereka kaum munafik dan telah dibantah oleh Allah Ta’ala sendiri dalam firmanNya:
وَ إِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُوْا فِي الْأَرْضِ قَالُوْا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ(11) أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُوْنَ وَ لَكِنْ لاَّ يَشْعُرُوْنَ(12)
“Dan jika dikatakan kepada mereka, ’Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi’, mereka hanya menjawab, ’Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang melakukan perbaikan’. Ingatlah, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang membuat kerusakan, akan tetapi mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah 11-12).
Terkecuali, daerah kecil lagi terpencil di pusat Jazirah Arab peninggalan Syekh Pembaharu Muhammad bin Abdul Wahab dan Raja Muhammad bin Su’ud rahimahumallah, yaitu Kerajaan Arab Saudi. Walaupun negeri ini juga kondisinya jatuh bangun, namun akhirnya bisa eksis dengan menjadikan al-Quran dan sunnah sebagai dasar hukum dalam banyak undang-undangnya. Namun ia hanyalah suatu negara, bukan sistem khilafah yang bisa menyatukan umat Islam di bawah pemerintahan dan gerakan yang terpusat.
Fenomena ini adalah satu-satunya problem yang terjadi dalam peradaban umat Islam sejak Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, di mana kekhalifahan yang dinanti tak kunjung tiba hingga akan memasuki masa satu abad lamanya. Negeri-negeri Islam pun lupa dengan hukum dan undang-undang langit yang termaktub dalam kitab al-Quran dan sunnah suci Nabi mereka, lalu menggantinya dengan hukum thaghut yang berbeda-beda warnanya; ada undang-undang Prancis, Inggris, Belanda, Spanyol, hingga Uni Soviet. Bahkan yang tak kalah serunya, sebagian pemerintah negeri-negeri Islam ini pun ikut-ikutan memerangi semua yang berbau Islam, mengharamkan banyak kurikulum Islami dari departemen pendidikan dan sekolah-sekolahnya.[6]
Walaupun kita tidak menafikan adanya Thaifah Manshurah ‘golongan yang tertolong’ yang disebutkan dalam hadits di atas, namun kondisi dan keadaan mereka sangatlah memprihatinkan. Sampai-sampai di banyak negeri Islam sendiri mereka tak bisa menegakkan agama Islam dengan segala syiarnya, atau bahkan rukun Islam sekalipun, shalat dan zakat dilarang untuk ditegakkan, dan tidak sedikit dari mereka dijerumuskan ke dalam penjara negeri Islam hanya karena memperjuangkan Islam sendiri.
Sungguh, di abad ini, kebanyakan dari umat yang berjumlah lebih dari satu miliar ini masih terlena dalam tidur panjang, atau sebutlah dalam ‘belenggu jahiliah’ hingga melupakan atau masa bodoh terhadap adanya risalah samawi yang mesti mereka jadikan petunjuk, dan disebarkan ke seluruh umat manusia.[7]
Namun, dengan bergulirnya waktu, kebangkitan Islam itu kini semakin tumbuh, muncul di tengah-tengah negeri dan masyarakat yang masih mendengkur dalam gelapnya malam yang panjang. Cahaya kebangkitan itu kini mulai bersinar walaupun tak seterang harapan dan cita-cita yang diinginkan. Yang lebih menggembirakan, suara kebangkitan ini serentak menggema tidak hanya dari negeri umat Islam, namun juga dari negeri-negeri non Islam. Generasi muda tidak hanya semata semangat menuntut ilmu, atau semangat menampakkan syiar-syiar Islam di berbagai negara, namun lebih daripada itu, semangat dakwah dan perjuangan Shahwah Islamiyah mereka kian menggema di seluruh dunia. Sedikit demi sedikit identitas umat ini kembali pulih. Sehingga tak sedikit kita mendapati generasi muda umat ini dengan seluruh ulamanya semakin giat menyampaikan risalah yang selama ini terlupakan di tengah-tengah masyarakat Islam, yaitu risalah yang dikhususkan oleh Allah untuk umat Islam sendiri:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran: 104).
Sungguh, hidupnya kembali risalah suci ini menunjukkan masa depan kebangkitan Islam yang cerah. Sebab dakwah Islamiah adalah identitas umat yang akan selalu berjaya dan sebagai titik balik menjamurnya kaum yang mendapat pertolongan Allah Ta’ala. Oleh karenanya, orang tua dan para pemuda umat ini yang kini ada dalam medan dakwah dan jihad, atau yang bergelut dengan kesibukan ilmu apapun jenisnya, selama tujuan dan niatnya adalah untuk menyongsong kebangkitan ini, dan turut andil dalam menyampaikan manhaj rabbani dan risalah samawi ini ke seluruh umat manusia, maka merekalah generasi emas yang dinantikan oleh sejarah umat manusia.
Islam akan terus menuju arah kebangkitan dan kejayaan, maka mari kita turut bergabung dalam kafilah ilmu dan dakwah. Bukanlah Islam yang membutuhkan kita, namun diri kitalah yang membutuhkan Islam dan kejayaannya. Islam akan tetap ada dan menguasai dunia peradaban, dengan dan tanpa keikutsertaan kita. Saatnya kita kembali kepada al-Quran dan sunnah, sebab keduanya merupakan pedoman dan keabadian umat Islam, tak seperti pengabadian tengkorak Sulaiman Al-Halabi, atau kuburan palsu Abu Lu’luah ataupun gambar Kapitan Pattimura di uang kertas murahan demi membuktikan kejayaan umat mereka.
Mari kita segera bergabung, dan katakanlah pada sejarah, “Kami telah Kembali!!”
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali ‘Imran: 133).
Quote:
Cahaya kebangkitan itu kini mulai bersinar walaupun tak seterang harapan dan cita-cita yang diinginkan. Serentak terpancar tidak hanya dari negeri umat Islam, namun juga dari negeri-negeri non Islam.
[1]. Lihat kitab : Mi-ah min ‘Udzhamaa-I Ummatil-Islam (hal.65).
[2].Baca link berbahasa arab : http://alburhan.com/main/articles.aspx?article_no=4865#.VLVjzrH_3IU
[3].Baca link : http://mediaumat.com/sosok/5168-116-kapitan-pattimura-korban-deIslami-sejarah.html
[4].HR Muslim )1037).
[5].Majmu’ Fatawa : 18/296
[6].Lihat : Mi-ah min ‘Udzhoma-I Ummatil-Islam : hal.448-449.
[7].Lihat Kitab : Ath-Thoriq Min Huna (hal.78).