Akidah

Menyembelih Sembelihan dalam Perspektif Akidah dan Fikih

Menyembelih Sembelihan dalam Perspektif Akidah dan Fikih

Oleh: Salahuddin Guntung, Lc. M.A.

Dalam Alquran terdapat perintah menyembelih sembelihan karena Allah. Di dalam Alquran dan hadis perintah menyembelih disebut dengan kata nahar, nusuk, dzabh. Perintah tersebut umumnya diparalelkan dengan perintah menegakkan salat, antara lain disebutkan dalam firman Allah:

“Maka dirikanlah salat untuk Rabbmu, dan sembelihlah kurban (untuk-Nya).” (QS. Al-Kautsar: 2).

Juga dalam firman Allah:

“Katakanlah, bahwa sesungguhnya salatku, penyembelihanku, hidupku dan matiku hanya semata-mata untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al-An’am: 162-163).

Pada surat Al-Kautsar menyembelih diungkapkan dengan kata nahar, sedang dalam surat Al-An’am digunakan kata nusuk. Sekalipun dari segi bahasa masing-masing memiliki makna tersendiri tetapi keduanya berkonotasi menyembelih sembelihan.

Pada kedua ayat tersebut, perintah menyembelih sembelihan diparalelkan dengan salat. Karenanya ulama memandang bahwa sebagaimana salat merupakan ibadah jasmani yang sangat agung maka demikian pula menyembelih sembelihan merupakan ibadah yang agung juga.

 Terwujud atau tidak terwujudnya tauhid dalam menyembelih hewan sangat ditentukan oleh bacaan yang dibaca saat menyembelih dan maksud yang dituju dari satu penyembelihan. Karenanya kedua faktor ini sangat urgen dalam ketentuan syariat Islam.

Dalam perspektif fikih pun, halal atau tidaknya satu sembelihan dikonsumsi sangat ditentukan oleh kedua faktor tersebut. Dalam perspektif ini, sembelihan yang disembelih dengan bacaan bismillah menjadi halal, sedang sembelihan yang disembelih dengan nama selain nama Allah atau tanpa bismillah menjadi tidak halal.

Faktor bacaan dalam ketentuan ini telah diatur oleh Allah dalam firman-Nya:

{فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ}

Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya. (QS. Al-An’am: 118).

Juga dalam firman-Nya:

{إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ} [البقرة: 173]

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” QS. Al-Baqarah: 173).

Dan dalam firman-Nya yang artinya:

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-Maidah: 3 dan An-Nahl: 115).

Sedang faktor maksud yang dituju dari suatu sembelihan, diatur dalam bentuk larangan menyembelih binatang kepada selain Allah dan dijelaskan bahwa hal tersebut berimplikasi laknat kepada pelakunya. Ketentuan ini, antara lain disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam:

«لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ الْمَنَارَ»

Baca Juga  Contoh Syirik Kecil

“Allah melaknat orang-orang yang menyembelih binatang bukan karena Allah, Allah melaknat orang-orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang-orang yang melindungi orang yang berbuat kejahatan, dan Allah melaknat orang-orang yang mengubah tanda batas tanah.” (HR. Muslim no. 1978).

Sembelihan dalam perspektif fikih:

Dalam perspektif fikih, hewan atau sembelihan yang disembelih tanpa bismillah atau disembelih dengan nama selain nama Allah hukumnya seperti bangkai yang haram untuk dikonsumsi.

Dalam menjelaskan hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam di atas, Imam An-Nawawi menegaskan:

 Adapun menyembelih kepada selain Allah, maka yang dimaksud adalah seseorang menyembelih dengan nama selain Allah, seperti seseorang yang menyembelih dengan nama berhala atau salib atau Nabi Musa atau Nabi Isa atau kakbah atau yang semisalnya. Maka ini seluruhnya adalah haram dan sembelihan ini tidaklah halal, baik yang menyembelih seorang muslim, Nasrani ataupun Yahudi, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam As-Syafi’i dan disepakati oleh para ulama Syafi’iyyah.

 Jika ternyata dalam penyembelihan dengan nama selain nama Allah itu juga terdapat maksud pengagungan kepada selain Allah ditujukan sembelihan tersebut dan bermaksud beribadah kepadanya maka ini merupakan kekufuran. Dan penyembelihnya jika ia seorang muslim maka ia telah murtad dengan penyembelihan tersebut” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim: 13/141).

Dengan redaksi yang berbeda, Imam Al-Munawi dalam kitab Faidh al-Qadir juga menjelaskan dengan makna yang serupa. (lihat: Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shagir: 5/275).

Pandangan Imam As-Syafi’i dan ulama Syafi’iyah yang diisyaratkan Imam An-Nawawi tersebut mempertegas pentingnya memperhatikan faktor bacaan yang dibaca saat menyembelih dan faktor maksud yang dituju dengan suatu sembelihan. Dalam penjelasan tersebut, Imam An-Nawawi memandang bahwa peta penyembelihan kepada selain Allah tidak lepas dari salah satu dari dua kemungkinan;

Pertama: penyembelihan ditujukan kepada selain Allah sebagai takarub kepadanya. Hal ini ditegaskan oleh beliau sebagai bentuk syirik, dan jika pelakunya seorang muslim maka ia murtad dari Islam.

Kedua: penyembelihan dengan menyebut nama selain nama Allah, tanpa maksud takarub dan ibadah kepadanya, maka perbuatan ini haram dan sembelihan tersebut tidak halal dikonsumsi. Hukum ini berdasarkan pendapat Imam As-Syafi’i dan kesepakatan ulama Syafi’iyyah tanpa memandang agama penyembelih dan nama siapa yang disebut selain nama Allah. (lihat: Juhud al-Syafi’iyyah fie Taqrir Tauhid al-Ibadah, Dr. Abdullah Al-Anqari, hal. 475)

Sembelihan dalam perspektif akidah:

Baca Juga  Merawat Persatuan Ummat

Dalam perspektif akidah, faktor nama yang dibaca dalam menyembelih dipandang sebagai bentuk isti’anah (memohon bantuan) dan tabaruk(mencari berkah) melalui nama tersebut. Huruf “bi” pada bismillah, bermakna “dengan” sehingga bismillah berarti dengan nama Allah. Dengan demikian bacaan bismillah berarti dengan bantuan nama Allah, atau dengan bantuan Allah yang memiliki asmaul husna aku menyembelih hewan atau sembelihan ini. Maka jika nama yang dibaca atau disebut dalam bacaan tersebut adalah nama Allah maka itu adalah wujud ketauhidan yaitu tauhid rububiyyah. Karena ‘aun (bantuan) yang diminta yang dikenal dengan istilah isti’anah merupakan bagian dari rububiyyah Allah yang tiada sekutu baginya. Sebaliknya jika nama yang dibaca atau disebut saat menyembelih, seperti menyebut berhala, Nabi Isa, Nabi Musa, wali tertentu dan semacamnya dengan mengatakan: dengan nama berhala, atau dengan nama Isa, atau dengan nama Musa, atau dengan nama wali fulan maka dalam pandangan akidah hal tersebut termasuk isti’anah yang terlarang karena merupakan bentuk kesyirikan, yaitu syirik rububiyyah.

Faktor maksud yang dituju dengan sembelihan juga sangat menentukan terwujud atau tidaknya tauhid seseorang. Maksud yang dituju oleh seseorang dalam menyembelih sembelihan merupakan bagian dari tauhid ibadah yang biasa disebut dengan tauhid al-qashdu wa al-thalab atau tauhid uluhiyyah. Maka orang yang menujukan sembelihannya kepada Allah dipandang telah mewujudkan tauhid uluhiyyah atau tauhid ibadah dalam hal ini. Dan jika hal tersebut disertai dengan bacaan bismillah saat menyembelih sembelihannya, maka ia telah mewujudkan kedua tauhid tersebut yaitu tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah dalam menyembelih. Sebaliknya, jika ia menujukan sembelihannya kepada selain Allah maka ia telah melakukan syirik besar dalam uluhiyyah Allah. Meskipun saat menyembelih ia membaca bismillah atau menyebut nama Allah, karena hanya mewujudkan tauhid rububiyyah dan tidak mewujudkan tauhid uluhiyyah.

Dalam penjelasan Imam An-Nawawi yang dinukil di atas, dengan tegas beliau memandang bahwa menujukan sembelihan kepada selain Allah dalam rangka pengagungan dan ibadah kepadanya adalah bentuk kekufuran dan jika pelakunya seorang muslim maka ia murtad dari Islam.

Baca Juga  Al Aqsha dalam Perspektif Syi'ah

Dengan menyorot kedua faktor ini, yaitu faktor bacaan dan tujuan yang dituju dalam menyembelih sembelihan, maka dalam perspektif akidah kemungkinannya tidak lepas dari empat kondisi, yaitu:

Pertama, menyembelih dengan menyebut nama Allah (membaca bismillah) dan niat sembelihannya ditujukan kepada Allah maka terwujud di dalamnya tauhid yang sempurna, yaitu tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah. Penyembelihan ini termasuk ibadah yang agung. Masuk di dalamnya sembelihan udhiyah, akikah dan hadyu dalam ibadah haji.

Kedua, menyembelih dengan menyebut nama Allah (membaca bismillah) dan niat sembelihannya ditujukan kepada selain Allah, maka ini adalah syirik uluhiyyah atau syirik ibadah meskipun terwujud di dalamnya tauhid rububiyyah dalam bentuk isti’anah pada bacaan bismillah. Hal ini biasanya terjadi pada sembelihan yang dijadikan sebagai sesajen atau sebagai tolak bala dan semacamnya.

Ketiga, menyembelih dengan menyebut nama selain nama Allah dan niat sembelihannya ditujukan kepada selain Allah, maka ini adalah syirik besar dalam uluhiyyah dan dalam rububiyyah.

Keempat, menyembelih dengan menyebut nama selain nama Allah dan niat sembelihannya ditujukan kepada Allah, maka ini adalah syirik dalam rububiyyah Allah. (lihat: Al-Tamhid li Syarh Kitab al-Tauhid, Shaleh Alu Syaikh, hal. 139)

Keempat kondisi dalam perspektif akidah ini, frekuensi nyatanya di masyarakat muslim tentu beragam, kondisi pertama tentu adalah kondisi ideal dan realitasnya di masyarakat muslim juga tampaknya tetap menempati frekuensi tertinggi. Sedang kondisi keempat tampaknya jarang terjadi atau bahkan mungkin tidak terjadi kecuali dalam keadaan tertentu. Sedang kondisi kedua dan ketiga, meski mungkin tidak sesering kondisi pertama tetapi sangat disayangkan jika terjadi di masyarakat muslim. Karena apa pun bentuk syirik yang dilakukan seseorang maka hal tersebut merugikan dan membahayakan diri sendiri dan masyarakatnya.

Perlu dipahami bahwa dalam perspektif fikih, suatu sembelihan tidak diharuskan ditujukan kepada Allah sebagai bentuk ibadah kepada-Nya, selama niat yang dituju tidak dimaksudkan sebagai ibadah, pengagungan dan takarub kepada selain Allah. Sembelihan yang tidak diniatkan dan ditujukan sebagai takarub kepada Allah dan tidak diniatkan atau ditujukan sebagai ibadah, pengagungan dan sebagai takarub kepada selain Allah tetap halal dikonsumsi dengan syarat bacaan bismillah dibaca saat disembelih oleh penyembelih muslim. Karenanya sembelihan yang disembelih untuk dikonsumsi atau untuk bisnis tanpa diniatkan sebagai ibadah kepada Allah tetap halal selama bismillah dibaca saat disembelih.

Salahuddin Guntung, Lc., MA., Ph.D.

Alumni S3, Bidang Aqidah & Pemikiran Kontemporer, King Saud University, Riyadh, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?