Wahai Muslimah, Berdakwahlah (Bag. 1)
Muqoddimah
Secara prinsip, tugas dan beban seorang muslim dan muslimah adalah sama, tanggung jawab Syar’i yang diemban seorang muslim berlaku pula bagi muslimah, kecuali jika terdapat dalil yang mengkhususkan amaliyah tertentu bagi jenis kelamin tertentu.
Allah berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Nahl: 97)
Al-‘allamah Ibnu ‘Asyur mengatakatan: ”Dalam ayat ini terkandung penjelasan tentang keumuman hukum-hukum islam bagi laki-laki dan wanita, kecuali (hukum-hukum) yang dikhususkan oleh agama bagi salah satu pihak”.[1]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
Artinya: ”sesungguhnya wanita saudara kandung dari laki-laki”.[2]
Al-Khattobi rahimahullah mengomentari hadits di atas dengan mengatakan:
وفيه من الفقه إثبات القياس وإلحاق حكم النظير بالنظير فإن الخطاب إذا ورد بلفظ المذكر كان خطابا للنساء إلا مواضع الخصوص التي قامت أدلة التخصيص فيها
“Faedah (dari hadits) adalah berlakunya qiyas (dalam menetapkan hukum), dan (bolehnya) menetapkan hukum sesuatu dengan sesuatu yang serupa, sesungguhnya perintah jika datang dengan lafadz mudzakkar (lafadz yang menunjukkan laki-laki) maka berlaku pula untuk wanita, kecuali beberapa hukum tertentu yang dikhususkan dalil”.[3]
Tentunya, mengkhususkan hukum tertentu bagi salah satu jenis kelamin bukan bagian dari diskriminasi, namun hal tersebut disebabkan oleh:
- Salah satu Nama Allah adalah Al-Hakim (yang maha bijaksana), dan nama ini menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat hikmah (bijaksana), di antara konsekuensi dari sifat ini adalah Allah mensyariatkan hukum dengan kebijaksanaanNya, sehingga mengkhususkan hukum tertentu bagi laki-laki dan wanita sesuai dengan kodrat penciptaan dan keadaannya.
- Persentase hukum yang dikhususkan bagi laki-laki atau perempuan sangat sedikit dibandingkan dengan yang disamakan. Maka sesuatu yang sedikit tidak ada hukumnya.
النادر لا حكم له
Artinya: “sesuatu yang sedikit, tidak ada hukumnya”.
HUKUM BERDAKWAH BAGI MUSLIMAH:
Dari pemaparan di atas, maka jelaslah hukum berdakwah bagi muslimah sama dengan hukum dakwah bagi seorang muslim.
Perlu diketahui, bahwa para ulama kita berbeda pendapat terkait hukum berdakwah dalam islam, namun yang jelas berdakwah sangat dianjurkan dan disyariatkan dalam agama islam, adapun dalilnya maka sebagai berikut:
Dalil dari Al-Qur’an:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Artinya: ”kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia, (kalian) memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari keburukan serta beriman kepada Allah”.[ QS Ali Imran 110].
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: ”Dan jadilah kalian umat yang menyeru kepada kebaikan,menyuruh kepada yang yang baik dan melarang kepada yang mungkar, dan mereka adalah orang-orang yang beruntung”.[QS Ali Imran 104].
Dua ayat di atas mewakili ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang disyariatkannya dakwah, ayat pertama menjelaskan tentang sifat-sifat khoiru ummah (umat terbaik) di antaranya adalah menyeru kepada yang haq dan melarang umat untuk terjatuh dalam kebatilan, meskipun redaksi ayat “hanya” informasi (khobar), namun ia mengandung perintah (insya’).[4]
Adapun ayat yang kedua mengandung perintah untuk berdakwah, ayat ini dimulai dengan Lam Lil Amr (lam untuk perintah), maka sangatlah kuat “aroma” perintah di dalamnya, dan kalimat perintah secara prinsip bermakna wajib.
Adapun dalil dari Hadits, sabda Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wasallam-:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
Artinya: ”(kalian) Sampaikanlah (kepada ummat) dariku meskipun satu ayat”.[5]
Dan sabda Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wasallam-:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
Artinya: ”Barang siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaan), jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika ia tidak mampu, maka hendaknya ia mengubahnya dengan lisannya, dan (hal) ini adalah selemah-lemahnya iman”.[6]
Redaksi dari dua hadits diatas adalah perintah, metode yang dipakai adalah Fi’l Amr (kata kerja perintah], dan metode ini adalah salah satu cara yang paling kuat dalam perintah.
inilah ayat dan hadits yang menjadi dasar disyariatkannya dakwah bagi seorang muslim, kendati hanya 4 dalil saja, namun redaksi dalil tersebut memiliki “aroma” yang kuat akan kewajiban berdakwah di jalan Allah –subhanahu wa ta’ala-, meskipun terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama kita tentang jenis “wajib” tersebut, sebagian dari mereka berpendapat wajib ‘ain, dan yang lainnya berpendapat wajib kifayah.
Cakupan hukum yang dikandung oleh ayat dan hadits di atas berlaku untuk semua kaum muslimin, baik laki-laki maupun wanita.
Ringkasnya, wanita memiliki peluang untuk berdakwah di jalan Allah, meskipun medan dakwah dan batasan-batasan berbeda dengan laki-laki,bagi wanita ada peluang untuk berdakwah di rumahnya dan keluarganya baik suami ataupun mahram-mahramnya, laki-laki maupun wanita. Dan baginya (wanita) ada peluang (juga) untuk berdakwah diluar rumahnya untuk para wanita, dengan syarat ia tidak melakukan safar (perjalanan) tanpa mahram, dan tidak dikhawatirkan fitnah, dan (dakwah tersebut) atas izin suaminya jika ia telah menikah dan adanya kebutuhan (bagi wanita) berdakwah, dan tidak berakibat terbengkalainya urusan pokoknya (wanita), yaitu hak-hak keluarganya”.[7]
Wallahu A’lam bis shawab.
___________________________________
[1] . Lihat tafsir at-Tahrir wat Tanwir, karya Ibnu ‘Asyur juz 8 hal: 200, versi Maktabah Syamilah
[2] . Diriwayatkan Abu Dawud, Tirmidzi dan Imam Ahmad, dan dinyatakan Shohih oleh syaikh Albani
[3] . Lihat di kitab Aunul Ma’bud syarh Sunan Abi Dawud, juz 1 hal. 275 versi Maktabah Syamilah.
[4]. Dalam ilmu ushulul fiqh ada pembahasan tentang khobar (informasi) dan Insya’ (informasi yang mengandung perintah, contohnya yang terkandung dalam firman Allah:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya:”Dan wanita yang telah bercerai menunggu tiga kali suci dari haidh (sebelum ia menikah lagi)”.[al-Baqoroh 228].
Ayat diatas adalah informasi bahwa wanita yang telah bercerai menunggu tiga kali suci dari haidh (sebelum ia menikah lagi), namun informasi diatas mengandung perintah yang maknanya: diwajibkan bagi wanita yang telah bercerai untuk menunggu tiga kali suci dari haidh sebelum ia menikah lagi.
[5]. Lihat di Shahih al-Bukhari 8/567, Jami’ at-Tirmidzi 5/40, Musnad Ahmad 11/25.
[6]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim 1/50, Ibnu Majah 2/1330, Imam Ahmad 17/127.
[7]. Fatwa Lajnah Daimah 12/249-250, ini juga yang difatwakan Syaikh Muhammad Shalih Al- Munajjid
http://islamqa.info/ar/10210