Urgensi Dan Efisiensi Waktu
Jika kita membuka lembaran-lembaran mushaf Al-Qur’an, maka akan didapati beberapa surat yang Allah ta’ala mengawalinya dengan qasam bilwalqt (bersumpah dengan waktu), hal ini menunjukkan urgensi dan keagungan waktu. Di antaranya firman Allah ta’ala : {وَٱلۡعَصۡرِ ١} “Demi masa,” dan {وَٱلَّيۡلِ إِذَا يَغۡشَىٰ ١} “demi waktu malam apabila menutupi (cahaya siang)”, dan {وَٱلۡفَجۡرِ ١} “demi fajar”, dan ayat-ayat lainnya.
Begitupun Rasulullah ṣallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak sabda dan aktivitasnya menujukkan urgensi waktu dan anjuran untuk menjaga serta mengefisienkannya. Dari Abu Barzah Al-Aslami, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ
Artinya: “Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (H.R. Tirmiżi [2417]. Syaikh Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Abdullah bin Umar raḍiallahu anhu berkata:
اِذَا اَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَاِذَا اَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِك
Artinya: “Apabila kamu berada di sore hari, maka janganlah kamu menunggu hingga pagi hari. Apabila kamu berada di pagi hari, maka janganlah menunggu hingga sore hari . Gunakan waktu sehatmu sebelum datang sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum datang ajalmu.” (HR. Bukhari, mu’allaq setelah hadis nomor [6416]).
Banyak sekali ayat maupun hadis yang mengisyaratkan urgensi waktu dan pentingnya efisiensi waktu pada hal-hal yang bermanfaat di dunia dan tambahan pundi-pundi kebaikan sebagai bekal menuju negeri akhirat, baik dengan cara terus memperbaiki diri dan jiwa, memberikan manfaat kepada orang lain ataupun dengan memperbanyak amal kebaikan untuk urusan dunia dan akhirat; dan sebaliknya meninggalkan segala sesuatu yang tak bermanfaat dalam berbagai hal.
Sesungguhnya para ulama dan orang-orang saleh sebelum kita begitu semangat dalam menjaga waktunya agar tak berlalu begitu saja tanpa kebaikan yang terealisasikan.
Diriwayatkan bahwa salah seorang diantara mereka ditanya : ’’Mengapa engkau tidak mengunjungi kami?’’ lalu ia berakata: ‘‘tahanlah matahari’’. (lihat: Ṣaidul Khāṭir, karya Ibnu Jauzi, h. 34).
Waktu Bagaikan Pedang, Jika Engkau Tak Memotongnya Maka Ia yang akan Memotongmu
Hargai nafasmu, watktumu sangat terbatas dan tingkah lakumu selalu tercatat, maka jangan sampai satu hari berlalu tanpa engkau berbekal dengan amal saleh. Kematian akan datang tiba–tiba tanpa pemberitahuan, maka apa yang telah kita persiapkan untuk hari tersebut? Kehidupan ini adalah ladang beramal untuk negeri akhirat.
Ibnu Qayyim raḥimahullāh berkata:
فضياع الوقت أشد من الموت، لأن الموت يقطعك عن الناس، وضياع الوقت يقطعك عن السير إلى الله عز وجل.
Artinya:’’Menyia-nyaiakan waktu lebih parah dari kematian, karena kematian akan memutusmu dari manusia, sedangakn menyia-nyiakan waktu akan memutusmu dari perjalanan menuju Allah azza wa jalla’’. (al-Fawāid, karya Ibnu Qayyim, h. 31).
Waktu kita terbuang dengan banyak bercerita, begadang tanpa faidah, dan interaksi dengan media sosial; lalu kapan kita akan memperbaiki keadaan ini dan membuat waktu kita lebih produktif dan efisien?
Diantara bentuk tanda-tanda taufik dari Allah ta’ala terhadap hamba-Nya yaitu kemudahan untuk memanfaatkan setiap detik umurnya pada amal kebaikan dan adanya waktu rileks dan istirahat dari sebuah aktivitas tertentu ke aktivitas berikutnya. Allah ta’ala berfirman:
﴿وَمِن رَّحْمَتِهِۦ جَعَلَ لَكُمُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا۟ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِهِۦ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ﴾
Artinya: “Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya”. (Q.S. Al-Qaṣaṣ: 73).
Di antara hal yang dapat menjadikan waktu lebih efisien dan bermanfaat adalah:
1. Memulai Aktivitas di Awal Hari
Diantara perhatian Islam terhadap waktu adalah anjuran untuk memulai aktivitas di pagi hari. Hal ini bertujuan agar seorang muslim dapat memulai aktifitasnya dengan penuh semangat, hati yang riang, dan tekad yang kuat lagi sempurna. Dan di samping itu Islam melarang begadang di malam hari agar tak terlambat bangun dan telat menunaikan ibadah salat subuh dan aktivitas-aktivitas positif lainnya.
Dalam sebuah hadis Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam berdoa untuk kita sebagai umatnya dengan doa :
اَللّهُمَّ بَارِكْ ِلأُمَّتِي فِى بُكُوْرِهَا
Artinya : “Ya Allah, berilah berkah untuk umatku di pagi harinya.” (H.R. Abu Daud [2606] dan at-Tirmiżi [1212] dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma).
Kualitas hidup seseorang antara lain dapat terlihat dari kebiasaan sehari-hari yang secara konsisten dilakukannya. Salah satu kebiasaan baik itu adalah bangun pagi. Bahkan bukan hanya bangun pagi, tetapi bangun sepagi mungkin. Orang yang rajin dan malas dapat dibedakan pada waktu tersebut, karena seseorang akan meraih hasil usahanya sesuai dengan kadar persiapannya dalam urusan dunia dan akhirat. Dan kebiasaan ini akan sangat berpengaruh positif terhadap aktivitas harian seorang muslim dan efisiensi dalam memanfaatkan waktunya.
2. Mengatur Waktu dan Skala Prioritas
Seyogyanya setiap muslim mengatur waktu dan skala prioritas dalam segala aktivitas yang ia lakukan, baik itu aktivitas yang sifatnya wajib maupun aktivitas-aktivitas lain dalam urusan agama ataupun dunia, sehingga mampu mengedepankan yang wajib dari yang non wajib,yang terpenting dari yang penting sampai pada hal yang tidak penting, yang terjadwal dari yang tak terjadwal, aktivitas yang sifatnya harus dilalukan segera dari aktivitas yang bisa ditunda penyelesainnya dan seterusnya.
Hal yang sangat membantu dalam masalah ini adalah membuat jadwal harian yang menjadi pedoman aktivitas dalam sehari sesuai dengan keadaannya. Di dalam jadwal harian hendaklah kita memberikan waktu khusus yang cukup untuk membaca Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah pedoman hidup kita dalam beraktivitas.
Setiap muslim seharusnya pandai dalam mengatur waktuya, sebagimana yang teah dicontohkan oleh para salaf dan orang-orang besar sebelum kita. Namun, Orang yang sangat membutuhkan pengaturan waktu adalah mereka yang memiliki banyak tanggungjawab, sehingga terkadang mereka merasa bahwa kewajiban lebih banyak dari waktu yang tersedia.
Diantara bagian dari pengaturan waktu yang tak boleh terlupakan adalah adanya waktu yang disisihkan untuk istirahat yang cukup dan merilekskan jiwa, karna jiwa juga bosan dan lelah dengan banyaknya aktivitas sebagimana badan.
Diriwayatkan dari Musa bin Ismail raḥimahullah beliau berkata: ‘‘ Kalau engkau mengatakan: bahwasanya saya tak pernah melihat Hammad bin Salamah tertawa, maka engkau benar, dia sangat sibuk sekali, entah sibuk dengan membacakan hadis, atau membaca, atau bertasbih, ataukah dengan salat; Ia telah membagi waktu siangnya pada hal-hal tersebut.’’ (Imam aż-Żahabī menyebutkan kisah tesebut di Siyar A’lām an-Nubalā’ [7/448]).
3. Senantiasa Berzikir di Sela-Sela Aktivitas Kita
Zikir merupakan amalan yang agung dan bermanfaat untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Allah telah memerintahkan kita untuk senantiasa banyak berzikir kepada-Nya yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah dengan menyebut nama Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya.” (Q.S. Al-Ahzāb: 41).
Manusia memiliki kebutuhan yang sangat besar terhadap zikir, kapan pun dan di mana pun. Apabila seorang hamba lalai dari berzikir kepada Allah, maka waktu itu akan menjadi bencana baginya. Dia akan menyesal dengan penyesalan yang besar, baik ketika di dunia maupun di akhirat. Itulah sebabnya agar kita tidak merugi maka hendaklah di sela-sela aktivitas kita diisi dengan berzikir, baik dengan membaca Al-Qur’an, tahlil, istigfar, takbir, tahmid, tasbih atau zikir lainnya yang memungkinkan untuk kita lakukan di sela-sela aktivitas kita.
Dari Abdullaah bin Mas’ūd, ia berkata, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda : “Dunia itu terlaknat, dan terlaknat juga apa-apa yang ada di dalamnya kecuali orang-orang yang berilmu atau orang yang belajar, dan zikrullah juga yang semisalnya.” (Mu’jam Al-Ausaṭ [4048], hadis hasan).
Disebutakn bahwa Syaikh Bin Baz raḥimahullah sangat semangat dalam menjaga waktu, ketika berada di mobil beliau selalu berzikir kepada Allah ta’ala atau memberikan penjelasan (komentar) terhadap buku tertentu yang dibacakan oleh salah seorang muridnya. Demikian pula ketika beliau berada di sebuah majelis ilmu, ia tidak berhenti berzikir kepada Allah, bahkan ketika ada yang bertanya, lalu si penanya berhenti sejenak, maka Syaikh mengisinya dengan berzikir. Dan Ketika azan dikumandangkan beliau menjawab azan meski pun dalam keadaan sangat sibuk. Ini merupakan karunia dan anugerah dari Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. (lihat: Sanābilul Khair, abdul Aziz bin Abdullah aḍ–ḍubī’ī, h. 51).
Selayaknya kita berusaha agar kita tidak menjadi orang yang mudah melalaikan zikir, karena Allah sudah memperingatkan kita tentang bahayanya jika seorang hamba jatuh dalam kelalaian dari berzikir. Allah ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan sebutlah nama Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (Q.S. Al-A’rāf: 205).
4. Jadikan Aktivitas Kita Bernilai Ibadah
Tujuan kita diciptakan adalah ibadah. Namun seorang muslim dalam kehidupannya senantiasa berkisar antara ibadah dan adat (kebiasaan). Adakalanya ia dalam keadaan mengerjakan amal ibadah, dan adakalanya mengerjakan aktivitas adat. Dan telah diketahui bersama bahwa waktu yang kita habiskan untuk mengerjakan aktivitas yang bersifat kebiasan (adat) itu lebih banyak daripada waktu yang kita pergunakan dalam rangka mengerjakan amal ibadah. Demikianlah keadaan kebanyakan orang.
Aktivitas adat (kebiasaan) hukum asalnya mubah, namun akan bernilai ibadah apabila diiringi dengan niat yang baik. Untuk merealisasikan hal itu, seseorang dituntut untuk memunculkan perasaan ta’abbud (peribadatan) di dalam hatinya setiap kali hendak mengerjakan perkara yang mubah tersebut, dan juga ketika mengerjakannya. Jika hal itu dilakukan, maka perkara adat (kebiasaan) tersebut akan berubah dari statusnya sebagai perkara yang mubah menjadi ibadah dan menjadi bagian amal kebaikan baginya. Dan ini merupakan bagian dari efisiensi waktu,
Hal ini berdasarkan salah satu kaidah yang termasuk lima kaidah besar dalam pembahasn fikih yaitu kaidah al-umūru bimaqāṣidihā (setiap amalan tergantung dengan niatnya). Adapun dalil dari kaidah ini di antaranya adalah hadis Umar bin Khattab dari Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: “Sesungguhnya semua amalan itu dikerjakan dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari [1] dan Muslim [1907]).