Untaian Fawaid dari Kitab “Pembeda antara Wali Allah dan Wali Setan” ( 1 )
Segala puji bagi Allah -‘Azza wa Jalla- yang telah mewariskan ilmu para nabi kepada para ulama. Selawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad yang diutus untuk memurnikan tauhid kepada Allah Ta’ala.
Sejak dahulu kala, para ulama selalu berusaha untuk mendakwahkan akidah Islam yang benar kepada masyarakat, baik melalui lisan maupun tulisan. Di antara ulama yang tulisan dan karya-karyanya selalu dibaca dan dijadikan rujukan dalam persoalan akidah hingga hari ini adalah Imam Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Taimiyyah al-Harraniy (w: 728 H), yang lebih dikenal sebagai Ibnu Taimiyyah.
Terdapat banyak karya yang dituliskan oleh Ibnu Taimiyyah dalam berbagai cabang ilmu keislaman yang meliputi ilmu fikih, akidah, tafsir, akhlak, dan lainnya.
Oleh karena itu, saya pun juga cukup tertarik untuk meneguk ilmu yang beliau goreskan dalam karya-karya beliau yang luar biasa. Maka setelah saya membaca beberapa buku beliau secara tuntas, ada banyak faedah yang kiranya akan saya sampaikan kepada para pembaca dari berbagai buku beliau.
Dalam tulisan ini, saya akan menggoreskan untaian fawaid dari kitab beliau “al-Furqan baina Auliya’ ar-Rahman wa Auliya’ asy-Syaithan” yang bisa diterjemahkan dengan judul: Pembeda antara Wali Allah dan Wali Setan.
1. Jika telah diketahui bahwa di antara manusia terdapat wali Allah dan wali syaitan, maka wajib membedakan antara mereka. Wali Allah adalah orang yang bertakwa, Allah Ta’ala berfirman,
اَلَآ اِنَّ اَوْلِيَاۤءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ. اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَۗ
Artinya: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya (bagi) para wali Allah itu tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih. (Mereka adalah) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.” (QS. Yunus [10]: 62-63)
2. Al-Wilayah (kewalian) adalah lawan kata dari al-‘Adawah (permusuhan). Makna asal al-Wilayah adalah cinta dan dekat, sedangkan makna asal dari kata al-‘Adawah (permusuhan) adalah benci dan jauh.
3. Semua hadis yang diriwayatkan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam– tentang jumlah para wali maka tidak satu pun yang sahih.
4. Para filsuf Yunani seperti Aristoteles dan lainnya adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala dan bintang-bintang. Aristoteles hidup pada era 300 tahun sebelum Nabi Isa –‘alaihissalam-, dan merupakan salah seorang menteri dari Aleksander Macedonia, Dia (Aleksander Macedonia) bukanlah Zulqarnain.
5. Manusia memiliki derajat kewalian yang bertingkat-tingkat sesuai dengan iman dan takwa mereka, sebagaimana juga derajat orang-orang yang menjadi musuh Allah berbeda-beda sesuai tingkat kekufuran dan kemunafikan mereka.
6. Seorang nabi yang berstatus rakyat biasa lebih mulia dibandingkan nabi yang sekaligus berstatus seorang raja, sebagaimana Nabi Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad lebih utama dibanding Nabi Yusuf, Daud, dan Sulaiman -‘alaihimussalam-.
7. Orang yang tidak sah keimanan dan ibadahnya meskipun diperkirakan tidak ada dosa baginya seperti anak-anak kaum musyrikin dan orang-orang yang dakwah belum sampai kepada mereka, maka mereka tidaklah menjadi wali Allah karena mereka tidak termasuk orang yang beriman dan bertakwa, Begitu pula orang gila dan anak-anak tidaklah menjadi wali Allah.
8. Para ulama salaf terdahulu menyebutkan istilah al-Qurra’ (ahli al-Quran) untuk para ulama dan ahli ibadah, hingga kemudian muncullah istilah Shufiyyah dan al-Fuqara’ (orang-orang fakir). Asal penamaan Shufiyyah dari kata pakaian ash-Shuf (bulu).
9. Para ulama berbeda pendapat tentang siapakah yang lebih utama, orang kaya yang bersyukur atau miskin yang bersabar? Terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad dalam hal ini. Namun yang benar adalah yang disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (QS. Al-Ḥujurāt [49]:13)
10. Hadis yang diriwayatkan oleh sebagian orang bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda sepulang dari perang tabuk: “Kita telah pulang dari jihad yang lebih kecil menuju kepada jihad yang lebih besar”, tidak ada asalnya sama sekali.
11. Jika seorang wali Allah bisa saja melakukan kesalahan, maka tidak wajib bagi orang-orang untuk beriman dan percaya pada setiap yang dikatakan oleh wali Allah, kecuali para nabi.
12. Engkau mendapati banyak di antara mereka yang menjadikan landasan mereka menganggap seseorang itu wali: jika ia memiliki Kasyf (ketersingkapan hal gaib) terhadap hal-hal tertentu atau bisa melakukan hal-hal di luar kebiasaan, seperti: menunjuk seseorang kemudian dia mati, atau terbang di udara menuju ke Makkah dan selainnya atau berjalan di air… Padahal, tidak satu pun dari hal ini yang menunjukkan bahwa orang tersebut adalah seorang wali.
Bersambung