Ulama Kekinian

Tugas ulama sangat strategis dalam kehidupan masyarakat. Ahli ilmu agama merupakan referensi umat dalam banyak permasalahan kehidupan. Masyarakat menghormati ahli ilmu karena memberikan manfaat yang sangat signifikan. Bahkan kemajuan teknologi dan informasi tetap tidak menggantikan posisi ulama di tengah-tengah umat. Oleh karena itu tidak heran bila Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan:
«… إن العلماء ورثة الأنبياء، إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما، إنما ورثوا العلم، فمن أخذه أخذ بحظ وافر»
“… Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, sungguh para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak” (H.R. Abu Dawud:3641, Tirmidzi:2682, Ibnu Majah: 223)
Nabi diutus membawa kabar gembira dan peringatan. Allah Ta’ala menegaskan: “Dialah (Allah) yang telah mengutus Rasul–Nya dengan petunjuk (Al Quran) dan agama yang benar untuk diunggulkanatas segala agama” (Q.S. At Taubah: 32, Al Fath: 28)
Dan inilah fungsi ulama dalam meneruskan tugas kenabian. Tugas yang sangat mulia, juga amanat yang berat. Maka tidak heran mereka bila menjadi pewaris para Nabi. Allah Ta’ala telah menyampaikan fungsi Rasul yang mesti diikuti para ulama, yaitu: “Dialah (Allah) yang telah mengutus seorang Rasul tengah umat yang tidak bisa membaca Rasul dari kalangan mereka,yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya dan mensucikan jiwa mereka serta mengajarkan Kitab dan hikmah. Meskipun mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata” (Q.S. Al Jumauah: 2)
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi tugas pokok para ulama:
- Membacakan dan menyampaikan ayat-ayat Allah.
- Melakukan pendidikan tazkiyatun-
- Mengajarkan Al Quran dan Sunah dengan benar.
Inilah proses yang harus dilakukan para ulama dan orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka. Ulama memiliki posisi strategis sepanjang masa sebab mereka merupakan penggerak perjuangan di setiap generasi. Ulama juga merupakan panutan umat. Di saat kita masih mengingat nama para ulama seperti Imam Abu Hanifah (150 H), Imam Malik (179 H), Imam Syafii (204 H) dan Imam Ahmad (241 H) rahimahumullah, banyak umat tidak lagi ingat siapa penguasa di zaman mereka.
Orang pasti tahu siapa yang paling menguasai media sejak zaman old sampai zaman now, pasti aparat pemerintahan. Tapi yang namanya masih kekal dan abadi adalah para ulama. Banyak ulama yang tidak memiliki keturunan, bahkan tidak sedikit yang membujang sampai akhir hayatnya. Tapi, namanya masih diabadikan, perkataan mereka masih dijadikan rujukan. Misalnya, Imam Nawawi rahimahullah (676 H), tidak beristri dan berketurunan, tapi hampir semua literatur hukum Islam mutakhir menyebutkan pendapatnya.
Kembali ke realita zaman sekarang, bahwasanya ulama dan kader ulama memilki peran besar dalam kemajuan umat. Dalam setiap bidang ilmu keislamaan membutuhkan ulama yang mumpuni. Selain itu juga memiliki karakteristik membangun, bukan hanya menyesuaikan zaman saja, serta mengikuti selera pasar atau hanya sebagai pemuas panggung gembira karena banyaknya anekdot dan cerita.
Ulama dituntut memberikan solusi permasalahan umat, dituntut menjadi ruh umat, diharapkan mengembalikan kejayaan Islam dan kaum muslimin, sreta dibebani dengan banyak hal penting yang harus segera diperbaiki. Allah mampu untuk mendatangkan jutaan ulama mumpuni dalam bidangnya, tapi Allah juga lebih tahu hikmah dari sedikitnya ulama yang bisa memberikan solusi umat. Allah tegaskan sifat ulama yang berhasil dalam firman-Nya: “Jadilah ulama yang Rabbani (pengabdi Allah) sebagaimana kalian mengajarkan Kitab dan karena kamu mempelajarinya” (Q.S. Ali Imron : 79).
Ulama yang berhasil adalah sosok yang mendidik umatnya. Bukan hanya seberapa hebat mengalir dari lisannya ayat-ayat dan hadis ataupun atsar para ulama. Tapi yang lebih penting adalah efek dari ayat dan hadis yang ia bacakan kepada umat. Maka tidak heran jika ada ulama yang dianggap kurang ilmu namun lebih berpengaruh dalam kehidupan umat karena keikhlasan dan contoh teladan yang ia berikan. Banyak ulama bergelar yang justru dianggap merusak umat, tentu sangat disesalkan. Ulama ideal tentu saja yang bisa menggabungkan intelektualitas dan jiwa dakwah yang tinggi. Ini adalah sifat ulama yang diabadikan oleh Allah: “Dan para ulama yang kuat ilmunya mereka berkata semua adalah dari Tuhan Kami” (Ali Imron: 7).
Mereka tidak mengatakan: “Ilmu mereka adalah hasil jerih payahku menghafal dan belajar dengan keras”. Tapi mengembalikan semuanya pada taufik Allah Ta’ala. Hafal dan faham dengan baik ayat-ayat Allah adalah modal utama seorang ulama. Allah Ta’ala tegaskan: “Sebenarnya, (Al Quran) merupakan ayat-ayat yang jelas yang menghujam dalam diri orang-orang yang diberikan ilmu” (Q.S. Al Ankabut: 49)
Imam Syafii rahimahullah pernah menyampaikan: “Bahwasanya tidak mengikat pendapat seseorang dalam segala kondisi kecuali Kitab Allah (Al-Quran) atau sunah Rasul-Nya, sedangkan selain keduanya hanya mengikuti saja” (Jimaul Ilmi, Syafii :3)
Maka tidak heran banyak kampus yang merekrut para penghafal Al Quran. Karena, orang yang menjaga hafalannya pasti memiliki keuletan dan kekuatan belajar yang seharusnya di atas rata-rata mahasiswa yang lain. Selain keyakinan bahwa Allah pasti akan menolong hambanya yang menjaga kalam-Nya.
Berpengetahuan luas merupakan modal seorang ulama. Mengetahui berbagai macam latar belakang jenis ilmu yang bermanfaat merupakan hal yang sangat urgen. Yang tidak kalah penting adalah memahami dengan baik kaidah-kaidah penting dalam ilmu agama ini. Seperti kaidah ilmu usul fiqh, kaidah fiqh, kaidah maslahat dan kaidah-kaidah penting yang lain dalam ilmu agama ini. Seorang ulama akan cepat merespon dan memberikan solusi ketika ada problem atau pertanyaan umat seputar masalah tertentu. Dengan kaidah-kaidah ini ia akan membangun jawaban dengan ilmu bukan sekedar memuaskan penanya dengan dalil-dalil yang banyak.
Tanggap akan realita di zamannya adalah sifat yang harus terpelihara dalam jiwa ulama. Jangan sampai ilmu Allah disampaikan dengan cara yang salah atau kurang diminati karena tidak mengikuti perkembangan. Bukankan ada kaidah “hukum media perantara sama dengan hukum tujuan ketika bisa mengantarkan tujuan.“ Tentunya dengan catatan media perantara tersebut bukan sesuatu yang haram.
Ibnul-Qayim rahimahullah pernah menyampaikan dalam kitab beliau tentang perubahan fatwa dan perbedaannya sesuai dengan perubahan waktu, tempat, kondisi, maksud dan kebiasaan: “Ini adalah bagian yang sangat bermanfaat, karena ketidaktahuan dengan permasalahan ini banyak yang terjatuh pada kesalahan fatal terhadap syariah. Muncullah kesusahan dan beban berat dalam ibadah yang tidak ada dasarnya dari syariah. Syariah dibangun di atas hikmah dan maslahat bagi para pengikutnya dalam kehidupan dunia dan menuju akhirat. Setiap permasalahan yang menghilangkan keadilan ke arah kezaliman, dari kasih sayang kepada yang bertentangan dengannya, dari kemaslahatan kepada kerusakan, dari hikmah menuju sesuatu yang buruk maka bukan termasuk syariah, walaupun dihiasi dengan berbagai macam argumentasi yang logis” (Ilamul Muwaqiin, Ibnu Qayim:3/3)
Sudah selayaknya bagi para penuntut ilmu yang sudah memiliki komitmen menjadi ulama berusaha meningkatkan kwalitas diri. Menghafalkan kitabullah dan hadis Rasulullah adalah mutlak. Kemudian mempelajari ilmu alat yang memadai dari lembaga yang kompeten dan pengajar yang memiliki kapasitas yang baik. Kemudian menyempurnakan diri dengan menerapkan akhlak yang baik sehingga ilmu yang diperoleh semakin terhiasi dengannya. Wallahu Alam