Tarbawi

Tuntunan Bersosial Media (4)

 

     D. Tetap Berpegang Pada Akidah al-Wala’ dan al-Bara’.

Sungguh memprihatinkan, saat ini kita amati akidah al-Wala’ (loyalitas kepada kaum mukminin) dan al-Bara’ (anti loyalitas kepada kaum kafir) semakin menipis dan samar. Kampanye toleransi kebablasan yang secara massif dilancarkan oleh musuh-musuh Islam rupanya sedikit banyak telah berhasil, seiring dengan keberhasilan mereka mengkriminalisasi para figur dan tokoh-tokoh Islam dengan tuduhan terorisme dan radikalisme.

Akidah Ahli Sunnah wal Jamaah mengajarkan kita untuk mencintai secara mutlak seorang mukmin yang taat, loyal kepadanya secara sempurna dan menolongnya. Mereka adalah para nabi, sahabat, tabiin, tabi’ tabiin, ulama dan kaum mukmin yang saleh. Juga tidak memberikan cinta dan loyalitas secara mutlak kepada kaum kafir, musyrik dan munafik. Sedangkan terhadap seorang yang gemar berbuat dosa (fasik) dari kaum muslimin, maka kita loyal kepadanya sesuai ketaatan dan kebaikan yang ada padanya, serta membencinya sesuai kadar keburukan dan kemaksiatan yang ia tampakkan.

Berikut beberapa contoh kontemporer yang berkaiatan dengan akidah al-Wala’ dan al-Bara’  yang kerap kali dilanggar oleh sebagian kaum muslimin, baik di dunia nyata maupun dunia maya:

  1. Semua agama sama-sama benar.

Klaim bahwa semua agama sama benarnya menjadi ideologi berbahaya yang meracuni pemikiran sebagian kaum muslimin, bahkan sebagian lagi sangat agresif menyerang ajaran Islam dengan senjata ini. Bahkan, ada yang mengajak untuk mencampuradukkan ajaran agama-agama yang berbeda. Mereka sering mengadakan perayaan-perayaan keagamaan secara bersamaan baik di masjid atau di geraja, mengajak mengucapkan selamat hari raya agama lain, mengucapkan salam semua agama dalam pertemuan pubik, atau mengenakan busana keagamaan yang khusus bagi mereka.

  1. Konvergensi antar agama.

Berangkat dari kepercayaan bahwa semua agama sama, sama-sama benar dan sama-sama valid berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, maka banyak pihak yang menyerukan konvergensi atau penyatuan dan mencari titik temu antara agama.

Ajakan ini kemudian dikembangkan dalam berbagai konferensi dan seminar, kemudian direalisasikan dengan berbagai proyek. Termasuk di dalamnya ajakan ‘taqarub’ (konvergensi) antara Ahlus Sunnah dengan Syiah.  Amman Message menjadi bukti konfergensi semu tersebut, di atas kertas poin-poin kesepakatan tersebut tertulis indah, namun di lapangan Syiah mengimplementasikannya dengan tumpahan darah Ahlus sunnah.

Kedua proyek ini membawa dampak negatif besar, seperti hilangnya tirai pembeda antara iman dan kufur, lunturnya syariat jihad melawan kafir harbi, terhapusnya girah (semangat pembelaan) agama dari hati kaum muslimin, bahkan hilangnya identitas keislaman seseorang.

Allah ‘Azza wa Jalla telah memperingatkan kita dari makar orang-orang kafir, dalam firman-Nya, “Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 109)

Baca Juga  Gagal Paham Seorang Dai (2)

Allah Ta’ala juga berfirman, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. Al-Baqarah: 120)

Tapi, jika pendekatan dilakukan demi perdamaian dan menghindari pertumpahan darah, maka tujuan tersebut sangat mulia, tetapi tetap dalam koridor, tuntunan dan batasan syariat Islam.

  1. Loyalitas berdasarkan partai dan organisasi.

Sistem demokrasi yang dianut mayoritas negara dunia membuka peluang bernanungnya komunitas yang berbeda agama dan keyakinan di bawah atap partai atau organisasi tertentu. Demi tujuan politik bersama mereka bersatu saling membantu dan membela. Akibatnya loyalitas agama jadi kabur ditutupi oleh loyalitas kepada pemimpin dan sesama anggota partai, meski berbeda agama dan keyakinan. Ketika kepentingan partai bertolak belakang dengan tuntutan agama, tidak jarang mereka mendahulukan kepentingan partai dan mengenyampingkan ajaran agama. Mereka memusuhi saudara sesama muslim karena beda partai dan membela teman separtai meskipun benar-benar salah.

  1. Loyalitas kesukuan dan ras.

Mirip dengan poin sebelumnya, loyalitas berdasarkan suku dan ras sering mengalahkan loyalitas agama. Termasuk klaim bahwa kita tidak berhak membela kaum muslimin yang dizalimi dan ditindas di berbagai belahan dunia, seperti Uighur, Miyanmar, India, Palestina, dan di negara-negara Arab lainnya dengan alasan tidak boleh ikut campur urusan negara lain. Padahal sangat jelas Allah Ta’ala menjadikan Islam dan iman sebagai standar loyalitas.

  1. Mengidolakan orang kafir.

Mengidolakan atau menjadi fans orang kafir baik dia bintang olah raga, atau tokoh politik dilarang dalam agama, apalagi jika mengidolakannya karena agamanya. Seseorang yang ngefans kepada figur tertentu biasanya sangat perhatian terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengannya, baik berupa berita, gaya hidup, aktifitas, keluarga, ataupun hal-hal lainnya. Jika tokoh idolanya disinggung ia akan membela habis-habisan, bahkan tak jarang kita saksikan ikatan persaudaraan atau persahabatan putus disebabkan loyalitas terhadap sang idola.

Jika seseorang sudah fans berat kepada figur tertentu, maka batasan loyalitas agama sudah tidak bermakna lagi. Ini sangat berbahaya terhadap agama dan akidah seseorang. Termasuk mengidolakan klub kafir, menggunakan kostumnya, apalagi yang berlogo salib, juga mengikuti yel-yel mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al-Mujadilah: 22).

Baca Juga  Ruh Ilmu (Bagian II)

            Maka hendaklah kita mencintai seseorang hanya karena Allah dan sesuai tuntunan-Nya, serta membenci seseorang hanya karena Allah dan sesuai dengan tuntunan-Nya. Prinsip ini harus diterapkan dalam aktivitas kita di dunia maya dalam bersosial media. Postingan, share, komentar, dan like tidak boleh melanggar akidah al-Wala’ dan Al-Bara’. Interaksi dengan orang kafir di media sosial dalam hal duniawi tidak dilarang, selama bukan dalam perkara yang dilarang dalam agama. Jangan pula kita latah mendukung proyek kaum kafir, Sekular, Liberal dan Syiah dalam menyamarkan batasan akidah al-Wala’ dan Al-Bara’, karena tujuan utama mereka adalah menghapus Islam dan segala sesuatu yang identik dengan Islam yang murni.   

     E. Berhati-hati dan Bijaksana dalam Memosting atau Men-Share

Persaingan bisnis dan mengejar popularitas menjadi faktor utama perlombaan berbagai pihak untuk menjadi orang pertama sebagai penyebar sebuah informasi. Verifikasi validitas berita tersebut seringkali diabaikan, kode etik jurnalistik tak jarang dikesampingkan. Bukan saja dalam ranah individu biasa, bahkan beberapa tokoh besar dan perusahaan media terkenal juga kerap terperangkap dalam jaringan penyebar hoax, sehingga beberapa hari kemudian terpaksa mengklarifikasi, minta maaf dan menghapus konten berita tersebut.

Setidaknya ada tiga standar penting dalam menerima dan menyebar sebuah informasi;

Pertama, Verifikasi sumber informasi.

Mengetahui sumber informasi sangat penting dalam menilai validitas sebuah berita. Sebab hoax bisa dipicu berbagai faktor di antaranya:

  • Sengaja memproduksi berita atau kejadian palsu untuk tujuan tertentu.
  • Fabrikasi informasi dan memanipulasi data atau informasi yang pada awalnya valid.
  • Menambah detail sebuah berita atau informasi secara berlebihan agar semakin menarik.

Terkadang sumber informasi merupakan lembaga profesional dan terpercaya, tetapi karena kompetisi bisnis, kepentingan politik, atau perbedaan ideologi, ia sengaja menyebarkan informasi keliru tentang rivalnya.

Kedua, Validasi isi berita.

Menguji kebenaran sebuah informasi sangat penting, baik untuk konsumsi pribadi maupun untuk disebarkan kepada orang lain. Informasi yang tidak valid begitu juga hoax bisa menjadi sumber fitnah, kebencian, penipuan yang kemudian memicu konflik, tindakan kriminal dan permusuhan.

Jika tidak mampu menguji kebenaran informasi dan berita yang diterima, maka sebaiknya bertanya kepada ahlinya. Khusus masalah agama, hendaknya bertanya kepada ulama dan para ustazd.

Ketiga, Berpikir sebelum menyebarkan.

Setelah mengecek sumber informasi dan validitasnya, kemudian terbukti bahwa informasi tersebut benar, maka jangan langsung disebarkan. Sebaiknya pertimbangkan terlebih dahulu efek atau akibat yang akan ditimbulkan. Karena tidak semua perkara layak di-share. Tidak semua konten cocok untuk semua komunitas. Mungkin saja isi berita tersebut valid, tapi berkaitan dengan perbuatan buruk, asusila, aib oknum tertentu dan semisalnya, maka sebaiknya diabaikan.

Baca Juga  Sifat-sifat Hamba Ar-Rahman (Sifat Pertama)

Jika tidak bijaksana dalam menimbang sebelum menyebarkan sebuah informasi, data, dan berita, dikhawatirkan justru memicu dampak negatif yang tidak diinginkan, baik bagi pribadi, keluarga, komunitas bahkan sebuah negara.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur: 19).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Cukuplah seseorang (dianggap) berbohong apabila dia menceritakan semua yang dia dengarkan.” (HR. Muslim, no. 966)

 

     F. Ketikan Jari di Dunia Maya sama dengan Ucapan di Dunia Nyata.

Sebagian orang lupa bahwa semua ketikan jari di dunia maya sama dengan ucapan atau bahkan perbuatan di dunia nyata. Ia mengira dengan bersembunyi di balik akun palsu, nama dan profil samarannya ia bebas berbuat sesuka hati. Ia lupa, bahwa semua ucapan dan tindakan yang ia lakukan baik di dunia nyata maupun dunia maya pasti dicatat dan akan dihisab di akhirat kelak.

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12).

Juga berfirman,  “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiya’: 47).

            Ingatlah, bahwa keuntungan duniawi dan kenikmatan semu yang diperoleh dari banyaknya subscriber, likers, followers dan fans yang diperoleh di dunia maya maupun dunia nyata jangan sampai memaksa kita untuk melayani semua keinginan mereka dengan berbagai cara, meski menyalahi etika dan tuntunan agama.

            Seorang muslim sejati hendaknya menetapkan target yang jelas, tujuan yang mulia dan cara yang bijaksana dalam berinteraksi dengan media. Manajemen niat dan waktu yang baik serta profesionalisme menjadi pendukung keberhasilannya setelah adanya taufik dari Allah Ta’ala.

             

 

 

Abu Zulfa, Lc., M.A., Ph.D.

Doktor Bidang Fiqih dan Ushul, King Saud University, Riyadh, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?