Mimbar Jumat

Khutbah Jumat: Tips Syukur Nikmat

Jamaah Salat Jumat rahimakumullah.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang senantiasa mencurahkan kasih sayang-Nya dan kenikmatan-Nya kepada seluruh makhluk-Nya, tanpa kenikmatan yang Allah curahkan kepada kita, maka niscaya kita semua akan binasa. Manusia merupakan salah satu makhluk Allah yang bergelimang nikmat dan rahmat, tiada satu helaan nafas pun yang terlepas dari nikmat Allah dan rahmat-Nya, semua itu merupakan anugerah yang diberikan kepada makhluk-Nya baik kenikmatan yang lahir maupun yang batin, Allah berfirman,

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً

“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk kepentinganmu dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin.” (QS. Luqman: 20).

Dan sesungguhnya semua kenikmatan yang sangat banyak itu bersumber dan datang dari Allah azza wajalla, Allah berfirman,

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

“Dan segala nikmat yang ada padamu datangnya dari Allah.” (QS. Al-Nahl: 53).

Jamaah salat Jumat yang dirahmati Allah azza wajalla.

Sesungguhnya kewajiban makhluk terhadap kenikmatan-kenikmatan tersebut adalah dengan bersyukur, yaitu dengan mengimani dan mengakui bahwa semua kenikmatan yang kita nikmati adalah anugerah dari Allah, kemudian banyak membasahi lisan dengan memuji-Nya dan puncaknya adalah dengan beribadah kepada-Nya semata.

Sejatinya manusia mengetahui dan mengakui bahwa Allah adalah sang pemberi nikmat dan anugerah, namun kebanyakan manusia lupa atau pura-pura lupa terkait hal tersebut, sehingga menjadikan mereka terjerembab di tengah kubangan kufur nikmat, Allah berfirman,

يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ

“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang yang ingkar kepada Allah.” (QS. Al-Nahl: 83).

Tentu kufur nikmat yang melanda manusia memiliki pemicu, di antara faktor pemicunya adalah sifat tamak dan tidak kenal puas dengan kenikmatan yang Allah berikan, dan hal tersebut biasa disebabkan karena membandingkan kenikmatan yang ia kecap dengan kenikmatan-kenikmatan yang dianugerahkan kepada orang lain, khususnya orang yang memiliki kenikmatan yang lebih darinya, lebih kaya, atau lebih tinggi jabatannya, atau lebih indah rumahnya dan lain sebagainya. Maka kebiasaan melihat kepada orang yang dianggap lebih banyak hartanya, lebih tinggi jabatannya dan lebih keren mobilnya tersebut dapat menimbulkan perasaan mengerdilkan nikmat-nikmat Allah yang ia miliki. Olehnya itu untuk menghindari sikap yang sangat buruk ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki metode, yaitu sebagaimana sabdanya,

Baca Juga  Saat Allah Ridho

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ؛ فَهُوَ أجْدَرُ أنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ الله عَلَيْكُمْ

“Lihatlah siapa yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian, sebab yang demikian lebih patut agar kalian tidak memandang remeh nikmat Allah atas kalian”. (HR. Muslim no. 2963).

Dalam redaksi yang lain yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda,

إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ

“Jika seorang diantara kalian melihat orang yang diberi kelebihan darinya dari sisi harta dan (kesempurnaan) tubuh, maka hendaknya ia melihat kepada orang yang berada di bawahnya (dari sisi harta dan kesempurnaan tubuh)”. (HR. Bukhari no. 6490 dan Muslim no. 2963).

Kaum Muslimin, jamaah salat Jumat yang dirahmati Allah azza wajalla.

  • Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أسْفَلَ مِنْكُمْ

“Lihatlah siapa yang berada di bawah kalian”.

Secara eksplisit hadis ini mutlak, maksudnya instruksi yang dikandung hadis ini umum; yaitu untuk melihat kepada manusia yang levelnya berada di bawah kita dalam segala hal, namun jika dikomparasikan dengan redaksi hadis pada riwayat yang lain, maka maksudnya sangat gamblang; yaitu instruksi untuk melihat orang yang lebih rendah levelnya dari sisi kehidupan dunia, yang mencakup sisi harta, jabatan, kemuliaan nasab, kesempurnaan tubuh, kesehatan dan lain sebagainya, simaklah redaksi lain dari hadis ini,

إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ

“Jika seorang diantara kalian melihat orang yang diberi kelebihan darinya dari sisi harta dan (kesempurnaan) tubuh, maka hendaknya ia melihat kepada orang yang berada di bawahnya (dari sisi harta dan kesempurnaan tubuh)”.

Hadis ini mengandung solusi bagi orang yang “tergoda” hatinya dengan harta, jabatan, dan yang lainnya, sehingga menyepelekan serta kufur terhadap kenikmatan dunia yang telah dianugerahkan kepadanya, sebagai akibat dari mengumbar  pandangan kepada orang yang lebih tinggi levelnya dari sisi kehidupan dunia. Maka hendaknya ia memalingkan pandangannya kepada orang yang fakir, pengangguran dan orang yang cacat. Niscaya hal tersebut dapat memangkas penyakit yang mulai menggerogoti hatinya dan menjadikan ia lebih bersyukur atas kenikmatan yang Allah azza wa jalla anugerahkan.

Baca Juga  Khutbah Jumat: Nikmat Lisan

Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan,

هَذَا حَدِيثٌ جَامِعٌ لِأَنْوَاعٍ مِنْ الْخَيْرِ: لِأَنَّ الْإِنْسَانَ إذَا رَأَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا طَلَبَتْ نَفْسُهُ مِثْلَ ذَلِكَ وَاسْتَصْغَرَ مَا عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى وَحَرَصَ عَلَى الِازْدِيَادِ لِيَلْحَقَ بِذَلِكَ أَوْ يُقَارِبَهُ هَذَا هُوَ الْمَوْجُودُ فِي غَالِبِ النَّاسِ، وَأَمَّا إذَا نَظَرَ فِي أُمُورِ الدُّنْيَا إلَى مَنْ هُوَ دُونَهُ فِيهَا ظَهَرَتْ لَهُ نِعْمَةُ اللَّهِ فَشَكَرَهَا وَتَوَاضَعَ وَفَعَلَ الْخَيْرَ

“Hadis ini mencakup banyak sisi kebaikan, karena manusia jika melihat kepada orang yang lebih tinggi levelnya dari sisi dunia, maka jiwanya akan menuntut yang serupa dan mulai mengerdilkan kenikmatan yang Allah berikan kepadanya, kemudian bertekad untuk menambah hartanya agar ia dapat mengejar kekayaan orang tersebut atau minimal menyerupainya. Inilah fenomena yang jamak terjadi pada mayoritas manusia. Adapun jika ia melihat kepada orang yang lebih rendah derajatnya dari sisi dunia dan harta, akan terpampang di hadapannya kenikmatan Allah yang besar atasnya, maka ia akan bersyukur dengan kenikmatan itu, bersikap rendah hati, serta akan melakukan amalan-amalan kebaikan”. (Lihat: Al-Minhaj karya An-Nawawi, 18/97).

Jamaah salat Jumat yang dirahmati Allah azza wajalla.

  • Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ

“Dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian”.

Penggalan hadis ini menegaskan perintah yang dikandung oleh penggalan hadis pertama di atas berupa perintah untuk “ghaddul bashar” dalam perkara kenikmatan dunia, karena penggalan ini melarang seseorang untuk melihat ke “atas”, yaitu melihat kepada orang yang berada di level yang lebih tinggi dari sisi harta, jabatan, dan yang sejenisnya. Pesan yang dikandung penggalan hadis ini sangat identik dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيه

“Dan jangan engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu”. (QS. Thaha: 131).

Hadis ini memaparkan sisi lain dari “ghaddul bashar” (menjaga pandangan), jadi larangan “ghaddul bashar” bukan hanya pada lawan jenis semata, namun disyariatkan pula “ghaddul bashar” terhadap kemewahan dunia berupa harta, jabatan dan lain sebagainya yang dimiliki orang lain.

Baca Juga  Khutbah Jumat: Bulan Rajab Nan Istimewa

Jika “melepaskan” pandangan kepada lawan jenis, dapat membangkitkan syahwat yang terlarang, maka “melepaskan” pandangan kepada kemewahan dunia yang dimiliki orang lain, akan menumbuhkan benih-benih “syahwat” yang melampaui batas kepada kemewahan dunia yang dapat membangkitkan penyakit hati berupa iri, serta mewariskan panjang angan-angan yang tercela, sebab ia bercita-cita ingin memiliki kemewahan dunia yang Allah azza wa jalla anugerahkan kepada orang lain, sehingga berpotensi untuk membangkitkan penyakit hasad yang akut, sehingga dapat melalaikan seseorang dari kewajibannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah berfirman:

قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

“Dan orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata: mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. (QS. Al-Qashas: 79).

  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَهُوَ أجْدَرُ أنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ الله عَلَيْكُمْ

“Sebab yang demikian lebih patut agar kalian tidak memandang remeh nikmat Allah atas kalian”.

Penggalan hadis ini berisi ilat (motif hukum) perintah dan larangan yang dikandung oleh penggalan hadis sebelumnya, yaitu agar seorang hamba bersyukur atas segala kenikmatan yang Allah berikan kepadanya.

Ilat (motif hukum) ini pula yang mempertegas bahwa maksud dari instruksi dan larangan di atas adalah khusus  dalam perkara dunia, berupa kekayaan, jabatan dll., bukan dari sisi ilmu, kesalehan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Dapat disimpulkan, hadis di atas mengandung tiga hal:

Pertama: Adab kepada manusia.

Substansinya, jangan berinteraksi dengan manusia hanya berdasarkan keunggulannya dari sisi dunia saja, namun hendaknya banyak bergaul dengan manusia yang berada di level bawah dari sisi harta, jabatan dan perkara dunia lainnya.

Kedua: Adab kepada dunia.

Substansinya adalah hendaknya seseorang berlaku proporsional dalam berinteraksi dengan dunia beserta kemewahannya, jangan terlampau memandang tinggi terhadapnya, sehingga menjadikannya puncak angan-angannya. Sebab dalam perspektif Islam, tolak ukur kemuliaan bukanlah keunggulan dari sisi dunia.

Ketiga: Adab kepada Allah azza wa jalla.

Substansinya, bersyukur dan rida atas segala nikmat yang Allah anugerahkan dan jangan mengerdilkan pemberian-pemberian-Nya.

Lukmanul Hakim, Lc., M.A.

Kandidat Doktor, Bidang Tafsir & Hadits, King Saud University, Riyadh, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?