Tatsqif

Terorisme Antara Hak dan Bathil (Motif Terorisme)

Bagian Ketiga:  Motif Aksi Terorisme

Aksi terorisme baik yang dilakukan oleh individu, kelompok, maupun sebuah negara pastilah memiliki motif dan pemicu spesifik. Para pakar akan membuat studi tentang motif dan sebab-sebab aksi terorisme berdasarkan sudut pandang masing-masing. Motif tersebut tidak bisa dibatasi pada satu atau dua sebab, sebagaimana sebuah studi komprehensif tentang semua pemicu yang melahirkan aksi terorisme tidak bisa mengcover kesemuanya. Namun, melalui istiqra’/induksi, motif utama aksi terorisme dapat diklasifikasikan dalam tiga pemicu utama.

A. Motif Dogmatis Agama dan Ideologi

Dogma agama dan ideologi apapun bisa saja menjadi motif untuk melakukan aksi terorisme. Berikut beberapa sebab yang berkaitan dengan dogma agama dan ideologi:

  1. Ghuluw/ekstremisme

Sikap ekstremisme terdapat pada pemeluk semua agama dan kepercayaan dengan berbagai sektenya. Buktinya dapat kita lihat pada fakta riil sejarah sebagaimana tertulis pada artikel sebelumnya (Terorisme Dalam Perspektif Barat). Maka, merupakan kesalahan besar jika sikap ekstremisme dan radikalisme hanya dilekatkan pada Islam.

Dalam ajaran Islam, sikap ini sangat dicela. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Janganlah kalian bersikap ekstrem dalam beragama, karena yang membinasakan umat sebelum kalian adalah ghuluw dalam beragama.”[i] 

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hadits ini umum, meliputi semua bentuk ekstremisme dalam ideologi dan praktek.”[ii]

Sikap ghuluw ini bisa kita lihat pada beberapa sekte yang berafiliasi kepada Islam dan mengafirkan siapa saja yang tidak sejalan dengan mereka. Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Mayoritas ahli bid’ah seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Jahmiyah, dan al-Mumatstsilah meyakini ideologi sesat, dan mereka mengklaim itulah yang benar, lantas mengafirkan semua orang yang tidak sepaham dengannya.”[iii]

Ghuluw dalam mengafirkan sesama muslim yang tidak sejalan dengan sektenya memicu mereka untuk menghalalkan darah umumnya kaum muslimin. Sehingga tindak terorisme menjadi legal bagi mereka dan agama pun menjadi kambing hitam.

  1. Ta’wil Fasid/salah interpretasi terhadap nas-nas syariat.

Kesalahan dalam interpretasi nas-nas syariat dan dalam manhaj Istidlal (metodologi pengambilan dalil) bisa menjadi pemicu aksi terorisme. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat (yang tidak dipahami artinya) untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya.” (QS. Ali Imran: 7).

Biasanya, mereka mengambil beberapa nas al-Quran atau hadits, kemudian menjadikannya dalil untuk perkara yang tidak ada korelasinya dengan nas-nas tersebut dan tidak sesuai dengan metodologi ilmiah. Tidak pula merujuk kepada pemahaman dan tafsir salaf terhadap nas yang mereka jadikan dalil. Ditambah lagi dengan mengabaikan kaidah-kaidah pengambilan dalil. Sehingga logika dan hawa nafsu menjadi referensi utama sebagian mereka.

  1. Minim ilmu agama

Minimnya ilmu agama menjadikan seseorang mudah dipengaruhi oleh berbagai doktrin atas nama agama, apalagi jika ia berpadu dengan semangat tinggi membela agama.  Dampak yang dihasilkan pun menjadi negatif. Sebaliknya, jika semangat berislam generasi muda diimbangi dengan pembekalan pengetahuan agama yang mencukupi, niscaya manfaat besar akan dirasakan oleh umat Islam khususnya, dan umat manusia umumnya. Apalagi di zaman ini, di mana ulama sejati semakin langka, sejalan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

Baca Juga  Pelajaran Berharga Dari Kasus Penista Agama

“Sesungguhnya Allah Azza wajalla tidak menghilangkan suatu ilmu dengan cara mencabutnya dari dada umat manusia, tetapi Allah menghilangkan ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga, ketika sudah  tidak ada seorang ulama pun yang tertinggal, orang-orang mengangkat pemimpin yang bodoh. Ketika ditanya, mereka berfatwa (menjawab pertanyaan itu) tanpa didasarkan ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan.”[iv]

  1. Kebencian terhadap Agama

Boleh dikatakan, bahwa aksi terorisme bertaraf besar umumnya disebabkan oleh kebencian satu agama terhadap pemeluk agama lain. Lihatlah aksi terorisme Hindu atas kaum muslim India pada tahun 1980, begitu pula penindasan atas muslim Kashmir. Kebencian Kristen Philipina terhadap kaum muslim yang menyebabkan tewasnya ribuan muslim. Kebencian Budha atas muslim Myanmar. Kebencian Zionis-Salibis yang memicu aksi terorisme terhadap Afghanistan dan Irak. Bahkan terorisme Zionis Yahudi untuk Palestina adalah aksi terorisme terpanjang dan terbesar, serta masih berlanjut sampai detik ini. Belum lagi aksi terorisme terhadap Bosnia, Somalia, dan Chehcnya. Begitu pula aksi terorisme Syiah terhadap kaum muslim Iran, Irak, dan Syiria.

Jika seluruh aksi terorisme sebagian pemeluk Islam dibandingkan dengan satu saja dari aksi terorisme di atas, maka pembaca akan yakin bahwa Islam selalu menjadi objek penderita bukan subjek/pelaku. Dalam hal ini, pembaca dapat membandingkan korban aksi terorisme WTC dengan aksi terorisme balasan Amerika atas Irak.

Selain alasan agama, ideologi tertentu juga bisa menjadi motif terorisme, seperti Sekularisme, Marxisme, dan Komunisme.

B. Motif Sosiologi dan Psikologi

Klaim bahwa alasan sosiologi dan psikologi masyarakat dapat menjadi pemicu aksi terorisme hanya merupakan asumsi, boleh benar boleh tidak. Sebab terkadang unsur-unsur sosial tersebut terpenuhi, namun tidak terjadi tindak terorisme. Dan belum ada kesepakatan bersama para sosiolog tentang unsur sosiologis dan psikologis  tertentu sebagai pemicu aksi kekerasan. Sebagai tahap awal, Komisi Tinggi PBB untuk terorisme dalam keputusan tanggal 29/02/1979 telah membatasi alasan sosiologi dan psikologi pemicu aksi terorisme pada perkara berikut:

  1. Pelanggaran HAM.
  2. Kelaparan, kemiskinan, dan kebodohan.
  3. Pengabaian penderitaan rakyat yang menjadikan mereka tertekan.
  4. Perusakan lingkungan.

Sebenarnya, masih banyak unsur sosiologi dan psikologi lain yang jauh lebih potensial memicu aksi teror yang tidak disebutkan oleh PBB, di antaranya:

  1. Broken home (keretakan rumah tangga).
  2. Tekanan sosial masyarakat.
  3. Pertemanan yang buruk.
  4. Krisis hubungan antara pemerintah dan rakyat.
  5. Kesenjangan heterogenitas masyarakat.
  6. Krisis hubungan antara generasi muda dengan ulama.
  7. Gangguan psikologis.
  8. Sifat asli personal.
  9. Gangguan emosional.
  10. Dan lain-lain.[v]

C. Motif Politik dan ekonomi.

Motivasi Politik

Alasan ini memiliki potensi besar memicu timbulnya tindakan teror. Artinya, sebuah negara bisa melakukan aksi terorisme terhadap rakyat di bawah kekuasaannya atau di negara lain dengan alasan politik. Sebaliknya, sebagian kelompok bisa melakukan tindakan teror terhadap fasilitas atau perangkat negara, juga dengan dalih politik. Jika dilihat dari ruang lingkupnya, maka alasan politik dapat dibagi tiga:

a. Motivasi Politik Internasional/global

Aksi teror jenis ini biasanya dilakukan oleh negara-negara adi kuasa. Pelanggaran terhadap kedaulatan negara tertentu, atau intervensi langsung adalah percikan api pemicu reaksi yang bervariasi. Di antara tindakan yang dapat memicu aksi teror balasan adalah sebagai berikut:

  1. Penjajahan terhadap negara lain.
Baca Juga  Sejak Kapan Implementasi Syariat Dipersoalkan?

Dengan tujuan menguasai dan menghisap sumber daya alam negara tersebut, juga memaksakan politik, budaya, dan undang-undangnya. Biasanya aksi ini dilakukan oleh negara-negara adi kuasa dengan slogan menyebarkan keadilan dan demokrasi, namun pada akhirnya propaganda jahatnya terbongkar juga. Kondisi ini, memicu sebagian pihak untuk melakukan reaksi keras, berupa aksi-aksi yang kemudian disebut terorisme oleh teroris sebenarnya.

  1. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara-negara besar.

Sebagai contoh adalah penangkapan oknum yang tertuduh teroris, dan mengisolasinya di penjara luar Amerika seperti Guantanamo tanpa proses peradilan. Ditambah lagi perlakuan yang tidak manusiawi, dan penistaan agama serta harkat dan martabat para tahanan.

Maka, jangan harap mereka yang kemudian terbebas dari kezaliman ini akan melupakannya dengan mudah. Bahkan, mungkin sebagian mereka yang pada mulanya tidak ada kaitan apapun dengan jaringan penentang Hegemoni Barat, setelah keluar justru menjadi pemimpin jaringan tersebut.

  1. Intervensi politik atas negara-negara berdaulat.

Dengan intervensi langsung tersebut, mereka memaksakan hegemoni politik dan budaya yang bertentangan dengan ideologi, budaya, serta prinsip-prinsip dasar negara tertentu. Dalam hal ini, hak veto yang hanya dimonopoli lima negara besar, adalah salah satu pemicu utama aksi terorisme.

Sekjen PBB asal Austria Kurt Waldheim (1972 s/d 1982), dalam laporan yang dia ajukan kepada Majelis Umum PBB bertanggal 8 September 1972, menumpahkan semua tanggung jawab perkembangan terorisme kepada negara-negara pemilik veto, khususnya intervensi terhadap Dewan Keamanan Internasional PBB. Juga ketidakseriusan negara-negara tersebut dalam menjalankan kewajiban masing-masing sebagaimana yang dimandatkan oleh PBB.

b. Motivasi Politik lokal/internal

Pemerintahan yang adil, amanah, dan profesional akan menciptakan masyarakat yang baik, taat, dan kooperatif. Sebaliknya, tekanan politik apapun bentuknya, akhirnya hanya menimbulkan bongkahan kemarahan yang siap meledak kapan saja. Di antara bentuk intervensi dan tekanan politik internal yang dapat memicu aksi terorisme adalah sebagai berikut:

  1. Separasi agama dan negara.

Pemeluk agama sejati, terutama kaum muslimin, pasti mempunyai resistensi terhadap pemerintahan yang nihil dari nilai agama, atau menjalankan pemerintahannya dengan melanggar batasan-batasan agama. Jika pemerintahan dibangun atas fondasi keimanan yang lurus, maka terorisme tidak akan berkembang.

Kesalahan ini bertambah parah, ketika ada oknum pejabat pemerintahan atau tokoh masyarakat menuduh agama tertentu sebagai sumber teroris, atau konsistensi pada ajaran agama adalah ciri-ciri teroris!

  1. Eksklusi politik warga negara.

Kesalahan ini bisa berupa tekanan terhadap hak politik warga negara dengan berbagai cara, marginalisasi peran dalam politik praktis, dan tertutupnya sarana dialog antara pemerintah dengan rakyat. Rakyat merasa terisolir dan diabaikan. Mereka hanya berharga di saat kampanye pemilu, begitu pemilu selesai, mereka menjadi sepah yang dibuang. Karenanya, sebagian mereka menyampaikan aspirasinya dengan jalan kekerasan.

  1. Pelanggaran institusi keamanan terhadap HAM.

Sangat disayangkan, hal ini terjadi di umumnya negara demokrasi yang notabene menjunjung asas praduga tak bersalah. Semua aturan hukum boleh dilangkahi ketika institusi keamanan bertindak menghadapi “oknum yang diduga terlibat” dalam terorisme. Sehingga publik hanya bisa bertanya, siapa sebenarnya yang menjadi teroris? Bahkan sebagian mereka berkesimpulan: Negaralah yang memproduksi terorisme, kemudian berusaha mengatasinya dengan teror yang sama atau jauh lebih besar.

  1. Pemeliharaan kesenjangan sosial yang cukup tinggi.
Baca Juga  Wahai Sejarah, Kami Telah Kembali!

Sebagian rezim juga dengan sengaja memelihara sekte-sekte sesat di tengah masyarakat beragama, dengan tujuan politis tertentu.

  1. Diskriminasi terhadap lembaga-lembaga sosial kemanusiaan.
  2. Tunduknya pemerintah kepada hegemoni dan kekuatan asing.
  3. Pengabaian amar makruf nahi mungkar.
  4. Dan lain-lain.

c. Motif Politik Individu.

  1. Cinta kekuasaan yang kemudian mendorongnya melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang ada, merusaknya, atau memperjuangkan disintegrasi.
  2. Beda pandangan politik dengan pemerintah pusat, kemudian berusaha mengintervensi pemerintah melakukan atau menolak perkara tertentu.
  3. Obsesi memperoleh pengakuan atas organisasi atau gerakan yang ia pimpin.
  4. Keinginan meruntuhkan pemerintahan dengan cara menimbulkan kekacauan di mana-mana. Aksi ini bertujuan untuk membuktikan ketidaksanggupan pemerintah dalam menjaga keamanan, juga demi menimbulkan mosi tidak percaya rakyat kepada pemerintah.
  5. Usaha membela elemen masyarakat tertentu yang terzalimi secara politik atau hukum.

Motif Ekonomi

Kondisi ekonomi yang tidak kondusif dapat menimbulkan tekanan mental sebagian masyarakat, dan selanjutnya mendorong mereka melakukan tindakan kejahatan. Selain itu, penjajahan ekonomi terhadap negara lain juga dapat memicu reaksi balasan yang tidak sehat. Secara global, motif kejahatan yang berkaitan dengan ekonomi meliputi:

  1. Hegemoni negara-negara besar atas negara-negara berkembang, untuk menguasai dan menguras sumber daya ekonominya.
  2. Penghancuran ekonomi negara lain.
  3. Gerakan globalisasi ekonomi melalui free trade/perdagangan bebas, yang mana hasil akhirnya adalah semakin meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran di negara-negara berkembang, pergerakan ekonomi yang tak stabil, dan tingginya kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin.
  4. Rendahnya perhatian pemerintah terhadap problem ekonomi seperti pengangguran dan kemiskinan. Sebaliknya, rakyat melihat para penguasa dan pejabat publik berfoya-foya menghabiskan harta rakyat, atau berusaha meningkatkan kekayaan pribadi dengan cara melanggar hukum.
  5. Dan lain-lain.

Kesimpulan

Motif terjadinya aksi terorisme sangat kompleks dan bervariasi. Tidak hanya terbatas pada motif dogma agama  atau ideologi. Motif-motif tersebut juga ada pada semua bangsa, agama, dan masyarakat, sehingga potensi munculnya aksi terorisme bisa muncul dari semua pihak.

Dalam hal ini, masyarakat muslim sangat eksklusif. Sebab mereka mempunyai landasan hukum yang jelas dan pasti. Sampai saat ini masyarakat muslim dunia masih bisa bersabar dan menahan diri, meski berbagai tuduhan dan tindak diskriminatif terhadap Islam tak kunjung berakhir. Kendati sebagian saudaranya menjadi korban terorisme internasional maupun lokal, kita semua yakin, Islam akan tetap menjadi rahmat bagi seluruh alam, baik saat mereka tertindas maupun saat berkuasa. Yang terpenting, masyarakat muslim benar-benar kembali kepada ajaran Islam sebenarnya.

[i] HR. an-Nasaa’i,no. 3057 dan Ibnu Majah, no. 3029

[ii] Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ Shirath al-Mustaqim, juz I, h. 328

[iii]  Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, juz XII, h. 466-467

[iv] HR. Bukhari, no. 100, dan Muslim, no. 2673

[v] Silahkan baca: Tortora, G (1999). Principles of Homan Anatomy. Zahran, Ilm al-Nafsi wa al-Ijtima’i

Abu Zulfa, Lc., M.A.

Kandidat Doktor, Bidang Fiqih dan Ushul, King Saud University, Riyadh, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?