Tamak Harta
Harta adalah salah satu di antara nikmat duniawi yang Allah anugerahkan kepada para hambaNya yang wajib untuk disyukuri. Untuk mendapatkannya dibutuhkan berbagai usaha dan ikhtiar. Namun demikian, tetap harus memperhatikan koridor dan batasan usaha yang ditempuh sebab ia termasuk satu dari lima perkara yang setiap anak Adam akan ditanya tentangnya pada hari kiamat sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن عمره فيما أفناه، وعن علمه فيما فعله، وعن ماله من أين اكتسبه وفيما أنفقه، وعن جسمه فيما أبلاه.
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya ke mana ia habiskan, ilmunya di mana ia amalkan, hartanya bagaimana ia peroleh dan ke mana ia infakkan serta tubuhnya ke mana ia gunakan.” (HR.Tirmidzi: 2417)
Pada dasarnya, mencari dan berusaha untuk mendapatkan harta bukanlah sesuatu yang tercela bahkan ia bisa bernilai pahala jika diniatkan sebagai ibadah. Dengan harta, seseorang dapat menopang kehidupannya yang kemudian ia gunakan untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Dengan harta pula, seorang suami dapat menafkahi keluarga yang merupakan kewajibannya, serta berinfak di jalan Allah subhanahu wa ta’la.
Namun sebaliknya, mencari harta bisa menjadi sesuatu yang tercela jika diniatkan hanya sekedar memperbanyak dan berbangga-bangga dengannya. Apalagi ditambah dengan sifat tamak dan kelalaian dari melakukan ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu Allah memperingatkan mereka yang memiliki sifat tersebut melalui firmanNya:
اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُۙ
Artinya: “Berbangga-bangga dalam memperbanyak (dunia) telah melalaikanmu.” (QS. Al Takatsur: 1).
Maksudnya adalah bersaing memperbanyak anak, harta, pengikut, kemuliaan, dan sebagainya telah melalaikan manusia dari ketaatan kepada Allah Swt.
Imam Ibnu Rajab rahimahullah membagi para pencari harta menjadi dua golongan:
Pertama: Mereka yang memiliki kecintaan berlebih terhadap harta serta dibarengi dengan ketamakan dalam mengumpulkannya melalui segala sarana yang mubah sehingga membutuhkan kerja keras dan susah payah untuk mendapatkannya. Golongan ini kata beliau merupakan hal tercela karena ketamakan dan sifat yang berlebihan; sebab ia telah menghabiskan umurnya hanya untuk mengumpulkan harta yang pada hakikatnya telah terjamin pembagiannya sesuai dengan porsinya masing-masing. Selain itu apa yang dikumpulkan tidak dapat dinikmatinya di kemudian hari (ketika telah meninggal dunia), sehingga secara tidak langsung mereka mengumpulkan sesuatu yang akan dinikmati oleh selainnya. Padahal umur yang Allah berikan seharusnya dimanfaatkan untuk menggapai kedudukan tinggi di sisi Allah melalui ibadah dan amal saleh lainnya, maka kata beliau dari sinilah sebab tercelanya golongan ini.
Oleh karena itu, para ulama terdahulu mencela dan membenci mereka yang menyibukkan diri dari ketaatan kepada Allah demi mengumpulkan dan memperbanyak harta, namun tidak mengeluarkan kewajiban yang ada di dalamnya.
Salah seorang ahli hikmah pernah ditanya: “Sesungguhnya fulan sibuk mengumpulkan harta siang dan malam, bagaimana menurutmu?” Maka sang ahli hikmah kembali bertanya: “Apakah dia berinfak dengannya”?, dia jawab: “Tidak”, maka beliaupun berkata: “Pada hakikatnya dia tidak mengumpulkan apa-apa”.
Artinya adalah jika seseorang hanya mengumpulkan dan memperbanyak harta semata-mata untuk dirinya di dunia tanpa dia infakkan, pada hakikatnya dia tidak memperoleh manfaat sama sekali ketika telah meninggal dunia. Sebab hanya harta yang dikumpulkan dan dikeluarkan zakatnya yang akan dirasakan pahalanya di akhirat kelak.
Kedua: Mereka yang selain memiliki kecintaan berlebih dan ketamakan dalam mengumpulkan harta, mereka juga menggunakan segala sarana yang diharamkan dan tidak mengeluarkan hak-hak hartanya (zakat), maka Imam Ibnu Rajab mengatakan golongan ini memiliki sifat kikir yang tercela.
Sebagian ulama mendefinisikan jenis kikir ini bahwasanya ia bagian dari sifat rakus berlebih yang mengantarkan seseorang kepada hal-hal yang diharamkan seperti mengambil hak orang lain dengan cara haram.
Jenis kikir ini dalam bahasa arab disebut dengan asy syuuh, salah satu sifat yang tercela. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اتقوا الشح، فإن الشح أهلك من كان قبلكم، حملهم على أ سفكوا دمائهم، واستحلوا محارمهم.
“Jauhilah dari kalian kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan.” (HR.Muslim: 4675)
Di antara keburukan yang lahir dari sifat kikir ini adalah ia mengantarkan seseorang kepada pemutusan silaturahmi dan permusuhan bahkan ia menjadi sumber dosa dan maksiat lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا يجتمع الشح والإيمان في مؤمن
“Tidak akan berkumpul pada diri seorang mukmin sifat kikir dan keimanan.” (HR. An Nasaai: 2/13,14)
Oleh karena itu, jika seseorang memiliki sifat berlebihan dan tamak dalam mengumpulkan harta telah sampai pada derajat ini (kikir), lambat laun akan semakin berkurang darinya agama dan keimanan hingga tidaklah tersisa kecuali hanya sedikit, sebab dengannya ia akan melakukan perkara haram, menahan zakat harta serta memakan makanan yang haram.
Semoga Allah menjauhkan kita semua dari sifat tamak, rakus dan kikir dalam perkara harta. Amin.
Ref: Syarah hadis maa dzi’bani ja’iani, Ibnu Rajab al Hambali.