Mimbar Jumat

Khutbah Jumat: Tahanlah Amarahmu!!

Jemaah salat Jumat yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Di antara wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang agung adalah wasiat yang dikandung oleh hadis dari sahabat Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu: 

أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَوْصِنِي، قَالَ: لَا تَغْضَبْ، فَرَدَّدَ مِرَارًا، قَالَ: لَا تَغْضَبْ 

“Bahwasanya seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah! Berilah aku nasihat!” Beliau bersabda, ‘Jangan engkau marah.’ Orang itu lalu mengulang permintaannya berkali-kali. Dan Rasulullah pun tetap bersabda, ‘Jangan engkau marah,'” (HR Ahmad: 8744, Bukhari: 6116 dan Tirmizi: 2020). 

 

Hadis ini memaparkan tentang salah satu peran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tengah para sahabatnya. Beliau bukan hanya berperan sebagai dai yang bertugas mengajak dan menyeru manusia kepada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun beliau juga memberikan problem solving bagi mereka, yang membuktikan sisi keakraban dan kedekatan beliau dengan para sahabatnya. Hal ini dapat disingkap lewat redaksi dialog para sahabat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam meminta wasiat, di antaranya dialog yang terekam terkait dengan hadis di atas, yaitu lewat beberapa lafal: 

  1. أَوْصِنِي: “Beri aku nasihat” 

Redaksi ini diriwayatkan oleh mam Bukhari dan yang lainnya. 

  1. مُرْنِي بِأَمْرٍ، وَلَا تُكْثِرْ عَلَيَّ حَتَّى أَعْقِلَهُ : “Berilah aku sebuah perintah, namun jangan terlalu banyak agar aku dapat memahaminya” 

Redaksi ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad (8744).   

  1. قُلْ لِي قَوْلًا وَأَقْلِلْ عَلَيَّ لَعَلِّي أَعْقِلُهُ : “Ucapkan kepadaku ucapan, namun sedikit saja agar aku memahaminya” 

Redaksi ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad (15964)   

  1. قُلْ لِي قَوْلًا أَنْتَفِعُ بِهِ وَأَقْلِلْ لَعَلِّي أَعْقِلُهُ : “Ucapkan kepadaku sebuah ucapan yang dapat memberikan manfaat bagiku, namun sedikit saja agar aku memahaminya” 

Redaksi ini diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (6399). 

  1. دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ : “Tunjukkan padaku amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam surga” 

Redaksi ini diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Mu’jam Al-Ausath (2353) 

Semua “curhatan” ini dijawab oleh Rasulullah dengan sabda beliau, 

لَا تَغْضَبْ 

“Jangan engkau marah” 

Jemaah salat Jumat yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “jangan engkau marah”, meskipun secara lahir berisi larangan untuk marah, namun secara substantif, terdapat beberapa interpretasi dari para ulama, di antaranya, 

Pertama, maksud dari sabda ini ialah perintah untuk berhias dengan akhlak yang mulia seperti dermawan, santun, malu, tawaduk (rendah hati), sabar atas gangguan yang diterima dari orang lain, pemaaf, menahan amarah dan yang lainnya dari akhlak yang mulia, sebab jika seseorang terbiasa dengan akhlak-akhlak ini, maka ia akan dapat menahan diri dari sifat marah meskipun ada faktor pemicunya1. 

Baca Juga  Khutbah Jumat: Ittiba' Adalah Jalan Bagi Sang Pecinta Sejati

Kedua, maksudnya adalah larangan untuk melakukan perkara-perkara yang menjadi sarana penyulut kemarahan, seperti berlebihan dalam bergurau, saling mengolok-olok dan lain sebagainya, sebab, di antara kaidah yang beredar dalam syariat adalah hukum sarana identik dengan hukum tujuan, jadi semua faktor dan sarana yang dapat menyulut kemarahan, maka haram hukumnya, dan wajib dihindari.2 

Dua interpretasi ini merupakan bagian dari proses saddudzdzari’ah (menutup jalan menuju keburukan), sebab maksud dari dua interpretasi ini adalah berhias dengan akhlak mulia dan menghindari faktor-faktor yang dapat memicu sifat marah, maka nasihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini akan sangat efisien jika dipraktikkan sebelum kemarahan menguasai seseorang. 

Ketiga, larangan untuk melampiaskan kemarahan dengan kata-kata dan perbuatan jika seseorang dikuasai oleh marah, sebab ada potensi untuk terjatuh dalam maksiat jika seseorang berbicara dan berbuat atas dasar marah. Jadi, yang dilarang bukan sifat marahnya, sebab ia adalah tabiat manusia, namun yang dilarang adalah melampiaskan konsekuensi kemarahan tersebut dengan ucapan ataupun perbuatan3. Ibnu Hibban rahimahullah mengatakan, 

قوله صلى الله عليه وسلم َا تَغْضَبْ) أراد به: أن لا تعمل عملا بعد الغضب مما نهيتك عنه, لا أنه نهاه عن الغضب إذ الغضب شيء جبلة في الإنسان, ومحال أن ينهى المرء عن جبلته التي خلق عليها, بل وقع النهي في هذا الخبر عما يتولد من الغضب مما ذكرناه 

“Sabda Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam (Jangan engkau marah), maksud beliau adalah jangan engkau melakukan suatu perbuatan apa pun jika engkau sudah dikuasai oleh kemarahan, (jadi larangan tersebut) bukan bermaksud untuk melarang sifat marah, sebab sifat ini adalah watak bagi manusia, dan mustahil seseorang dilarang dari sifat yang menjadi wataknya, namun yang dilarang di dalam hadis ini adalah sesuatu yang menjadi konsekuensi dari sifat marah tersebut.”4 

Berkaca pada interpretasi ini, bisa disimpulkan bahwa wasiat ini ditujukan bagi orang yang sudah tersulut kemarahannya; hendaknya orang tersebut tetap menggunakan akal sehatnya dan menahan ucapan dan perbuatanya ketika dikuasai kemarahan, sebab jika kemarahan telah berkuasa atas seseorang, maka yang keluar dari ucapannya merupakan luapan dari emosinya tersebut berupa caci maki, sumpah serapah bahkan terkadang ucapan beraroma ancaman sehingga tidak jarang dapat menimbukan permusuhan dan perkelahian, bahkan sampai terjadi pembunuhan. 

Di sinilah urgensi dan kemuliaan dari sifat menahan amarah dan emosi, yang merupakan salah satu sifat orang yang bertakwa, sebagaimana firman Allah, 

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ(133)الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134) 

“Dan bersegeralah kalian mencari ampunan dari Tuhan kamu, dan memperoleh surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang beriman. (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat baik.” (QS. Ali Imran 133-134). 

Baca Juga  Khutbah Jumat: Perusak Ukhuwah Dan Persatuan

Dan jangan pernah menduga bahwa sikap menahan amarah adalah perkara yang mudah dan sepele, sebab sejatinya seseorang apabila telah terjajah oleh emosi, apalagi jika sampai membuncah kemarahannya, maka seakan dunia begitu sempit baginya, tiada cita-cita tertinggi baginya kecuali meluapkan emosinya dengan mengucapkan sumpah serapah dan cacian, bahkan kalau bisa, tentu ia berhasrat untuk menelan mentah-mentah orang yang menjadi objek kemarahannya tersebut. Oleh karena itu, syariat Islam yang agung tidak  mendaulat para pendekar sebagai orang yang terkuat, namun justru mendapuk orang yang mampu menahan amarahnya sebagai manusia yang kuat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

لَيْسَ الشَّدِيدُ بالصُّرَعَةِ، إنَّمَا الشَدِيدُ الَّذِي يَملكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ 

“Bukanlah orang yang kuat itu yang jago berkelahi, sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang mampu mengontrol dirinya ketika sedang marah.” 5 

Kenapa orang yang mampu menahan dirinya  ketika sedang marah didaulat sebagai orang yang kuat? Sebab sejatinya ia mampu mengalahkan setan yang sedang merasuk dala dirinya dengan sikap marah itu, sebab kemarahan datang dari setan, sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ 

Sesungguhnya marah itu dari setan”.6 

Hadis ini lemah sanadnya7, namun memiliki syahid (penguat) dari hadis Sulaiman bin Shurad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang akan disebutkan setelah ini. 

Kaum muslimin, jemaah salat Jumat yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Meskipun seseorang mampu untuk menahan dirinya ketika sedang marah untuk tidak bereaksi dengan ucapan atau perbuatan, namun ia harus berusaha secara praktis untuk meredakan dan memadamkan kemarahannya tersebut. Di antara upaya-upaya praktis yang harus segera dilaksanakan adalah, 

  1. Meminta perlindungan kepada Allah Azza wajjala dengan mengucapkan “a’udzu billahi minasysyaithanirrajim“. 

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sulaiman bin Shurad, bahwa beliau berkata, 

كُنْتُ جَالِسًا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَرَجُلَانِ يَسْتَبَّانِ، فَأَحَدُهُمَا احْمَرَّ وَجْهُهُ وَانْتَفَخَتْ أَوْدَاجُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: (إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ). 

Saya duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ada dua orang yang saling mencela dan bertengkar, maka salah seorang dari mereka berdua wajahnya memerah, dan otot-otot lehernya menonjol (yang menunjukkan bahwa ia sangat marah), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh aku mengetahui sebuah kalimat (yang) apabila diucapkan (oleh orang yang sedang marah) maka akan mereda kemarahannya, jika ia mengatakan: “a’udzu billahi minasysyaithanir-rajim” maka akan reda kemarahannya’.8 

Hadis ini menegaskan dan memperkuat bahwa kemarahan datang dari setan, atau mengungkap peran setan dalam membisikkan gangguan untuk melampiaskan emosinya dengan ucapan atau perbuatan ketika sedang marah, maka bagi siapa yang memenuhi bisikan itu, maka ia akan melampiaskan konsekuensi kemarahannya itu lewat ucapan atau perbuatan yang tentunya berpotensi untuk terkontaminasi dengan keburukan dan maksiat. Realitanya, betapa banyak KDRT yang dipicu oleh emosi suami, dan betapa banyak perceraian terjadi karena pertengkaran antara suami dan istri, dan ketika kemarahannya mereda, maka penyesalan pun datang menyelimuti. Dan yang lebih ironis dari hal ini, betapa banyak seorang ayah membunuh anaknya atau istrinya atau sebaliknya disebabkan karena tidak mampu mengendalikan emosi dan kemarahan. Oleh karena itu, benarlah ucapan para ulama kita bahwa “marah merupakan sumber dari keburukan”.   

  1. Merubah posisi. 
Baca Juga  Khutbah Jumat: Nikmat Lisan

Posisi memiliki peran yang penting bagi refleksitas tubuh untuk merespon instruksi dari otak, makanya merubah posisi tubuh ketika kemarahan sedang berkuasa dapat memperlambat dan mengurangi refleksitas tersebut, sehingga ucapan yang sudah menggantung di lisan, dan pukulan yang nyaris terayun ke tubuh objek yang dimarahi dapat digagalkan, inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat sabdanya, 

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلاَّ فَلْيَضْطَجِعْ 

“Jika seseorang marah dan dia dalam keadaan berdiri, maka hendaklah ia duduk, jika kemarahannya reda (maka cukup dengan itu saja), namun jika belum maka hendaknya ia berbaring”.9 

Al-Khattabiy rahimahullah mengatakan, 

القائم متهيئ للحركة والبطش، والقاعد دونه في هذا المعنى، والمضطجع ممنوع منهما، فيشبه أن يكون النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنما أمره بالقعود لئلا تبدر منه في حال قيامه وقعوده بادرة يندم عليها فيما بعدُ  

“Orang yang sedang berdiri bersiap untuk bergerak dan memukul, sedang orang yang duduk lebih rendah (daya reflek dan responnya) untuk melakukan dua hal tersebut, adapun orang yang berbaring mustahil melakukan hal tersebut, maka seakan instruksi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyuruh (orang yang sedang marah) untuk duduk agar ia tidak menampilkan sikap yang dapat menimbulkan penyesalan di kemudian hari”.10  

  1. Berwudu. 

Sebagaimana diisyaratkan Rasulullah shallallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah riwayat, 

إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأ 

“Sesungguhnya amarah dari setan, dan sesungguhnya setan tercipta dari api, dan api dipadamkan dengan air, maka jika seorang di antara kalian marah, berwudulah”.11 

Hadis ini lemah sanadnya sebagaimana telah kami isyaratkan di atas. 

Inilah langkah-langkah yang diharapkan dapat meredakan amarah seseorang, jika langkah-langkah ini dipraktikkan, maka amarah akan menguap lenyap, dan terhindar dari keburukannya -dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala-, bahkan lebih dari itu, akan mendapatkan keutamaan yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadisnya, 

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا، وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ، دَعَاهُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِّ الْحُورِ شَاء 

Siapa yang mampu menahan amarahnya padahal ia mampu untuk melampiaskannya (dengan kata-kata atau perbuatan), maka Allah akan menyerunya di tengah para makhluk-Nya, untuk memilih bidadari yang ia sukai”.12 

Lukmanul Hakim, Lc., M.A.

Kandidat Doktor, Bidang Tafsir & Hadits, King Saud University, Riyadh, KSA.

Related Articles

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?