Syukur dan Keutamaannya (2)
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah radiallahu ‘anha, beliau menyifati salat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang identik dengan durasi cukup panjang sehingga membuat tumit beliau pecah-pecah (dalam riwayat lain bengkak).
Melihat hal demikian dengan penuh rasa penasaran Aisyah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, gerangan apa yang membuatmu masih melakukan hal demikian sedang Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lampau maupun yang akan datang?”, beliau pun menjawab, “Apakah aku tidak pantas menjadi hamba yang bersyukur?” (Muttafaqun ‘alaihi).
Adapun maksud dari perkataan Rasulullah, “Apakah aku tidak pantas menjadi hamba yang bersyukur?”, maka Ibnu Hajar menjelaskan bahwa dalam penggalan kalimat tersebut terdapat hubungan sebab akibat yang artinya: “Apakah saya harus meninggalkan tahajud saya, sehingga saya menjadi hamba yang tidak bersyukur?”.
Dari hadis di atas menunjukkan betapa keinginan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin menjadi seorang hamba yang bersyukur karena keutamaan yang ada di dalamnya, beliau juga tidak mencukupkan agar sifat mulia itu hanya beliau yang mendapatkan, bahkan beliau mengajarkan dan memotivasi para sahabatnya agar dikarunia sifat tersebut, salah satu contohnya adalah tatkala mengajarkan sebuah doa kepada Muadz bin Jabal radiallahu ‘anhu yang di dalamnya terdapat permintaan agar dijadikan sebagai hamba yang bersyukur.
Rasulullah berkata, “Wahai Muadz! Demi Allah sesungguhnya aku mencintaimu karena-Nya”. Kemudian beliau berkata, “Aku wasiatkan kepadamu wahai Muadz, jangan sekali-kali engkau tinggalkan doa ini di setiap akhir salatmu, Allahumma a’inni ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika (Artinya: Ya Allah, bantulah aku untuk berzikir dan bersyukur kepada-Mu serta beribadah kepada-Mu dengan baik)”. Maka tatkala Muadz mendengarkan wasiat tersebut, beliau pun mewasiatkan kepada para sahabatnya yang lain. (HR. Abu Dawud: 1522).
Menjadi hamba yang bersyukur merupakan sebab datangnya rida Allah, dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah benar-benar akan rida terhadap hamba yang jika ia makan dan minum memuji Allah (bersyukur atas nikmat tersebut).” (HR. Muslim: 2734).
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa hal demikian adalah balasan yang paling besar dan agung (yaitu balasan berupa rida Allah) sebab di dalam Alquran Allah berfirman,
وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗ
Artinya: “Rida Allah lebih besar” (QS. At Taubah: 72).
Dan rida Allah tersebut sebagai balasan dari pujian hamba terhadap-Nya.
Menjadi hamba yang bersyukur juga merupakan sebab diraihnya kebaikan dunia dan akhirat, sebagaimana dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ada empat perkara yang jika seorang hamba diberikan keempatnya maka sungguh ia telah diberikan kebaikan dunia dan akhirat: Hati yang bersyukur, lisan yang berzikir, jiwa yang sabar atas musibah, serta istri yang tidak berkhianat atas dirinya dan hartanya. ” (HR. At Tabrani di Mu’jam al Kabiir: 11275 dengan sanad yang lemah, kendati demikian makna yang terkandung di dalamnya benar).
Dalam hadis lain Rasulullah bersabda, “Tidaklah Allah mengaruniai seorang hamba sifat syukur kemudian diharamkan baginya tambahan nikmat, sebab Allah berfirman:
لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ
Artinya: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu”. (QS. Ibrahim: 7).
(HR. Ibnu Mandah, dalam Amali: 363).
Dengan nada serupa, Hasan Al Basri berkata, “Sesungguhnya Allah (dengan kehendak-Nya) mengaruniai nikmat pada seorang hamba, jika nikmat tersebut tidak disyukuri maka Dia akan menjadikannya sebagai azab.”
Oleh karena itu, para salaf terdahulu menamakan syukur sebagai al Hafizh (yang menjaga) sebab dengannya nikmat yang ada akan terjaga, sebagaimana juga mereka menamakannya sebagai al Jaalib (yang mendatangkan) sebab dengannya ia mendatangkan nikmat yang hilang. Sehingga para ulama mengatakan, “Jagalah nikmat dengan mensyukurinya”.
Adapun cara mensyukuri nikmat maka dengan pengakuan dalam hati bahwa pemberi nikmat semata-mata hanya Allah, kemudian mengakuinya dengan lisan, serta menggunakan nikmat tersebut pada hal yang diridai Allah.
Abu Qilabah berkata, “Kalian tidak akan dimudaratkan oleh dunia selama kalian mensyukurinya”. Sebab kehidupan dunia beserta segala isinya merupakan di antara nikmat yang Allah karuniakan kepada para hamba-Nya.
Dengan banyak bersyukur, maka akan menjadi sebab seorang hamba senantiasa cinta kepada Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Sulaiman ad Daraani, salah seorang tabiin dari kalangan junior.
Dengan memperbanyak syukur menjadi sebab tidak akan dibinasakan, oleh karenanya Abul ‘Aliyah Al Riyahi pernah berkata, “Sesungguhnya saya berharap seorang hamba tidak dibinasakan di antara dua perkara: nikmat yang ia syukuri dan dosa yang ia beristigfar darinya”.
Di antara potret salaf yang sangat menjaga rasa syukurnya adalah seperti yang disebutkan oleh ibnu Abi Ad Dunia dalam kitabnya “Al Syukr” bahwasanya Rabi’ bin Abi Rasyid melewati seorang lelaki yang sedang diuji dengan sebuah penyakit, lantas ia senantiasa memuji Allah sembari menangis, maka dikatakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Saya mengingat penduduk surga dan penduduk neraka, lalu saya mengumpamakan penduduk surga sebagai golongan yang dikarunia kesehatan sempurna, sementara penduduk neraka sebagai golongan yang diuji dengan musibah, maka itulah yang membuatku menangis”.
Tentu masih sangat banyak kisah para salaf yang berhubungan dengan rasa syukur mereka atas nikmat yang Allah berikan kepada mereka, mereka takut nikmat tersebut diubah menjadi azab, bagaimana mereka takut menjadikan nikmat sebagai wasilah untuk bermaksiat, serta berbagai cara usaha yang dilakukan agar nikmat terjaga.
Semoga apa yang telah disebutkan di atas menyadarkan kita semua akan urgensi untuk memiliki sifat syukur sehingga dengannya mampu menjaga nikmat dan bahkan mendatangkan nikmat-nikmat Allah yang lainnya.