Syariat Ambigu (2)
SYARIAT AMBIGU (2)
- Syariat Islam bukanlah sebuah misteri
Bilamana soalan (ambiguitas syariat) diteliti secara cermat dengan mengamati efek yang ditimbulkannya, maka Anda akan menyadari betapa besar cacat intelektual yang dikandungnya, Anda juga akan terheran-heran betapa para pengusungnya larut dalam dampaknya yang berbahaya.
Sikap skeptis terhadap kewajiban berhukum atau kepastian otoritas syariat lantaran adanya multitafsir dan keragaman aplikasi mengindikasikan bahwa syariat yang diperintahkan untuk diterapkan hanyalah sebuah misteri kompleks dan proses sulit yang tidak kita paham cara berinteraksi dengannya. Mengindikasikan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berhukum dengan yang Dia turunkan, sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.” (QS. Al-Maidah: 49).
Akan tetapi kita tidak mengetahuinya?
Allah juga memvonis kufur, zalim dan fasik atas siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44).
Juga firman-Nya:
Artinya: “Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 45).
Allah juga berfirman:
Artinya: “Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.“ (QS. Al-Maidah: 47).
Tetapi kita tidak mengetahui siapa saja yang termasuk dalam kriteria-kriteria tersebut?
Kemudian Allah Ta’ala memuji hukum (syariat-Nya), Allah berfirman:
Artinya: “Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?“ (QS. Al-Maidah: 50).
Hukum tersebut pasti terbaik, akan tetapi kita tidak mengenalnya?
Lantas apakah hukum terbaik yang terdapat dalam kitab suci yang membawa petunjuk, penyembuh dan penjelasan, hanya karena terdapat multitafsir kemudian tiba-tiba menjadi ambigu, rancu dan tidak diketahui esensi dan kebenarannya?
Sungguh aneh jika hukum positif produksi akal manusia begitu jelas dan terang, sedangkan kaum muslimin tidak mampu mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah bagi hamba-hamba-Nya!
Tatkala prinsip dasar implementasi syariat yang berlandaskan dalil-dalil valid diklaim penuh ilusi dan begitu pelik, ini mendorong kita untuk mengklaim bahwa konsep hukum lainnya jauh lebih pelik lagi, akhirnya kita harus menghentikan penelitian dan aplikasi semua konsep dengan alasan multitafsir.
Saat kita menuntut implementasi syariat, esensinya kita berbicara tentang identitas umat, agama dan budayanya, tentang hukum yang mengatur umat Islam selama puluhan abad, otoritasnya menyebar ke Timur dan Barat, tunduk padanya berbagai negara, pemerintahan dan peradaban, terapan hukum-hukumnya serta penjelasan tujuannya telah ditulis oleh ilmuan Arab dan ‘ajam (non Arab) di sepanjang masa sampai saat ini, artinya kita tidak sedang membahasa sesuatu yang misteri atau baru saja ditemukan.
Mengekspos otoritas syariat dengan penuh misteri dan keanehan adalah bagian dari distorsi sekuler guna menutupi sikap buruknya terhadap referensial syariat. Sebab, hukum syariat adalah asas bukan pengecualian, yang aneh adalah saat umat ini berhukum dengan hukum positif buatan manusia.
- Sikap kita terhadap multiinterpretasi
Terbukti sudah bahwa perspektif yang meremehkan syariat sebab adanya multiinterpretasi di dalamnya adalah perspektif yang cacat, kontraindikasi dan jauh dari fakta ilmiah. Lantas, bagaimana sikap kita terhadap perbedaan pendapat dan interpretasi yang bervariasi terkait hukum-hukum syariat?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengetahui tiga tingkatan dalam memahami perbedaan pendapat yang ada:
Pertama, terdapat ruang sangat luas bagi syariat yang pasti tanpa perbedaan pendapat, bahkan ia menjadi konsensus ulama Islam, fakta ini menggugurkan tuduhan di atas, sebab tidaklah semua hukum diperselisihkan. Meski ulama berbeda pendapat dalam masalah furu’ di bab salat, zakat, puasa dan haji umpamanya, tetapi tiada satu pun orang berakal sehat yang meyakini bahwa perbedaan pendapat dalam bab-bab tersebut mengindikasikan ada perbedaan dalam dasar kewajiban salat, zakat, puasa dan haji.
Kedua, hukum-hukum syariat yang menjadi bahan perbedaan pendapat hanya terbatas pada kerangka fikih tertentu, di mana para ahli fikih sepakat bahwa perbedaan tidak keluar dari batas kerangka tersebut. Misalnya perbedaan pendapat tentang hukum salat berjamaah antara mazhab yang menganggap wajib dengan mazhab yang menganggapnya sunah, maka perbedaan dalam masalah ini tidak melampaui hukum sunah atau wajib, adanya perbedaan dalam masalah ini bukan berarti boleh mendatangkan tafsir hukum baru yang menyatakan bahwa salat jamaah hukumnya mubah, makruh atau haram.
Ketiga, syariat menyuguhkan metodologi ilmiah untuk menyikapi perbedaan pendapat serta tata cara memilih pendapat yang paling dekat dengan kebenaran. Metode ini mengharuskan para mujtahid merujuk pada Alquran dan Sunah Nabi, menemukan substansi hukum berdasarkan metodologi fikih, kaidah-kaidah dan maqashid (tujuan) umum untuk memahami kehendak Allah di dalam nas tersebut. Ini merupakan metodologi valid yang menjadi konsensus kaum muslimin. Kendati kesimpulan hukumnya berbeda, akan tetapi semua bertolak dari metodologi dan referensi yang satu, sehingga perbedaan pendapat yang muncul kembali kepada cara mengaplikasikan metodologi, bukan pada metodologi itu sendiri.
Ketiga level tersebut menetapkan bahwa yang dituntut bukanlah mengikuti pendapat tertentu, tidak pula memaksakan ijtihad khusus. Hanya saja kewajiban kita adalah mengikuti referensi syariat, bukan referensi ulama, kelompok, atau negara tertentu. Implementasi syariat tidak mesti dibatasi dengan pemahaman khusus individu atau jamaah, melainkan mengharuskan mengikuti syariat, yang berarti:
- Tidak melampaui ketentuan-ketentuan dasar syariat yang pasti.
- Ditetapkan dengan metodologi yang benar dalam menetapkan hukum-hukum syariat.