Sumber Pengambilan Aqidah Bagi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Hampir semua sekte-sekte keislaman merujuk kepada Al-Qur’an dan sunnah Nabi, baik sekte yang masih eksis dengan nama dan ajarannya ataupun yang ajaran dan pemikirannya telah terinternalisasi pada sekte-sekte dan kelompok-kelompok Islam kontemporer, tanpa muncul dengan namanya yang dikenal pada masa silam.Tentunya dengan manhaj dan caranya masing-masing. Hal yang membedakan antara satu atau sejumlah sekte dengan sekte yang lainnya adalah sikap terbuka atau tertutup mereka dalam menjadikan sumber-sumber selain Al-Qur’an dan sunnah sebagai rujukan dalam persoalan aqidah.
Jika berbagai sekte lainnya membuka diri dalam mengambil persoalan aqidah dari selain Al-Qur’an dan sunnah, semisal; akal, mimpi, pesan guru-guru, tradisi nenek moyang dan sebagainya, maka salah satu ciri khas yang membedakan Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau salafus shaleh dari sekte-sekte Islam lainnya adalah, Ahlus Sunnah membatasi sumber pengambilan aqidahnya hanya pada Al-Qur’an, Sunnah yang sahih dan ijmak/konsensus salafush shalih. Dalam persoalan aqidah, mereka tidak mengambil, menetapkan dan menyakini suatu persoalan kecuali dari kedua atau ketiga sumber tersebut.
Sebagian ulama Ahlus Sunnah hanya menyebutkan sumber pertama dan kedua saja, tanpa menyebutkan ijmak. Karena ijmak yang muktabar, hanya yang berdasar pada Al-Qur’an dan sunnah shahih. Olehnya sebagian ulama hanya mencukupkan dengan kedua sumber tersebut.
Berbeda dengan persoalan aqidah, meski dengan porsi terbatas, dalam persoalan akhlak yang dijunjung tinggi agama atau cara tertentu dalam bermu’amalah dan semacamnya, diakui bahwa sumber pengambilannya tidaklah terbatas pada kedua sumber tersebut. Dalam persoalan ini Islam mentolerir dan dapat mengadopsinya dari uruf atau tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah. Adapun persoalan aqidah, maka sumber pengambilannya hanya Al-Qur’an dan sunnah. Aqidah tidak boleh diambil dari uruf/tradisi masyarakat atau sumber lainnya.
Bagi Ahlus Sunnah, pembatasan sumber pengambilan aqidah pada keduanya saja dikarenakan beberapa hal, antara lain:
Pertama; persoalan aqidah bersifat gaib, sedang perkara gaib tidak dapat diketahui kecuali melalui wahyu. Karena logika manusia tidak dapat mengetahui hakikat sesuatu yang gaib. Walaupun dalam beberapa hal tertentu, logika dapat mengakui eksistensinya secara global. Misalnya, eksistensi Allah, logika manusia dapat mengetahui bahwa Allah itu benar-benar dengan suatu pengamatan terhadap makhluk. Yaitu dengan menyimpulkan bahwa makhluk yang ada pasti ada yang menciptakan, karena tidak mungkin tercipta sendiri, dan mustahil ia menciptakan dirinya sendiri. Akan tetapi persoalan detail tentang sifat-sifat dan nama-nama, atau hakikat sifat Allah tidak dapat dijangkau oleh akal.
Demikian juga, secara logika, manusia dapat mengetahui eksistensi hari akhir, akan tetapi manusia tidak dapat mengetahui hakikat kehidupan akhirat dengan logikanya. Manusia hanya dapat mengetahuinya lewat wahyu Allah, yaitu Al-Qur’an dan sunnah yang shahih.
Hal-hal ghaib hanya diketahui Allah, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (QS. Al-An’am: 59). Dan firman-Nya: “Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml: 65).
Tidak satu pun di antara makhlukNya mengetahui perkara ghaib kecuali hal-hal yang diwahyukan Allah diturunkan kepada Nabi dan Rasul. Allah berfirman:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (26) إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya.” (QS. Al-Jin: 26-27).
Nabi pun telah diperintah oleh Allah untuk menegaskan kepada umatnya bahwa beliau tidak mengetahui hal-hal ghaib kecuali yang diwahyukan kepadanya. Allah berfirman:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (QS. Al-An’am: 50)
Karenanya, ketika Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha dituduh berbuat serong, Nabi tidak mengetahui kejadian yang sesungguhnya hingga Allah turunkan wahyu yang membebaskannya dari tuduhan tersebut.
Nabi-nabi yang lain juga demikian, Nabi Ibrahim dan Nabi Luth tidak mengetahui bahwa tamu yang bertamu kepadanya adalah para Malaikat kecuali setelah malaikat tersebut memberitahunya bahwa mereka adalah Malaikat yang diutus Allah untuk menghancurkan kaum Luth. Nabi Ya’qub juga tidak mengetahui kejadian yang sesungguhnya terjadi pada diri putranya Yusuf saat diceburkan ke dalam sumur, dan tidak mengetahui di mana dan bagaimana hidupnya setelahnya hingga Allah mempertemukannya kembali. Demikian juga Nabi Sulaiman dan Nabi Nuh, mereka tidak mengetahui perkara ghaib. Nabi Nuh tidak mengatahui bahwa putranya bukanlah keluarganya yang dapat diselamatkan hingga Allah menyampaikannya kepadanya. Sedang Nabi Sulaiman tidak mengetahui kerajaan Ratu Balqis hingga burung Hudhud memberitahunya.
Para Malaikat juga demikian, mereka tidak mengetahui perkara ghaib kecuali yang Allah ajarkan kepada mereka. Saat mereka diminta menyebutkan nama-nama makhluk pada waktu Allah hendak menciptakan Adam, mereka mengakui kelemahan ilmunya dan mengatakan: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami”. (QS. Al-Baqarah: 31). (lihat Tafsir Adhwa’ al-Bayan: 2/230-232).
Semua ini membuktikan bahwa karena persoalan aqidah bersifat ghaib maka tidak dapat diambil selain dari sumber yang datang dari Allah, yaitu Al-Qur’an dan sunnah yang shahihah.
Kedua; referensi yang diperintahkan Allah untuk dirujuk, utamanya pada saat terjadi perselisihan hanyalah Al-Qur’an dan sunnah. Alla berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ [النساء: 59]
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).” (QS. An-Nisa: 59).
Arti mengembalikan kepada Allah adalah merujuk kepada Al-Qur’an, dan arti kembali kepada Rasul adalah kembali langsung kepada beliau di saat masih hidup dan kepada sunnahnya setelah beliau wafat, sebagaimana ditegaskan oleh Mihran bin Maimun, Mujahid dan sejumlah ahli tafsir lainnya dari kalangan salaf. (Lihat: Tafsir at-Thabari: 8/505).
Berbeda dengan perkara ketaatan, Allah memerintahkan orang-orang untuk taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri, sebagaimana ditegaskan di awal ayat tersebut. Sedang dalam hal rujukan dan sumber pengambilan agama, ayat ini membatasinya pada Al-Qur’an dan sunnah. Sekiranya ada rujukan selain dari kedua sumber tersebut maka yang lebih pantas dijadikan rujukan adalah ulil amri yang disebut di awal ayat. Tetapi Allah tidak menyebutnya, padahal dalam perkara ketaatan Allah menyebutnya setelah perintah taat kepada Rasul. Hal ini menunjukkan bahwa sumber rujukan dalam perkara keagamaan, utamanya perkara aqidah hanya Al-Qur’an dan sunnah. Penegasan ini dapat dipahami pula dari ayat berikutnya, karena ayat sesudahnya berbicara dalam konteks celaan kepada orang orang-orang ingin merujuk kepada thagut sedang mereka mengaku beriman kepada wahyu yang turun dari Allah. (Lihat: Tafsir Adhwa’ al-Bayan: 1/392).
Ketiga; pembatasan ini juga didasarkan pada prinsip Rasulullah tidak diwafatkan Allah kecuali setelah beliau menyampaikan semua persoalan agama secara umum dan aqidah secara khusus. dan bahwa agama Islam telah sempurna sebelum Nabi Wafat, sebagaimana Allah firmankan: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Aku ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 5).
Atas dasar kedua prinsip ini maka tidak dibutuhkan lagi selain Al-Quran dan sunnah sebagai sumber pengambilan aqidah. Konsekuensi mengambil persoalan aqidah dan agama selain dari keduanya adalah tuduhan bahwa agama belum sempurna dan bahwa Nabi tidak menyampaikan semua persoalan agama dan aqidah secara khusus.
Sekiranya terdapat sumber lain, niscaya Rasul menyebutkan dan menyuruh umatnya untuk merujuk kepadanya pada waktu beliau bersabda:
«تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي…»
“Aku telah tinggalkan di tengah kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat sesudahnya jika kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” (HR. Hakim dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ al-Shagir, no. 2937 & 3232). Tetapi kenyataannya tidak demikian, maka sumber rujukan aqidah hanya kedua warisan tersebut.
Juga sekiranya dibenarkan merujuk kepada selain Al-Qur’an dan sunnah, niscaya Nabi tidak mengingkari tindakan Umar bin Khattab saat membawa lembaran Taurat ke hadapannya. Hingga Nabi marah dan berkata kepadanya: “Apakah Anda ragu wahai Ibn Khattab? Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya; sungguh Aku datang kepada kalian dengan petunjuk yang terang benderang. Jangan kalian bertanya kepada mereka karena boleh jadi mereka menyampaikan kebenaran lalu kalian menolaknya, atau mereka menyampaikan kebatilan lalu kalian membenarkannya. Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya; sekiranya Musa masih hidup niscaya ia tidak memiliki pilihan kecuali ia harus mengikuti aku.” (HR. Ahmad no:15156 dengan sanad yang lemah, tetapi dihasankan oleh Al-Albani dalam al-Irwa’ no: 1589).
Jika sikap Nabi demikian tegas terhadap orang yang ingin menjadikan Kitab yang diturunkan kepada selain Nabi yang diutus kepadanya sebagai sumber pengambilan aqidah dan agamanya, bagaimana lagi sikapnya terhadap orang yang sumber pengambilan aqidah dan agamanya selain dari wahyu seperti akal dan semacamnya terlebih lagi orang yang mendahulukan akal atas wahyu tersebut. (Lihat: Jala’ al-Afham, Ibn al-Qayyim, hal. 180).
Keempat; Larangan mengikuti sesuatu hal dalam perkara keagamaan secara umum dan persoalan aqidah secara khusus tanpa dasar ilmu, Allah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا [الإسراء: 36]
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”(QS. Al-Isra’: 36). Sementara mengambil persoalan aqidah dari selain Al-Qur’an dan sunnah merupakan salah tindakan mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmu.
Larangan mengikuti sesuatu di luar Al-Qur’an dan sunnah, khususnya dalam perkara aqidah, dapat dipahami dari ayat yang menyebutkan secara bertingkat lima perkara yang diharamkan Allah, yaitu firman-Nya:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ [الأعراف: 33]
“Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”. (al-A’raf: 33).
Dua perkara haram yang terakhir dalam ayat ini adalah larangan melakukan kesyirikan dan larangan mengatakan atau mengada-adakan sesuatu atas nama Allah. Ini mempertegas larangan mengambil persoalan aqidah dari selain Al-Qur’an dan sunnah.