Sosok Teladan Sepanjang Zaman
Sering kali kita terperangkap pada prinsip yang keliru dalam memahami metode nasihat dan bimbingan. Banyak di antara kita yang terlalu monoton memberikan bimbingan hanya lewat ceramah dan bincang-bincang keagamaan, dan melupakan metode paling ampuh dalam proses perbaikan dan pengaderan, yaitu keteladanan. Padahal satu keteladanan bisa lebih dahsyat pengaruhnya dibanding seribu nasihat. Demikian ungkapan ahli bijak dalam melukiskan urgennya keteladanan dalam proses bimbingan dan pembinaan. Perkara ini tentunya merupakan salah satu pilar penting agama islam. Bahkan ia tak hanya dikaji dalam nash Al-Quran ataupun Sunnah, namun Allah ta’ala juga telah menyiapkan satu sosok teladan agar semua umat manusia di setiap tempat dan di sepanjang zaman bisa menyaksikan contoh dan permisalan teladan ini secara nyata lewat praktek amali dalam diri seorang manusia biasa. Sebagaimana dalam firman suci-Nya:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzaab: 21).
Beliau sebagai Nabi dan sosok teladan yang dipilih langsung oleh Allah ta’ala tentunya memiliki sifat dan prilaku yang istimewa dan penuh keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan beserta lika-likunya. Dalam salah satu hadis, beliau bersabda: “Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik).” (HR Ahmad: 2/381, dan Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 273)
Sebab itu, Allah ta’ala secara jelas menyanjung beliau dengan setinggi-tingginya sanjungan dalam firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: “Sungguh engkau (Muhammad) berada di atas tataran akhlak yang tinggi, agung.” (QS. Al-Qalam 68:4)
Dalil-dalil agung ini menunjukkan bahwa beliaulah yang paling berhak dijadikan profil percontohan untuk urusan kehidupan. Karenanya memang pantas bila Allah mewajibkan kita untuk selalu taat mengikuti perintah dan prilaku beliau, bahkan menganugerahkan orang-orang yang meneladani dan taat kepadanya sebagai orang-orang yang mendapatkan kemenangan dan surga-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya: (artinya): “…Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.” (QS An-Nisaa: 13).
Jadi, hakikat bahagia dan kesuksesan dunia akhirat adalah tergantung pada banyak tidaknya prilaku dan akhlak yang kita transfer dari uswah (keteladanan) yang beliau sunnahkan dalam kesehariannya. Hanya saja, tak jarang di antara kita yang mengerdilkan hakikat uswah ini hanya pada tingkah laku, akhlak, muamalah, dan ritual ibadah yang lebih cenderung bersifat sunnah fi’liyah (sunnah berupa amalan), tanpa memperhatikan sunnah tarkiyyah yaitu sikap meninggalkan amalan buruk dan akhlak yang tidak pantas, yang juga beliau tinggalkan bahkan mentahdzir kita darinya. Problem inilah yang sering kali membuat banyak umat islam meremehkan banyak maksiat dan dosa, walaupun masih mengagungkan perintah bahkan melaksanakannya. Betapa banyak orang yang shalat, puasa dan mengerjakan kebajikan, namun tak sanggup melepaskan diri dari jeratan maksiat dan dosa. Ini merupakan salah satu dampak buruk kerdilnya memahami keteladanan dan keagungannya hanya pada sunnah fi’liyyah tanpa memberikan keagungan sepertinya pada sunnah tarkiyyah. Seandainya porsi pengagungan semua orang terhadap keduanya setara, niscaya keteladanan dari dua segi ini akan berimbang dan sempurna, serta pelakunya berhak meraih kemenangan dan surga-Nya.
Uswah yang ada dalam diri Rasulullah shallalahu’alaihi wasallam adalah suatu gambaran kesempurnaan dari satu sosok teladan, tak sebaik dan seistimewa sosok teladan lainnya dari kalangan anak Adam. Keteladanan yang beliau usung tergambarkan dalam tiga komponen penting yang menjadi dasar tolak ukur ketokohan dan figuritas dalam kacamata islam yaitu:
Pertama: Keteladanan dalam beribadah dan berinteraksi dengan Sang Khaliq. Ini nampak dari keseharian beliau yang lebih menitik beratkan orientasi kehidupan beliau pada sikap zuhud, ibadah dan munajat kepada Allah ta’ala.
Kedua: Keteladanan dalam bergaul dan berinteraksi dengan manusia lainnya, baik dalam ruang lingkup keluarga, masyarakat maupun kehidupan bernegara. Hal ini beliau lakukan sebagai bagian dari makhluk sosial. Dalam muamalah beliau, terdapat banyak contoh dan suri teladan yang begitu banyak dan mulia, yang semuanya membuktikan besarnya perhatian beliau terhadap tatanan sosial beserta problem-problemnya. Tidak hanya menjadi seorang pemimpin dan penentu kebijakan semata, namun lebih dari itu beliau juga turut andil dengan berbagai kontribusi secara langsung di tengah para sahabatnya.
Ketiga: Keteladanan dalam meninggalkan jejak penyebaran dan perjuangan islam. Uswah yang beliau tunjukkan tidak hanya berkutat pada masalah ibadah dan muamalah, tapi juga dalam jalan perjuangan dakwah dan jihad demi meninggalkan warisan positif di tengah-tengah umat manusia. Ini terbukti berbuah hasil sebab beliau tidaklah wafat melainkan Jazirah Arab telah sukses beliau bersihkan dari penyembahan berhala dan kesyirikan, serta berhasil menghasilkan kader-kader dakwah dan jihad dalam komunitas para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Tiga komponen figuritas dan keteladanan inilah yang tertanam dalam diri beliau dan harusnya menjadi prioritas amaliyah setiap muslim dalam kehidupan ini, bukan demi mengejar derajat kefiguran, tapi lebih dari itu agar bisa meneladani sosok beliau secara sempurna.
Sikap menjadikan beliau sebagai teladan dan idola dalam kehidupan ini merupakan salah satu ciri orang-orang yang selalu mengharapkan perjumpaan yang indah dengan Rabb mereka, dan menginginkan keselamatan di akhirat kelak: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzaab: 21).
Bahkan ia juga merupakan bentuk kecintaan seorang hamba terhadap Allah ta’ala dan ketaatan terhadap perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mana pelakunya akan mendapatkan kecintaan dari Allah dan diberikan ampunan yang berlimpah, sebagaimana dalam firman suci-Nya:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
Artinya: “Katakanlah, ‘Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’.” (QS Ali Imran: 31). Wallaahu a’lam.