Fikih

Hakikat Zikir, Bentuk dan Tingkatannya

Zikir merupakan salah satu amalan utama yang banyak disebutkan keutamaan dan balasannya di dalam Alquran dan sunnah. Ia mengantarkan pelakunya meraih derajat tertinggi di sisi Allah. Pelakunya digelari oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai al-mufarridun karena dipandang sebagai para pemenang kompetisi.

Di sisi lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menganalogikan orang yang senantiasa berzikir kepada Allah dan orang yang tidak berzikir kepadaNya dengan orang hidup dan orang mati. Orang yang rajin berzikir dipandang sebagai orang yang hidup sedang yang tidak berzikir diibaratkan sebagai orang mati.

Keistimewaan zikir tidak akan dibahas dalam artikel ini. Artikel ini hanya akan membahas hakekat zikir, bentuk dan tingkatannya.

Pengertian Zikir

Secara etimologi, zikir dalam Bahasa Arab mengandung beberapa makna antara lain: mengingat, menghapal, menyebut, dan memuji.

Ibnu Faris memandang bahwa zikir adalah antonim dari lupa, ia berkataذكرتُ الشيءَ خلاف نسيتُهُ.  (saya menyebut atau mengingat sesuatu, kebalikan dari saya lupa sesuatu tersebut).

Secara istilah, zikir adalah upaya membebaskan diri dari sifat lalai dan lupa kepada Allah (lihat: Madarij al-Salikin karya Ibnul Qayyim: II/405).

Ragib al-Asfahani mendefinisikan zikir sebagai ingatan kepada Allah yang terbetik di hati atau terucap lewat lisan. Karenanya zikir dibagi dua; yaitu zikir hati dan zikir lisan. (lihat: al-Mufradat fi Garib al-Quran, hal. 328).

Dari definisi ini dipahami bahwa zikir memiliki pengertian yang luas, hingga mencakup segala hal yang berhubungan dengan ingat kepada Allah. Baik yang hanya berupa hadirnya ingatan kepada Allah di dalam hati tanpa diungkapkan dengan lisan, atau ungkapan yang berupa penyebutan nama dan sifat Allah atau hukum-hukumnya meski tanpa dibarengi dengan ingatan hati, atau gabungan antara ingatan hati dan ucapan lisan yang berkenaan dengan nama, sifat dan hukum-hukum Allah.

Karenanya majelis-majelis yang di dalamnya nama, sifat dan hukum-hukum Allah disebut-sebut maka ia termasuk sebagai majelis zikir. Nabi bersabda:

إِنَّ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلَائِكَةً سَيَّارَةً، فُضُلًا يَتَتَبَّعُونَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ، فَإِذَا وَجَدُوا مَجْلِسًا فِيهِ ذِكْرٌ قَعَدُوا مَعَهُمْ

“Sesungguhnya Allah memiliki banyak malaikat yang berkeliling mencari majelis-majelis zikir, jika mereka menemukan majelis yang di dalamnya terdapat zikir maka mereka duduk bersama peserta majelis tersebut”. (HR. Muslim No. 2689).

Baca Juga  Hukum Isbal Bagi Wanita

 Imam Atha’ berkata: “majelis zikir adalah majelis yang di dalamnya dibicarakan tentang halal-haram; bagaimana anda membeli, menjual, salat, puasa, kawin, talak, haji dan lain sebagainya”. (lihat: al-Azkar karya Imam Nawawi hal. 9).

Imam Nawawi menegaskan “ketahuilah bahwa keutamaan zikir tidak terbatas pada tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan semacamnya, tetapi semua orang yang melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala maka ia adalah orang yang berzikir kepada Allah. Demikian ungkapan Said bin Jubair dan ulama lainnya”. (lihat: al-Azkar hal. 9).

Bentuk-Bentuk Zikir   

Imam Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa zikir kepada Allah terbagi tiga bentuk:

Bentuk pertama, berzikir dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah, memuji Allah dan mentauhidkan dengannya, serta mensucikannya dari segala sifat yang tidak layak bagiNya. Bentuk zikir ini terbagi dua, yaitu:

  1. berzikir dengan menyebut lafaz nama dan sifat Allah, ini yang banyak disebut dalam hadis, seperti membaca zikir: سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ, atau zikir: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ, atau zikir: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ، وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.
  2. berzikir dengan menyebut hukum-hukum dan karakter dari nama dan sifat Allah. Seperti mengatakan bahwa Allah maha mendengar suara hambaNya, maha melihat gerakan dan perbuatan hamba, tidak ada amalan hamba yang terluput dari pengetahuan Allah, Allah lebih penyayang kepada hambaNya daripada kasih saying orang tua mereka kepada anak-anaknya, dan ungkapan semacamnya.

Zikir bentuk ini dapat berupa hamd, tsana’ dan majd. Ketiganya merupakan model zikir dan pujian kepada Allah. Zikir dikatakan hamd jika ia berbentuk informasi tentang Allah dengan menyebut sifat-sifatnya yang lahir dari kecintaan dan keridaan hamba kepadaNya. Jika zikir model ini berulang-ulang maka ia berubah dari hamd menjadi tsana. Dan jika zikir yang berulang-ulang (tsana’) itu berupa zikir yang berbentuk pujian spesifik berupa sifat-sifat keagungan, kebesaran dan kekuasaan Allah maka ia menjadi majd. Ketiga bentuk ini (hamd, tsana, majd) telah dikumpulkan oleh Allah buat hamba-hambaNya saat mereka membaca awal surat al-Fatihah. Nabi shallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadis qudsi:

Baca Juga  Selayang Pandang Fikih Ibadah (4)

قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} [الفاتحة: 2]، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} [الفاتحة: 1]، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي.

“Allah berfirman: Aku telah membagi salat (surat al-Fatihah) antar diriku dengan hambaKu menjadi dua bagian. Dan bagi hambaKu apa saja ia minta. Jika hamba membaca: alhamdu lillahi rabbil alamin, maka Allah berfirman: hamidani abdi (aku telah dipuji hambaku), dan jika hamba membaca: arrahmani arrahim, maka Allah berfirman: atsna alaiyya abdi (aku telah dipuji hambaku), dan jika hamba membaca: maliki yaumiddin, maka Allah berfirman: majjadani abdi (aku telah dipuji hambaku).” (HR. Muslim No. 395).

Bentuk kedua, berzikir dengan menyebut perintah dan laranganNya atau hukum-hukumnya. Zikir bentuk ini juga terbagi dua, yaitu:

  1. Berzikir dengan menyebut berbagai informasi dari Allah bahwa Allah memerintahkan, melarang, mencintai, meridai, atau memurkai perbuatan tertentu dengan menyebut perbuatan atau ucapan tertentu tersebut.
  2. Berzikir dengan mengingat Allah saat berhadapan dengan perintahNya lalu ia bersegera mengerjakannya, dan saat berhadapan dengan laranganNya lalu ia bersegera menjauhinya.

Bentuk ketiga, berzikir kepada Allah dengan mengingat atau menyebut karunia, nikmat, pemberian, kebaikan dan kedermawananNya kepada hamba-hambaNya.  

Tingkatan Zikir

Zikir kepada Allah dapat berupa zikir dengan hati saja, atau zikir dengan lisan semata atau zikir dengan hati dan lisan secara terpadu. Dari sini ini, sebagian ulama seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu Qayyim dan yang lainnya menata tingkatan zikir menjadi tiga, yaitu:

Tingkatan tertinggi adalah zikir terpadu dengan lisan dan hati, yaitu saat lisan menyebut nama, sifat dan hukum-hukum Allah maka hati turut mengingat dan meresapi ucapan lisan.

Tingkatan pertengahan adalah zikir qalbi yaitu zikir yang hanya lewat hati semata, dengan meresapi dan menghadirkan di dalam hati nama, sifat dan hukum-hukum Allah tanpa diungkapkan dengan lisan.

Baca Juga  Prinsip dan Etika Bisnis dalam Islam

Tingkatan terendah adalah zikir lisan, yaitu zikir yang hanya lewat lisan semata tanpa kehadiran nama, sifat dan hukum-hukum Allah yang diucapkan oleh lisan di dalam hati saat lisan bergerak mengucapkan atau membacanya.

Dalam memilih zikir hati sebagai peringkat yang lebih tinggi dari zikir lisan, Ibnu Qayyim berargumentasi bahwa zikir qalbi ini dapat membuahkan makrifat, menumbuhkan rasa cinta, memunculkan rasa malu, melahirkan rasa takut, mendorong perasaan muraqabah, menahan diri dari rasa malas beribadah dan condong kepada kemaksiatan dan dosa. Sedang zikir lisan semata tidak dapat menghasilkan semua itu, dan sekiranya dapat menghasilkan sebagiannya maka tidak akan maksimal. (lihat: al-Azkar karya Imam Nawawi hal. 9, al-Wabil al-Shayyib karya Ibnu Qayyim hal. 190, Madarij al-Salikin: II/403).

Di tempat lain, Ibnu Qayyim mencatat bahwa zikir seorang hamba kepada Allah mengundang dua jenis zikir dari Allah kepada hamba tersebut. Yaitu zikir Allah kepada hamba sebelum ia berzikir kepadaNya, yang dengannya ia mampu berzikir kepada Allah, dan zikir Allah kepadanya pasca ia berzikir kepadaNya, yang dengannya ia menjadi hamba yang mazkur (diingat) oleh Allah. Lalu Ibnu Qayyim menukil firman Allah:

{فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ} [البقرة: 152]

“Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu”. (QS. Al-Baqarah: 152).

Dan sabda Rasululullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadis qudsi:

مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ مِنَ النَّاسِ، ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ أَكْثَرَ مِنْهُمْ وَأَطْيَبَ

“Barangsiapa mengingatKu di dalam dirinya niscaya Aku mengingatnya di dalam diriKu, dan barangsiapa menyebutKu di hadapan orang banyak niscaya Aku menyebut-nyebutnya di hadapan makhluk yang lebih banyak dan lebih baik (para malaikat).” (HR. Ahmad No. 8650).

Dari ulasan di atas, dapat dipahami bahwa berzikir kepada Allah sangat luas batasan dan bentuknya. Dan ia dapat ditunaikan dengan hati dan lisan secara terpadu atau dengan salah satunya; dengan hati atau dengan lisan saja.

Salahuddin Guntung, Lc., MA., Ph.D.

Alumni S3, Bidang Aqidah & Pemikiran Kontemporer, King Saud University, Riyadh, KSA.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
Klik
Kami siap melayani anda
Anda terhubung dengan admin
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ada yang bisa kami bantu?