Sikap Seorang Muslim Terhadap Pemahaman Salaf
Dalam artikel sebelumnya telah disinggung tentang esensi pemahaman salaf. Di dalamnya telah dikemukakan bahwa esensi pemahaman salaf adalah apa yang diketahui, dipahami dan disimpulkan oleh keseluruhan atau mayoritas para sahabat, tabiin dan atba’ tabiin dari keseluruhan nas-nas syariat atau sebagiannya sebagai sesuatu yang dimaksudkan Allah dan Rasul-Nya di dalam nas tersebut”.
Dapat dikatakan bahwa mencari dan memahami pemahaman salaf terhadap nas-nas syariat merupakan langkah kedua setelah menerima nas-nas Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam kaitan ini, Ibn Rajab menulis, “Yang harus diperhatikan dan diupayakan setiap muslim adalah mencari dalil yang datang dari Allah dan Rasul, lalu bersungguhsungguh melakukan upaya untuk memahami maknanya, kemudian membenarkan kandungannya jika terkait dengan perkara yang bersifat teoritis atau berupaya semaksimal mungkin mengamalkan kandungan yang berbentuk perintah dan meninggalkan yang berwujud larangan. Perhatian setiap muslim hendaknya total untuk itu, tidak perlu yang lain. Demikianlah sikap para sahabat Nabi dan para tabiin yang senantiasa mengikuti mereka dengan baik dalam mencari ilmu yang bermanfaat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah”(1).
Dalam hal ini, Ibn Rajab ingin menegaskan langkah praktis yang dilakukan oleh para sahabat dan tabiin dalam berinteraksi dengan nas-nas syariat. Yaitu, menerima, memahami, membenarkan dan mengamalkan kandungan nas Al-Qur’an dan Sunnah.
Langkah ini sangat penting untuk mengukur sejauh mana tingkat kebenaran pemahaman kita terhadap suatu nas syariat. Benarnya pemahaman seseorang terhadap nas syariat dengan merujuk kepada pemahaman sahabat atau salaf saleh dapat membentengi dirinya dari penyimpangan dan kesalahan yang telah menimpa banyak sekte dan kelompok sempalan di masa klasik dan kontemporer.
Di masa klasik, Sekte Khawarij menyimpang karena jauh dari pemahaman sahabat dalam memahami nas-nas wa’id (berkenaan dengan ancaman). Hal ini tampak dari argumentasi yang dikemukakan oleh Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu saat mendebat mereka di wilayah Nahrawan. Ibnu Abbas mengatakan kepada mereka: “Tak ada satu orang sahabat Nabi pun di antara kalian”. Penegasan Ibnu Abbas tersebut dimaksudkan bahwa memahami nas-nas syariat tidak bisa seenaknya, tetapi perlu merujuk kepada pemahaman sahabat Nabi atau salaf saleh secara umum.
Demikian pula, Sekte Murjiah menyimpang karena jauh dari pemahaman salaf terhadap nas-nas yang berkenaan dengan esensi keimanan dan nas-nas yang berkenaan dengan wa’d (janji Allah untuk orang-orang beriman).
Di era kontemporer ini, Neo Khawarij dan Neo Muktazilah yang berkutat pada nasnas wa’id juga masih mewarisi pemahaman yang menyimpang dari pemahaman salaf.
Cakupan Pemahaman Salaf terhadap Nas-nas
Pemahaman salaf saleh terhadap nas-nas syariat mencakup tiga hal berikut(2):
1- Ushul kulliyah (prinsip global) dari keseluruhan nas-nas Al-Qur’an dan Sunnah, baik yang berkenaan dengan persoalan akidah ataupun yang berkenaan dengan amal ibadah. Seperti pemahaman mereka tentang tidak bolehnya bertawasul dan meminta doa kepada orang yang telah wafat. Juga pemahaman dan penetapan mereka akan semua sifat-sifat Allah sesuai dengan makna lahir nasnya tanpa ditakwilkan.
2- Nas-nas Al-Qur’an atau Sunnah secara terpisah. Hal ini dapat diketahui dari penjelasan dan tafsiran mereka terkait nas tertentu dari Al-Qur’an dan Sunnah. Atau dari praktek mereka yang didasari atas nas tertentu. Atau argumentasi yang mereka bangun dari nas tertentu dalam membantah pemahaman tertentu. Pemahaman jenis ini perlu dipilah antara pemahaman sahabat dengan pemahaman tabiin atau atba’ tabiin dan mendahulukan pemahaman sahabat atas pemahaman tabiin. Juga perlu dipilah pemahaman yang merupakan konsensus dan yang bukan konsensus, dan didahulukan hasil konsensus atas yang non konsensus.
3- Hasil ijtihad dalam memahami suatu perkara yang tidak terdapat nas khusus yang terkait dengannya. Ijtihadnya hanya dibangun di atas keumuman nas-nas syariat dan maqasid syar’iyyah yang bersifat umum. Meski hasil ijtihad sahabat dalam memahami dan menyikapi suatu perkara yang tidak terdapat nas khusus terkait dengannya, namun sebagian para ulama mujtahid semisal Imam Asy-Syafi’iy dan Imam Ahmad tetap mendahulukannya atas pendapat pribadinya.
Kewajiban Muslim terhadap Pemahaman Salaf
Karena esensi pemahaman salaf adalah apa diinginkan dan dimaksudkan Allah dan Rasul-Nya dari nas-nas syariat maka kewajiban seorang muslim kepadanya adalah(3):
1. Membenarkan, mengimani dan tunduk secara total terhadap pemahaman tersebut jika nasnya termasuk nas ilmiah khabariyyah, yaitu nas yang berisi berita dan informasi.
2. Mengamalkan dan mempraktikkan pemahaman tersebut, jika nasnya termasuk nas amaliah yang menuntut pengamalan, yaitu dengan mengerjakan sesuatu yang perlu dikerjakan semaksimal kesanggupan dan meninggalkan sesuatu yang perlu ditinggalkan.
3. Mendiamkan sesuatu yang sebetulnya terdapat alasan yang cukup untuk ditetapkan sebagai suatu syariat di masa Nabi tetapi Allah dan Rasulnya mendiamkan dan tidak mensyariatkannya. Dan tidak menggunakannya sebagai bentuk dan sarana takarub kepada Allah.
4. Meninggalkan dan mengganggap bidah semua ibadah yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan oleh Nabi, padahal sesungguhnya terdapat alasan yang cukup untuk Nabi mengerjakannya.
5. Menetapkan kebolehan muamalat dan tradisi yang di dalamnya terdapat kemaslahatan yang sejalan dengan maqasid syari’ah, dan menganggap bahwa melarang atau mengharamkan jenis ini sebagai tindakan ekstremisme dalam agama.
(1) Lihat: Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 79.
(2) Lihat: Fahm al-Salaf al-Shaleh li al-Nushush al-Syar’iyyah wa al-Radd ‘ala al-Syubuhuhat haulahu, karya Prof. Dr. Abdullah ibn Umar Ad-Dumaiji, hal. 48-49.
(3) Lihat: Fahm al-Salaf al-Shaleh li al-Nushush al-Syar’iyyah wa al-Radd ‘ala al-Syubuhuhat haulahu, karya Prof. Dr. Abdullah ibn Umar Ad-Dumaiji, hal. 42.