Serial Fikih Muamalat (Bag. 1): Jual Beli
Definisi dan Hukum Jual Beli
Dalam bahasa Arab jual beli disebut dengan istilah al-Bay’ yang berarti mengambil dan memberikan sesuatu. Adapun secara istilah didefinisikan sebagai:
عقد معاوضة مالية تفيد ملك عين أو منفعة على التأبيد لا على وجه القربة
“Sebuah akad pertukaran harta dengan tujuan kepemilikan benda atau sebuah manfaat untuk selamanya, bukan dalam bentuk ketaatan” (Risalah fi al-Fiqh al-Muyassar, 101)
Pada dasarnya jual beli adalah perkara yang dibutuhkan dan terus berlangsung secara dinamis dalam kehidupan manusia, maka dari itu secara hukum asal jual beli adalah perkara yang diperbolehkan selama tidak mengandung hal-hal yang dilarang, berdasarkan firman Allah:
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. al-Baqarah: 275)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إذا تبايع الرجلان فكل واحد منهما بالخيار ما لم يتفرقا وكان جميعا
“Jika dua orang melakukan jual beli, maka setiap salah satu dari keduanya memiliki khiyar selama mereka bersama dan belum berpisah” (HR. Bukhari No. 2112 & Muslim No. 1531).
Rukun dan syarat sah Jual Beli
Rukun jual beli ada tiga:
Pertama: al-‘Aqid; yaitu orang yang berakad, dalam hal ini penjual dan pembeli.
Kedua: Mahal al-Aqd; benda yang dipertukarkan baik itu berupa barang atau alat yang digunakan untuk membayar benda tersebut.
Ketiga: Shighah; yaitu ijab dan qabul, baik berupa perkataan ataupun perbuatan yang menunjukkan adanya transaksi jual beli dari kedua belah pihak.
Adapun syarat-syarat sehingga sebuah akad jual beli dikatakan sah adalah sebagai berikut:
- Adanya ridha dari penjual dan pembeli atau wakil dari kedua belah pihak. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan dengan suka sama suka di antara kamu”. (QS. an-Nisaa’: 29)
- Orang yang melakukan transaksi jual beli adalah orang yang telah mencapai tahapan/usia di mana ia telah dinilai cakap dan layak untuk melakukan transaksi jual beli. Dan hal ini mempersyaratkan bahwa pihak yang bertransaksi adalah orang dewasa, berakal, dan merdeka.
- Barang yang diperjualbelikan memiliki manfaat yang diperbolehkan dalam syariat. Maka tidak boleh melakukan transaksi pada barang-barang yang diharamkan seperti babi, khamar, bangkai. Dan barang barang yang manfaatnya tidak dibenarkan dalam syariat seperti alat-alat musik, kartu domino dan barang-barang sejenisnya.
- Barang yang diperjualbelikan adalah milik orang yang bertransaksi atau diwakilkan kepadanya untuk melakukan akad terhadap barang tersebut. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepada sahabat hakim ibn Hizam Radhiyallahu’anhu:
لا تبع ما ليس عندك
“Jangan engkau menjual (barang) yang tidak engkau miliki” (HR. Ahmad 3/402, Abu Dawud No. 3503 dan dishahihkan oleh al-Albaniy)
- Barang yang diperjualbelikan serta harga barang tersebut diketahui kadar dan sifatnya oleh kedua belah pihak yang bertransaksi. Baik dengan dilihat secara langsung atau dengan disebutkan ciri-ciri khas yang membedakan barang tersebut dengan yang lainnya. Karena ketika ada ketidakjelasan maka dikhawatirkan akan menimbulkan perselisihan. Begitu juga dengan harga barang tersebut haruslah jelas kadar dan nilainya.
- Barang yang diperjualbelikan dapat diserahterimakan. Maka tidak boleh melakukan transaksi jual beli terhadap barang yang tidak dapat diserahterimakan. Seperti menjual seekor kambing yang telah kabur dari kandangnya sebulan yang lalu dan keberadaannya tidak diketahui.
Adapun persyaratan-persyaratan tambahan dalam jual beli, maka dapat disimpulkan bahwa selama persyaratan disepakati dalam rangka menjaga kemaslahatan akad maka persyaratan itu diperbolehkanboleh. Adapun jika persyaratan tersebut bertujuan untuk membatasi hak pihak yang bertransaksi atau bahkan merugikan keduanya atau salah satu dari keduanya, maka persyaratan tambahan tersebut tidak dibenarkan. Contoh syarat tambahan yang diperbolehkan, seperti: pembayaran dilakukan secara kontan sebagian dan sebagian yang lain diangsur. Contoh syarat yang tidak diperbolehkan, seperti: persyaratan kepada pembeli untuk tidak menjual barang yang sudah ia beli.
Saksi dalam akad jual beli
Secara umum adanya saksi dalam jual beli adalah perkara yang disunnahkan berdasarkan firman Allah:
“Dan persaksikanlah jika kamu berjual beli”. (QS. al-Baqarah: 282)
Jika jenis transaksi berskala besar, apalagi pembayaran dari akad tersebut tidak secara tunai maka adanya saksi dapat diperkuat lagi dengan adanya bukti hitam di atas putih (tulisan). Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perselisihan dan sengketa di kemudian hari. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. al-Baqarah: 282).
Demikianlah gambaran ringkas tentang jual beli dalam Islam semoga kita dapat bertransaksi dengan benar, aman dan sesuai dengan syariat.