Semua Nikmat Akan Ditanya di Hari Kemudian
Begitu banyak nikmat yang Allah Subhanahu wata’ala berikan kepada kita baik berupa nikmat yang zahir, nikmat yang batin dan nikmat yang tak terhitung. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nahl: 18).
Tugas kita sebagai orang yang beriman adalah bersyukur kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan menjadikan segala nikmat tersebut dalam rangka ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala, karena setiap nikmat yang kita rasakan akan ditanyakan dan dipertanggungjawabkan di hari kemudian nanti di hadapan Allah Subhanahu wata’ala.
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah makan bersama para sahabatnya dengan makanan yang sederhana dengan kurma dan air zamzam, beliau kemudian berkata:
ثُمَّ لَتُسَۡٔلُنَّ يَوۡمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takatsur: 8).
Sampai-sampai seorang sahabat bertanya, ”Sampai hanya sekedar kurma dan air ya Rasulullah kita pun akan ditanya di hari kemudian nanti?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian berkata, ”Benar” seraya menyebutkan ayat di atas.
Allah Subhanahu wata‘ala berfirman dalam Alquran:
وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيرًا * إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ
“Dan jangan kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan”. (QS. Al Isra: 26-27).
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ
“Makan dan minumlah, dan janganl berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al A’raf: 31).
Kata pemborosan dalam bahasa arab dikenal dengan mubazzir dan israf, keduanya dilarang oleh Allah Subhanahu wata‘ala. Lalu apa perbedaan yang paling mendasar diantara keduanya? Menurut para ulama yang dimaksud dengan mubazzir adalah menghambur-hamburkan harta dalam perkara yang jelas-jelas diharamkan seperti membeli minuman keras atau obat-obat terlarang, adapun israf adalah membelanjakan harta pada sesuatu yang mubah yang secara asalnya tidak diharamkan akan tetapi berlebih-lebihan, kedua hal ini diharamkan dan dilarang dalam agama kita. Nikmat yang kita pertanggungjawabkan di hari kemudian secara khusus disebutkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadisnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya; ke mana dihabiskannya, tentang ilmunya; bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya; untuk apa digunakannya”. (HR. Tirmizi no. 2417)
Pertama, masa mudanya ke mana ia habiskan. Walaupun masa muda bagian dari umur namun ia tetap dikhususkan pada hadis ini. Menurut para ulama karna pentingnya masa muda tersebut. Mengapa demikian? Sebab di masa mudalah terkumpul puncak kekuatan, potensi yang mana ketika seorang pemuda kemudian menghabiskan masa mudanya untuk sesuatu yang haram maka ia memiliki kekuatan untuk itu, oleh karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan, “Sesungguhnya Allah benar-benar kagum kepada seorang pemuda yang tidak memiliki shabwah”. (HR. Ahmad 2/263).
Shabwah adalah kecenderungan untuk mengikuti dan memperturutkan nafsu yang buruk, maka pantaslah seorang pemuda mendapatkan naungan khusus pada hari kiamat yang disebutkan dalam hadis. Rasulullah Shallallahu’ alaihi wasallam bersabda:
“Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan (Arsy-Nya) pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali naungan-Nya: (di antaranya) seorang pemuda yang tumbuh dalam ibadah (ketaatan) kepada Allah”. (HR. Bukhari no. 1357 dan Muslim no. 1031).
Kedua, tentang hartanya. Masalah harta ada dua pertanyaan: Dari mana ia dapatkan dan ke mana ia belanjakan? Dari sinilah mengapa orang miskin lebih dahulu masuk surga dibanding dengan orang kaya, karena orang kaya yang memilik harta yang banyak ada dua pertanyaan, yaitu dari mana ia dapatkan dan ke mana ia belanjakan.
Salah seorang ulama Malik Bin Dinar Rahimahullah pernah suatu ketika bersama dengan para penumpang dalam sebuah kapal ketika kapal itu telah sampai dan sandar di dermaga petugas berdiri depan pintu keluar kemudian berkata, ”Jangan ada yang keluar dari kapal ini sebelum ada yang membayar pajak atau upeti harta yang ia bawa”, Malik Bin Dinar Rahimahullah kemudian mengambil selendangnya hendak beranjak keluar dari kapal, ia kemudian ditahan oleh petugas dan berkata, ”Mana barang-barangmu? bayar pajak!”, beliau kemudian berkata, ”Saya tidak memiliki apa-apa selain selendang ini”, akhirnya petugas mengatakan, ”Silakan jalan”, ia kemudian berjalan dan mengatakan, ”Beginilah kondisi dan keadaan kita di hari kemudian”.
Semakin sedikit yang kita miliki maka semakin cepat kita sampai di surga Allah Subhanahu wata‘ala. Namun ini bukan celaan bagi orang-orang kaya karena para sahabat banyak yang kaya, justru kekayaan bisa membuat seseorang cepat sampai ke surga ketika harta yang dimilikinya diinfakkan di jalan Allah Subhanahu wata’ala.
Harta yang kita miliki tidak bisa dibawa mati, namun bisa kita kirim dari sekarang yang akan menjadi investasi akhirat kita yang akan kita nikmati ketika kita berjumpa dengan Allah Subhanahu wata’ala. Oleh karenanya hendaknya setiap pergantian tahun disikapi dengan muhasabah sebagaimana perkataan Allah Subhanahu wata’ala di dalam Alquran:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hasyr: 18).
Juga perkataan Umar Bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, karena lebih mudah bagi kalian menghisab diri kalian hari ini dari pada besok (hari kiamat). Bersiaplah untuk menghadapi pertemuan terbesar. Ketika itu, seluruh amalan kalian diperlihatkan dan tidak ada sesuatu pun pada kalian yang tersembunyi.” (Az-Zuhd, Ahmad bin Hambal, hal. 177).
Kuis Artikel Ini
One Comment