Selayang Pandang Fikih Ibadah (3)
(Syarat-syarat Ibadah: Mutaba’ah)
Syarat kedua, agar amal saleh dan ibadah kita diterima Allah adalah al-Ittiba’ atau al-Mutaba’ah, yakni mengikuti petunjuk dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beramal ibadah.
Allah dan Rasul-Nya telah membuat rambu-rambu kehidupan, berupa syariat Islam yang sangat istimewa. Di antara keistimewaan tersebut bahwa syariat ini sudah sempurna, komplit dan komprehensif, meliputi semua sisi kehidupan manusia. Sehingga kita tidak perlu menambahi atau mengurangi amalan atau ibadah, apalagi membuat-buat amal ibadah baru yang tidak pernah diperintahkan atau dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat beliau.
Allah sudah menetapkan Islam sebagai satu-satunya agama yang diridai, Allah juga menjelaskan bahwa agama Islam dan syariatnya ini telah sempurna dari segala sisi. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا} [المائدة: 3]
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.“ (QS. Al-Maidah: 3)
Dalam hadis disebutkan,
عَنْ سَلْمَانَ، قَالَ: قَالَ لَنَا الْمُشْرِكُونَ إِنِّي أَرَى صَاحِبَكُمْ يُعَلِّمُكُمْ حَتَّى يُعَلِّمَكُمُ الْخِرَاءَةَ، فَقَالَ: أَجَلْ «إِنَّهُ نَهَانَا أَنْ يَسْتَنْجِيَ أَحَدُنَا بِيَمِينِهِ، أَوْ يَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ، وَنَهَى عَنِ الرَّوْثِ وَالْعِظَامِ» ( صحيح مسلم: 262)
Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan: Orang-orang musyrik berkata kepada kami, “Sepertinya Nabi kalian mengajarkan segala sesuatu, hingga ia mengajarkan adab buang hajat?“ (Dengan bangga) Salman menjawab, “Betul. Beliau melarang kami dari beristinja (cebok) dengan tangan kanan, menghadap kiblat, serta menggunakan kotoran hewan dan tulang.“ (HR. Muslim: 262)
Rasulullah telah mengajarkan kepada kita syariat Islam mulai amalan yang paling tinggi yakni adab berjihad fi sabilillah, sampai yang paling rendah yaitu adab buang hajat. Mana ada agama di dunia ini yang sekomplit dan selengkap agama Islam?!
Keistimewaan lain dari syariat Islam yang tidak kalah penting adalah al-wasathiyah. Wasathiyah berarti adil dan terbaik. Jika didefinisikan, maka wastahiyah itu adalah syariat Islam itu sendiri. Tetapi ia sedikit berbeda dengan moderat. Dalam KBBI moderat berarti: selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem; berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.
Mungkin perbedaan terpenting antara istilah moderat dan wasathiah bahwa moderat selalu berusaha mengakomodir semua perbedaan, memilih posisi di tengah sehingga tidak berpihak pada salah satu kubu. Sedangkan prinsip wasathiyah adalah adil, jika keadilan memaksa kita untuk berpihak kepada salah satu pendapat atau kubu atas dasar dalil yang benar, maka kita harus memilih dan berpihak. Sebaiknya kita menggunakan kata wasathiyah supaya menjadi istilah yang paten, apalagi Islam moderat yang dijajakan oleh Barat saat ini, lebih cenderung kepada ideologi Liberal dan Sekular.
Standar Wasathiyah
Standar wasathiyah adalah syariat Islam itu sendiri,. Allah Ta’ala telah membuat standar dan batasan-batasan (حدود الله) dalam beragama, ada batas minimal dan ada batas maksimal. Allah Ta’ala berfirman,
{تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ} [البقرة: 229]
“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.“ (QS. Al-Baqarah: 229).
Syekh Abdul Aziz At-Tharifi hafizhahullah wafakka asrahu, berkata,
الوسطية رسم معالمَها الوحيُ، وليستْ لكلِ مَنْ نزل بين فِكرين أنْ يجعلَها وسطية، فيشدُّ رَحلَه يتتبَّعُ منازلَ المختَلِفين ليتوسطهم، فتلك وسطيته، لا وسطية الإسلام.
Rambu-rambu wasathiyah ditetapkan oleh wahyu (Al-Quran dan Sunnah), bukan setiap pihak yang berdiri antara dua pemikiran disebut wasathiyah, sehingga ia berusaha selalu berada di tengah dua pihak yang berbeda pendapat, ini adalah wasathiyah versi dia bukan wasathiyah Islam.
Dalam segala aspek kehidupan dan dalam semua hukum, syariat Islam memberikan manhajan wasathan, manhaj yang adil dan terbaik, setiap ibadah ada batasan minimal dan maksimal. Secara umum batasan minimal adalah melaksanakan segala yang diwajibkan dan menjauhi semua yang diharamkan. Kemudian setiap muslim bisa melakukan amal kebaikan dan ibadah sunah dengan syarat tidak melampaui batas syariat.
Sebagai contoh, dalam pernikahan. Minimal seorang muslim menikah dengan satu muslimah dan maksimal menikahi 4 wanita muslimah. Jika tidak mau menikah -tanpa uzur yg dibenarkan syariat- maka itu salah, karena tidak mencapai batas minimal syariat nikah, dan jika menikahi lebih dari 4 wanita muslimah sekaligus, maka itu juga salah karena melewati batas maksimal.
Juga puasa umpamanya, batas minimal adalah puasa Ramadan sebulan penuh dan batas maksimal adalah puasa Nabi Daud, sehari berpuasa sehari berbuka. Jika seorang tidak berpuasa maka ia salah karena tidak mencapai batas minimal. Kalau terlalu semangat sehingga ia melakukan puasa wishal yaitu puasa setiap hari, maka itu juga salah karena melewati batas maksimal yg ditetapkan syariat. Begitupula shalat, sedekah dan ibadah-ibadah lainnya.
Mari kita dengarkan kisah yang diceritakan oleh sahabat, Anas radhiyallahu ‘anhu. Beliau menuturkan: Ada tiga orang datang ke rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakan tentang hal bagaimana ibadahnya beliau. Setelah mereka diberitahu mereka menganggap sedikit ibadah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka lalu berkata, “Ah, apalah kita ini dibandingkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukankah beliau itu telah diampuni segala dosanya yang lampau dan yang kemudian?!“ Lantas seorang dari mereka berkata, “Adapun saya, akan melakukan shalat semalam suntuk untuk selamanya.” Yang kedua berkata, “Adapun saya, akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak pernah berbuka.” Yang terakhir berkata, “Adapun saya, saya menjauhi wanita, dan tidak akan menikah selama-lamanya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian mendatangi mereka lalu bersabda, “Apakah kalian yang mengatakan begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya saya ini adalah orang yang paling takut dan paling bertaqwa kepada Allah, tetapi saya berpuasa dan juga berbuka, saya melakukan shalat tetapi juga tidur, saya juga menikahi para wanita. Maka barang siapa yang enggan dengan Sunnah–ku, maka ia bukanlah termasuk dalam golonganku.” (HR. Bukhari, no. 5063, Muslim, no. 1401).
Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari kisah dalam hadis ini, di antaranya:
- Niat yang ikhlas semata tidak cukup dalam ibadah, karena kita yakin ketiga sahabat tadi adalah orang-orang yang ikhlas dalam beribadah.
- Bahaya besar bagi mereka yg mengukur kebaikan dan keburukan hanya dengan akal dan logika saja, tanpa merujuk kepada dalil-dalil syariat atau berdasarkan dalil namun interpretasinya salah dan pemahamannya keliru.
Khalifah Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ، وَقَدْ «رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ»
“Andaikan agama ini dibangun berdasarkan logika saja, maka idealnya bagian bawah khuff lebih berhak diusap daripada bagian atasnya. Tetapi aku menyaksikan Rasulullah mengusap bagian atas khuffnya.“ (HR. Abu Daud, no. 162, Ad-Daraquthni, no. 783, dan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubra, no. 1386).
- Urgensi mencegah kemungkaran yang berpotensi membahayakan individu apalagi masyarakat umum. Setelah pernyataan ketiga sahabat tersebut sampai kepada Rasulullah, beliau langsung mendatangi mereka dan mencegah mereka dari melakukan ibadah yang tidak sesuai syariat.
Semua bentuk ghuluw/ekstremis/berlebihan dalam memahami dan mengamalkan syariat harus diluruskan dan dicegah, begitu pula sebaliknya seruan untuk meninggalkan atau menggantikan hukum syariat yang pasti juga harus dicegah dan diluruskan.
- Tugas ulama, para dai dan ustaz untuk mengajari umat ini syariat Islam yang benar dengan cara yang benar pula. Kita saksikan bagaimana Rasulullah menjelaskan kepada mereka prinsip wasathiah dalam beribadah; shalat, puasa dan pernikahan.
- Kewajiban mempelajari syariat Islam, memahami hukum-hukum agama dan batasan-batasan yang ditetapkan Allah dalam Al-Quran dan Rasulullah dalam Sunnah beliau. Apalagi di zaman ini, semua sarana dan fasilitas menuntut ilmu sangat mudah didapat. Supaya kita dapat beramal, beribadah ‘ala bashirah, di atas cahaya kebenaran, supaya kita tidak terjebak dalam dua kutub yang saling berlawanan, yaitu guluw/ektremis/melampaui batas, dan tidak pula termasuk golongan tafrith, orang-orang yang lalai, meninggalkan kewajiban dan terjatuh dalam perkara yang diharamkan.
Terakhir, siapa saja yang sengaja menyalahi Sunnah dan tuntunan Rasulullah, maka ia akan terjebak dalam fitnah dan terkena azab. Allah Ta’ala berfirman,
{فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ} [النور: 63]
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita hamba-hamba yang ikhlas dalam ibadah serta beramal sesuai Sunnah dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.