Selayang Pandang Fikih Ibadah (2)
(Syarat-Syarat Ibadah: Ikhlas)
Ibadah secara umum akan diterima oleh Allah ‘Azza wa Jalla jika memenuhi beberapa syarat. Syarat ini dikenal dengan sebutan syarat sah. Karena syarat ibadah ada 2:
1- (شرط الوجوب) syarat wajib, dan
2- (شرط الصحة) syarat sah.
Syarat wajib adalah syarat yang berkaitan dengan mukalaf. Maksudnya; suatu ibadah menjadi wajib atas seseorang jika syarat-syarat tersebut terpenuhi, seperti Islam, baligh, berakal, dll. Sehingga orang kafir, anak kecil dan orang gila tidak diwajibkan beribadah sampai uzur penghalangnya hilang.
Adapun syarat sah adalah syarat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri, jika terpenuhi maka ibadahnya dianggap sah dan masuk nominasi ibadah yang diterima oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Syarat sah ibadah secara umum ada dua, yaitu:
1- Niat yang ikhlas, dan
2- Mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian masing-masing ibadah memiliki syarat sah yang khusus baginya, seperti salat fardu, di antara syarat sahnya adalah thaharah (suci dari hadas dan najis), sudah masuk waktu, dan menghadap kiblat.
- IKHLAS.
Secara bahasa: (صَفَّيْتهُ مِنْ كَدَرٍ أَوْ دَرَنٍ) mengikhlaskan sesuatu artinya menyucikan dan membersihkannya dari semua kotoran.
Untuk lebih mudah memahami, kita dapat menganalogikan mengikhlaskan niat dengan proses memurnikan emas. Untuk memperoleh emas murni, maka seseorang harus melakukan proses pemurnian yang tidak mudah. Dengan cara menyingkirkan partikel-partikel lain yang bercampur dengannya. Sehingga hasil yang diperoleh juga berbeda-beda, bisa berupa emas murni: 24 Karat (99,00-99,99%), atau 23 karat (94,80-98,89%), 22 karat dst. Emas murni 24 karat biasanya kurang cocok untuk dijadikan perhiasan yang ditampakkan, ia lebih cocok untuk investasi yang disimpan dalam bentuk koin atau emas batangan.
Begitu jualah gambaran sebuah ibadah, untuk memperoleh keikhlasan niat yang murni, maka semua partikel lain yang menempel dalam niat selain demi Allah harus disingkirkan. Ibadah yang paling dekat dengan keikhlasan adalah yang disembunyikan oleh pelakunya dan tidak dipamerkan kepada orang lain.
Secara Istilah, ulama kita memberikan beberapa definisi. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah mendifiniskan ikhlas dengan:
«إفرادُ الله – تعالى- بالقصدِ في الطاعة «
“Mengesakan Allah dalam niat ketaatan“. (i)
Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam menjelaskan makna ikhlas lebih rinci lagi, beliau berkata:
«الْإِخْلَاصُ أَنْ يَفْعَلَ الْمُكَلَّفُ الطَّاعَةَ خَالِصًا لِلَّهِ وَحْدَهُ، لَا يُرِيدُ بِهَا تَعْظِيمًا مِنْ النَّاسِ وَلَا تَوْقِيرًا، وَلَا جَلْبَ نَفْعٍ دِينِيٍّ، وَلَا دَفْعَ ضَرَرٍ دُنْيَوِيٍّ»
“Ikhlas adalah, bahwa seorang mukalaf berbuat ketaatan murni karena Allah semata, ia tidak mengharapkan penghormatan maupun apresiasi dari manusia, tidak mengharap manfaat tertentu dari sisi keagamaan dan tidak pula karena ingin menolak kemudaratan dunia.” (ii)
Jadi intinya, ikhlas adalah: memurnikan amal ibadah hanya untuk Allah dan menyucikannya dari berbagai partikel-partikel kotor yang menempel, seperti ria, sumah, dan ujub.
Hukum Ikhlas dalam Beramal
Ikhlas dalam beramal hukumnya wajib. Ketika kita melakukan ibadah apa saja, maka wajib hukumnya mengikhlaskan amal tersebut kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ} [البينة: 5]
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.“ (QS. Al-Bayyinah: 5).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»
“Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).“(iii)
Orang yang banyak melakukan amal ibadah, tetapi tidak ikhlas, maka ia akan kecewa di akhirat nanti. Allah Ta’ala berfirman,
{وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا}
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23).
Ia kecewa karena ternyata semua amal yang ia lakukan selama ini tidak didasari keimanan yang benar, tidak ikhlas untuk Allah atau tidak sesuai dengan petunjuk para Rasul Allah, sehingga semuanya tertolak.
Bagaimana Cara Menguji Keikhlasan?
Keikhlasan mempunyai tanda-tanda yang dapat dilihat dengan mata kepala ataupun mata hati, sehingga setiap orang bisa merasakan bahkan menilai kadar keikhlasannya dalam beramal. Ia juga mampu melatih diri dan hati untuk meningkatkan kadar keikhlasan tersebut.
Ada beberapa cara yang bisa kita coba untuk menguji kadar keikhlasan.
Pertama, membandingkan antara ibadah saat sendirian dengan ibadah saat kita di tengah khalayak ramai.
Coba perhatikan salat sunah kita di rumah, saat kita sendirian tidak ada orang yang melihat. Perhatikan panjang pendek bacaan, rukuk, sujud, dan kekhusyukan. Kemudian bandingkan dengan salat sunah kita ketika di masjid atau ketika bersama orang lain. Bagaimana perbandingan kualitas bacaan, rukuk, sujud dan kekhusyukan; kalau sama saja, maka berarti kadar keikhlasan kita tinggi, apalagi jika amal sir (yang kita sembunyikan) jauh lebih baik dari yang kita tampakkan. Kalau kualitas salat sunah di masjid atau di tempat lain saat banyak orang lebih baik, maka keikhlasan kita perlu dikoreksi lagi.
Jadi, kita harus melatih diri dan berusaha semaksimal mungkin agar amalan kita, ibadah kita, sama saja kualitasnya saat dilakukan sendirian tiada manusia yang menyaksikan dan saat dilakukan di hadapan atau disaksikan orang lain.
Sebab, di antara tanda ikhlas dalam beramal (أن يكون السر عنده أفضل من العلانية), hendaklah amalan yang disembunyikan lebih baik dari yang ditampakkan.
Kedua, perhatikan apakah pujian orang terhadap amal baik kita membuat kita bangga, sedangkan celaannya membuat kita sedih atau marah.
Saat melakukan suatu amal baik, bersedekah atau menolong orang misalnya, apakah di dalam hati kita mengharap pujian atau sanjungan? Jika kemudian orang tersebut tidak memuji, atau bahkan tidak berterimakasih, apakah kita jengkel atau marah? Jika demikian, maka hal ini berbahaya, sebab keikhlasan bisa ternoda. Apalagi ketika melakukan amal baik tersebut disertai dengan mengungikt-ungkit atau menyakiti si penerima bantuan.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ }
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang nenginfakkan hartanya karena riya kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 264).
Jadi, latihlah hati untuk tidak peduli dengan pujian apalagi celaan orang terhadap amal baik atau ibadah yang kita lakukan, selama kita sudah melakukannya sesuai tuntunan syariat.
Karena di antara tanda ikhlas dalam beramal (استواء المدح والذم) baik dipuji atau dicela sama saja baginya, tidak mempengaruhi keikhlasannya.
Ketiga, hanya mengharap balasan dan imbalan dari Allah Ta’ala.
Coba ingat, saat berdakwah, saat membantu orang lain, apakah dalam hati kita pernah mengharapkan imbalan dari manusia? Apakah saat menulis status, men–share nasihat, meng–upload video misalnya, kita berharap akan banyak like, yang komen, yang subscribe, retweet, dst?
Teladan kita tentu adalah para nabi dan rasul, kalau kita telaah ayat-ayat Al-Quran tentang dakwah para nabi, dan jika kita baca sirah mereka, akan kita saksikan bahwa mereka tidak pernah mengharap apalagi meminta imbalan duniawi baik materi maupun nonmateri. Mereka selalu menyampaikan motto yang sama:
{ وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إنْ أَجْرِيَ إلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ }
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (QS. Asy-Syu’ara: 109)
Di dalam Surah Asy-Syu’ara’, pernyataan ini disebutkan oleh lima orang rasul; Nuh, Hud, Shalih, Syu‘aib, dan Luth. Dan pernyataan serupa disampaikan oleh Nabi Muhammad 8 kali baik secara langsung ataupun tidak.
Di dalam Surah Yasin, Allah berfirman,
“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata, ‘Hai kaumku! Ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.‘” (QS. Yasin: 21-22).
Melalui ayat ini, Allah mengajari kita, bahwa di antara ciri-ciri dai yang pantas diikuti adalah:
- Dia tidak meminta bayaran atau imbalan. Apalagi sampai memasang tarif tertentu.
- Dia mendapat petunjuk, yakni berada di atas kebenaran.
Akal sehat bisa menilai bahwa mereka tidak menyuruh kecuali kepada kebaikan dan tidak melarang kecuali dari perkara yang benar-benar mungkar. Secara fitrah juga semua orang yang sehat jasmani, rohani dan akalnya tau mana perkara baik dan mana perkara buruk.
Tentu mengikuti prinsip para nabi ini sulit, apalagi dalam kondisi kita di Indonesia. Lumrah adanya seorang ustaz atau penceramah menerima amplop setelah mengisi kajian. Tetapi, teladan yang dilakukan oleh para Rasul Allah itulah yang paling ideal. Kalau kita belum bisa mengikuti mereka, maka paling tidak janganlah imbalan tersebut mempengaruhi niat dan keikhlasan.
Di sisi lain, dalam negara Islam itu menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberikan pesangon khusus dari baitul mal kepada para imam dan muazin, para khatib dan dai. Karena waktu mereka umumnya tersita untuk melaksanakan tugas-tugas mulia ini, sehingga agak sulit untuk fokus mencari penghasilan lain.
Dari sini kita mengetahui, bahwa ciri-ciri ikhlas yang ketiga adalah ( ابتغاء الأجر من الله وحده ) hanya mengharap imbalan dari Allah Ta’ala.
Keempat, senantiasa khawatir amalannya tidak diterima Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman,
{ وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ }
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.“ (QS. Al-Mukminun: 60)
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah tentang ayat ini, “Ya Rasulullah! Apakah yang dimaksud adalah seseorang yang berzina, mencuri, minum khamar tetapi ia tetap takut kepada Allah?“ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
«لَا يَا بِنْتَ أبي بكر، أو يا بِنْتَ الصِّدِّيقِ، وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُ»
“Tidak wahai putri Abu Bakar al-Shiddiq! Tetapi dia seorang yang berpuasa, salat, bersedekah, tetapi ia khawatir semuanya tidak diterima oleh Allah Ta’ala.“ (iv)
Setelah seselai membangun Kakbah, Nabi Ibrahim dan putranya Ismail ‘alaihimassalam berdoa,
{ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ }
“Wahai Rabb kami! Terimalah (amalan) ini dari kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (QS. Al-Baqarah: 127)
Maka kita lebih pantas lagi untuk senantiasa memanjatkan doa ini:
« رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ »
Jadi, bila setelah selesai melakukan amal saleh, selesai melaksanakan amal ibadah, ada rasa khawatir bahwa amal tersebut kurang maksimal, khawatir bahwa ibadah itu tidak diterima Allah, maka -insya Allah- ini termasuk tanda-tanda ia ikhlas dalam beramal. Kekhawatiran tersebut mendorongnya untuk beristigfar dan memohon kepada Allah agar amalnya diterima.