Sejarah Syariat Puasa
Syariat Puasa dalam Islam dimulai dengan puasa Asyura.
Berpuasa pada tanggal 10 Muharram Telah menjadi adat kebiasaan Kaum Quraisy di zaman Jahiliyah Semenjak Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam hidup di Mekkah.
عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: ” كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ لاَ يَصُومُهُ” البخاري (3831)، ومسلم (1125).
Dari Aisyah radliallahu anhu berkata: Dahulu hari Asyura adalah satu hari yang Kaum Quraisy selalu puasa, demikian pula Nabi Muhammad berpuasa, setelah sampai Maddinah Beliau pun puasa Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa, setelah datang perintah puasa Bulan Ramadhan, siapa yang mau berpuasa Asyura silahkan dan siapa yang tidak mau pun silahkan. HR Al Bukhari 3831 Dan Muslim 1125.
Dalam hadits lain riwayat Jabir bin samurah dalam shahih muslim pun demikian.
وعَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ:” كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، وَيَحُثُّنَا عَلَيْهِ، وَيَتَعَاهَدُنَا عِنْدَهُ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ، لَمْ يَأْمُرْنَا، وَلَمْ يَنْهَنَا وَلَمْ يَتَعَاهَدْنَا عِنْدَهُ ” رواه مسلم (1128).
Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kita puasa hari Asyura, memotivasi kita, dan memperhatikan kita untuk puasa pada hari itu. Setelah diwajibkan puasa Ramadhan, Beliau tifak lagi memerintahkan kami dan tidak pula melarang, dan Tidak pula memperhatikan kita untuk puasa pada hari itu.
Demikian kewajiban puasa Asyura selama 13 tahun pada fase Makkah, dan dua tahun selama berada di Madinah, kemudian dimansukh kewajibannya, dengan datangnya kewajiban puasa Ramadhan. Sehingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam puasa 9 kali Ramadhan, 8 kali puasa selama 29 hari dan satu kali selama 30 hari.
Ibnul Qayyim menyebutkan hikmah diwajibkannya puasa Ramadhan di fase Madinah dengan berkata:
قال ابن القيم رحمه الله تعالى:
” ولما كان فطم النفوس عن مألوفاتها وشهواتها من أشق الأمور وأصعبها، تأخر فرضه إلى وسط الإسلام بعد الهجرة، لما توطّنت النفوس على التوحيد والصلاة، وألفت أوامر القرآن، فنقلت إليه بالتدريج.
وكان فرضه في السنة الثانية من الهجرة، فتوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم وقد صام تسع رمضانات ” انتهى من “زاد المعاد” (2/29).
Ketika jiwa merasa berat untuk meninggalkan kebiasaan dan syahwatnya maka kewajiban berpuasa mundur hingga pertengahan masa Islam setelah hijrah, saat jiwa sudah mantap dalam ketauhidan, syariat shalat, dan perintah-perintah Al Qur’an sehingga diwajibkan secara berkala.
Diwajibkan pada tahun kedua Hijriyah sehingga Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam berpuasa sebanyak 9 kali Ramadhan.
Zaduk ma’ad 2/29.
Pada Malam kedua bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah turunlah perintah puasa bulan Ramadhan dengan turunnya perintah berpuasa dalam surat Al Baqarah 183:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
- Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
TIGA FASE DIWAJIBKANNYA PUASA RAMADHAN
Puasa satu bulan Ramadhan melewati tiga fase:
Fase pertama:
Ikhtiyariyah (tidak wajib) antara berpuasa atau tidak berpuasa tapi memberi makan orang miskin,
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ، قَالَ: ” لَمَّا نَزَلَتْ: وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ كَانَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يُفْطِرَ وَيَفْتَدِيَ، حَتَّى نَزَلَتِ الآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا فَنَسَخَتْهَا ) رواه البخاري (4507)، ومسلم (1145).
Dari Salamah bin Al akwa’ berkata: ketika turun:
- Al-Baqarah Ayat 184
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ
Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.
Siapa yang ingin berbuka dan membayar fidyah memberi makan satu orang miskin dipersilahkan, sampai turun ayat selanjutnya dan memansukhkan fase ini.
HR Al Bukhari 4507, dan Muslim 1145.
Fase kedua:
Ijbariyyah (wajib) dengan mewajibkan kepada orang yang mampu untuk berpuasa, dan memasukhkkan hukum takhyir di atas yaitu dengan turunnya QS. Al-Baqarah Ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
- Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.
Berdasarkan juga Hadits Salamah bin al Akwa’ di atas, Demikian pula Al Bukhari meriwayatkan secara mu’allaq dengan shighah jazem dari Abu Laila:
وعلّق البخاري في صحيحه بصيغة الجزم عن ابْن أَبِي لَيْلَى، أنّه قال: “حَدَّثَنَا أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَزَلَ رَمَضَانُ فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَكَانَ مَنْ أَطْعَمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا تَرَكَ الصَّوْمَ، مِمَّنْ يُطِيقُهُ، وَرُخِّصَ لَهُمْ فِي ذَلِكَ، فَنَسَخَتْهَا: وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ فَأُمِرُوا بِالصَّوْمِ” . “فتح الباري” (4 / 187).
Sahabat Nabi menceritakan kepada kita bahwa saat turun kewajiban puasa bulan Ramadhan shahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam merasa keberatan, sehingga yang mampu memberi makan orang miskin dia tidak berpuasa, meski dia mampu, dan ini keringanan bagi mereka, kemudian dimansukhkan dengan QS. Al-Baqarah Ayat 184:
وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ
Dan puasamu itu lebih baik bagimu.
Sehingga mereka diperintahkan untuk berpuasa.
(Fathul Bari 4/187).
Fase Ketiga:
Dahulu saat pertama kali diwajibkan puasa, orang yang berpuasa jika tidur setelah matahari tenggelam tidak boleh lagi makan, minum, dan bersetubuh dengan istrinya sampai malam beriktnya, kemudian hukum ini dimansukhkan dan dibolehkan orang yang berpuasa untuk makan, minum DD an bersetubuh dengan istrinya di malam hari kapanpun, sebelum ataupun setelah tidur.
عَنِ البَرَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: ” كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا، فَحَضَرَ الإِفْطَارُ، فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا، فَلَمَّا حَضَرَ الإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ، فَقَالَ لَهَا: أَعِنْدَكِ طَعَامٌ؟ قَالَتْ: لاَ، وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ، وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ، فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ، فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ، فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ: خَيْبَةً لَكَ، فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ، فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا، وَنَزَلَتْ: وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ ” رواه البخاري (1915).
Dari Al Bara bin Azib radliallahu anhu berkata:
Dahulu sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam ketika berpuasa dan makanan berbuka sudah tersedia, kemudian dia tertidur sebelum makan maka dia tidak boleh makan malam itu dan besok siangnya sampai sore. Dan saat itu Qais bin Shirmah Al Anshari berpuasa dan saat waktu berbuka menanyakan istrinya apakah ada makanan? Dijawab: Tidak ada. Tapi aku akan mencarikannya untukmu, dan hari itu Qais kerja berat hingga diapun tertidur, dan saat istrinya kembali berkata: Sengsaranya kamu…di tengah siang hari diapun pingsan, diceritakanlah hal ini kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, dan turunlah ayat QS. Al-Baqarah Ayat 187
اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ
- Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.
HIKMAH FASE PUASA
Mengenai hikmah dari tadarruj (berjenjang fase) diwajibkannya puasa bulan Ramadhan ini Ibnul Qayyim berkata:
قال ابن القيم رحمه الله تعالى:
” التخيير في الصوم في أول الإسلام بين الإطعام وبينه، لما كان غير مألوف لهم ولا معتاد، والطباع تأباه؛ إذ هو هجر مألوفها ومحبوبها، ولم تذق بعد حلاوته وعواقبه المحمودة وما في طيه من المصالح والمنافع، وخيّرت بينه وبين الإطعام، وندبت إليه.
فلمّا عرفت علّته وألفته، وعرفت ما ضمنه من المصالح والفوائد: حُتِم عليها عينا، ولم يقبل منها سواه.
فكان التخيير في وقته مصلحة، وتعيين الصوم في وقته مصلحة، فاقتضت الحكمة البالغة شرع كل حكم في وقته؛ لأن المصلحة فيه في ذلك الوقت ” انتهى. “مفتاح دار السعادة” (2 / 930).
Takhyir (pilihan antara berpuasa dan tidak) dalam berpuasa pada awal Islam antara memberi makan miskin atau berpuasa dikarenakan hal ini tidak lumrah, dan jiwa belum terbiasa, belum merasakan nikmat dan akibat yang sangat baik dari berpuasa, dengan segala kemalahatan dan manfaatnya, sehingga dipilih antara puasa atau memberi makan dan lebih dimotivasi untuk puasa.
Setelah jiwa mengetahui sebab dan sudah terbiasa, mengetahui kandungan maslahat dan manfaat dari puasa, faedah-faedahnya, maka baru diwajibkan dan tidak diperkenankan selainnya.
Maka pada takhyir ada maslahat dan pada kewajibanpun terdapat maslahat, karena ada hikmah yang besar ketika suatu syariat diberikan sesuai dengan waktu yang tepat, dan maslahat itu ada pada saat itu.
Miftah Daar Sa’adah 2/930.
SEMOGA ALLAH MEMBANTU KITA MENYELESAIKAN IBADAH PUASA 1444 H INI DAN MENERIMANYA MENJADI PAHALA BERLIPAT, AMIIN YA RABBAL ALAMIN.